"Alhamdulillah, semoga makin banyak yang pesan ya." Kataku disertai rasa gembira. Ayu membawa es pisang ijo ke teras rumah dan membantuku merapikannya di meja yang sudah aku pasang.
Setelah dagangan digelar, ada beberapa tetangga yang membeli daganganku. Walau ada yang menawar mengatakan bahwa harganya kemahalan, aku sikapi secara baik-baik, karena aku tidak mengambil untung banyak, mengingat lingkungan tempat tinggalku memang mayoritas kalangan ekonomi menengah ke bawah. Harga Rp5.000,00 aku samakan dengan harga kolak dan es campur yang di jual oleh tetanggaku juga supaya sama dan bersaing secara sehat.
Sampai datangnya waktu buka puasa, dari 20 cup es pisang ijo yang dibuat, ternyata hanya habis 10 buah dan tersisa 10 buah. Walau penjualan belum sesuai harapan, tapi setidaknya ada peningkatan jumlah yang laku. Risiko dagang memang begini. Tidak ujug-ujug langsung laku banyak, perlu proses. Berharap untung dan harus siap rugi.
Aku berusaha optimis, suatu saat daganganku akan laku banyak. "Ya Allah... mudahkanlah segala urusan kami, dan berikanlah rezeki yang halal bagi kami." Aku berdoa dalam hati. Sisa es pisang ijo yang tidak laku aku makan bersama dengan istri dan kedua anakku. Dan Sebagian aku akan bawa lagi ke masjid untuk dibagikan kepada Jemaah, walau jumlahnya lebih sedikit dibanding kemarin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H