Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Belajar dari Sakit Hati dan Kekecewaan

30 Mei 2020   20:04 Diperbarui: 30 Mei 2020   20:05 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: IDRIS APANDI

(Penulis Buku Membaca Ayat-ayat Kehidupan)

Dalam hidup, seseorang pasti pernah merasakan sakit hati dan kecewa. Sakit hati karena pernah dihina, direndahkan, diabaikan, dianaktirikan, diperlukan tidak adil, diperlakukan secara diskriminatif, dan sebagainya. Begitu pun rasa kecewa pernah dialami karena merasa dikhianati, janji yang tidak ditepati, gagal mencapai target atau tujuan, dan sebagainya.

Zaman dulu, orang mencurahkan rasa sakit hati atau kecewanya melalui buku harian atau diary, tetapi di era digital saat ini, orang mencurahkannya melalui media sosial. Walau demikian, harus hati-hati juga, karena saat seseorang mencurahkan uneknya-uneknya di media sosial, jutaan bahkan milyaran orang bisa membacanya dan bisa menelusurinya, karena ada jejak digital. Dan hati-hati pula dalam menulis unek-unek agar tidak terkena delik Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektorik (ITE).

Sebuah pepatah bijak mengatakan bahwa daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan lilin. Pun demikian dengan rasa sakit hati dan kecewa yang dialami oleh seseorang. Daripada terus meratapinya, lebih baik segera bangkit dan bergerak. Jadikan rasa sakit hati dan kecewa itu sebagai energi dan motivasi untuk berkarya dan berprestasi. Jadikan hal tersebut sebagai cambuk untuk membuktikan bahwa mampu atau kita bisa.

Orang yang pernah merasakan sakitnya dihina, disepelekan, diabaikan, terpinggirkan akan memacu dirinya untuk bekerja keras sekuat tenaga dan membuktikan bahwa dia mampu dan bisa memutarbalikkan berbagai hal negatif tersebut.

Saat hinaan dibalas dengan hinaan tidak akan ada ujungnya dan dua-duanya sama-sama buruk. Bahkan bisa menyebabkan masalah berkepanjangan, berlarut-larut, dan menimbulkan dendam. Kalau pun ingin "membalas dendam", bukan dengan melakukan hal yang buruk lagi, tetapi dengan membuktikan karya dan prestasi. Saya yakin itu bisa menjadi "balas dendam terindah" dan lebih jlebb bagi orang yang pernah menghina atau merendahkan kita.

Kalau saya membaca profil orang-orang sukses, pada umumnya mereka membangun karir dari nol hingga mereka mencapai karir puncak. Mereka pernah mengalami hidup terlunta-lunta, tuna wisma, ngontrak di kontrakan yang sederhana, makan hanya nasi pakai garam, berbagi satu ceplok telur dengan adik dan kakaknya, jadi buruh serabutan, dan sebagainya.

Pemilik Ali Baba, Jack Ma mengatakan pernah mengatakan "Ketika kamu miskin, belum sukses, semua kata-kata bijakmu terdengar seperti kentut. Tapi ketika kamu kaya dan sukses, kentutmu terdengar sangat bijak dan menginspirasi." Hal tersebut dikatakannya dengan berkaca kepada pengalaman hidupnya yang pahit sebelum menjadi konglomerat dan menjadi salah satu orang terkaya di dunia saat ini. 

Hal itu menunjukkan bahwa saat seseorang hidup susah, banyak yang menertawakannya, mencibirnya, dan underestimate terhadap kemampuannya. Tetapi saat seseorang bisa sukses, bangkit dari keterpurukannya, anggapan-anggaran yang merendahkan pun berbalik 180 derajat. Banyak orang mengaku sebagai teman. 

Membalikkan sakit hati menjadi sebuah prestasi memang memerlukan motivasi, tekad, dan semangat yang luar biasa. Dia tidak meratapi dan menyesali nasib diri, tetapi berpikir bagaimana caranya mampu keluar dari permasalahan yang dihadapi. Inilah yang disebut sebagai kecerdasan ketahanpayahan (adversity quotient/AQ).  Menurut Paul Stoltz (2000), Adversity Quotient (AQ) adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dalam mengamati kesulitan dan mengolah kesulitan tersebut dengan kecerdasan yang dimiliki sehingga menjadi sebuah tantangan untuk diselesaikan.

Dalam hidup ini, kita pun jangan terlalu ketergantungan dan terlalu berharap kepada bantuan sesama manusia, karena harus siap kecewa saat harapan kita tidak ditindaklanjutinya atau permohonan tolong yang kita sampaikan ditolak atau tidak direspon dengan berbagai alasan. Selain belajar dan berusaha sendiri, kita pun wajib berdoa kepada Allah SWT, Dzat yang Mahakuasa dan Mahamengetahui segala sesuatu yang ada di alam dunia ini.

Sebenarnya sakit hati atau kecewa adalah hal yang wajar dan manusiawi saat harapan tidak tercapai. Walau demikian, kalau kita sikapi dengan positif dan ambil hikmahnya adalah kita harus mandiri, jangan terlalu ketergantungan kepada orang lain. Mau mencoba dan belajar hal-hal yang sebelumnya tidak kita kuasai dan banyak mengandalkan orang lain. Walau tentunya, seorang manusia pun punya keterbatasan, tidak mungkin bisa menguasai semua hal. Tetapi, minimal untuk hal-hal yang kecil dimana kita suka meminta tolong kepada orang lain, itu yang kita prioritaskan untuk mempelajarinya agar ketergantungan kita semakin berkurang. Dengan tidak terlalu mengandalkan orang lain, maka potensi sakit hati dan kecewa akan berkurang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun