Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

8 Alasan Mengapa Widyaiswara Harus Menulis

25 Januari 2020   07:32 Diperbarui: 25 Januari 2020   07:32 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

8 ALASAN MENGAPA WIDYAISWARA HARUS MENULIS

Oleh:

(Widyaiswara LPMP Jawa Barat, Penulis Ratusan Artikel dan Puluhan Buku)

Pasal 1 ayat (2) Permeneg PAN dan RB Nomor 22 tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya menyebutkan bahwa "Widyaiswara adalah PNS yang jabatan yang mempunyai ruang lingkup tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak untuk melakukan kegiatan mendidik, mengajar, dan/atau melatih Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang selanjutnya disingkat Dikjartih PNS, dan melakukan evaluasi dan pengembangan Pendidikan dan Pelatihan yang selanjutnya disingkat Diklat pada Lembaga Diklat Pemerintah."

Ayat (3) menyebutkan bahwa Widyaiswara adalah "PNS yang diangkat sebagai pejabat fungsional oleh pejabat yang berwenang dengan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak untuk Dikjartih PNS, dan melakukan Evaluasi dan Pengembangan Diklat pada Lembaga Diklat Pemerintah."

Dalam pandangan pendidik dan tenaga kependidikan, jabatan fungsional WI memiliki tempat yang khusus dan istimewa, bahkan kadang suka disebut "gurunya guru", karena WI suka mendiklat guru. Karena peran strategisnya tersebut, cukup banyak pengawas, kepala sekolah, atau guru yang beralih fungsi menjadi WI atau berminat menjadi WI. Tujuannya samping pengembangan karir, juga agar memiliki posisi yang lebih "tinggi", mendapat tantangan baru, dan lebih eksis dalam dunia pendidikan, karena WI bergerak pada dunia pendidikan orang dewasa (andragogik).

WI dianggap sebagai gudangnya ilmu, pakar ilmu pendidikan, dapat memberikan saran, rekomendasi, atau alternatif solusi dari berbagai persoalan pendidikan yang dihadapi oleh para pendidik dan tenaga kependidikan. 

Oleh karena itu, ketika WI datang ke sekolah, kepala sekolah dan guru sangat antusias dan menunggu, ilmu, arahan, serta informasi terbaru berkaitan dengan dunia pendidikan.

Sebagai seorang tenaga fungsional yang tugas utamanya dikjartih, WI juga diharapkan untuk lebih berparan dalam dunia akademik atau intelektual melalui kegiatan menulis. Silakan, mau menulis dalam bentuk apa saja, seperti menulis buku, artikel jurnal, artikel populer, makalah/prosiding, dan sebagainya. Intinya, menulis.

Menurut saya, ada beberapa alasan mengapa seorang Widyaiswara harus menulis.

Sarana Untuk Menyebarkan Ide atau Gagasan

Menulis merupakan sarana bagi siapapun untuk menyebarkan ide atau gagasan. Di zaman teknologi canggih saat ini, sebuah tulisan dapat sangat cepat tersebar melalui media massa elektronik atau media sosial. Sebuah tulisan yang berkualitas, menarik, unik, mengandung kebaruan, atau mungkin kontroversial dapat viral dan dibaca oleh ribuan atau jutaan pembaca. 

Penulisnya pun mendadak terkenal. Tidak tertutup kemungkinan dia akan diundang dan diwawancarai oleh berbagai pihak karena tulisannya tersebut. Sebuah tulisan dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan ucapan yang sewaktu-waktu bisa lupa atau terlupakan.

Pengembangan Profesi atau Karir

Menulis merupakan salah satu unsur utama angka kredit WI. Oleh karena itu, dapat menjadi sarana pengembangan profesi atau karir. WI yang produktif menulis biasanya karirnya cepat menanjak dan pangkatnya lebih cepat naik dibandingkan dengan WI yang tidak menulis.

Tulisan yang diakui dan dihitung angka kreditnya biasanya tulisan yang sesuai dengan tupoksinya, sedangkan karya tulis yang tidak sesuai dengan tupoksinya biasanya ditolak, tidak dihitung angka kreditnya oleh penilai, atau ada juga yang dimasukkan ke dalam kategori karya inovatif.

Walau demikian, bagi saya sebuah karya tulis walau tidak dihitung angka kreditnya karena dinilai tidak relevan dengan tupoksinya, tetaplah sebuah karya tulis yang patut dihargai dan dibanggakan. Mengapa? Karena karya tulis tersebut ditulis dengan susah payah dan penuh perjuangan. 

Tidak semua orang mampu melakukannya. Oleh karena itu, saya ingin menekankan bahwa sebuah walau menulis dapat menjadi angka kredit, tetapi jangan menjadikan hal tersebut sebagai tujuan utama, karena bisa sakit hati atau bahkan kapok tidak mau menulis lagi.

Bukti Kredibilitas Keilmuan

Tidak dapat dipungkiri bahwa menulis adalah bukti kredibilitas keilmuan kalangan intelektual dan akademisi, termasuk WI. Melalui tulisan, seorang WI dapat mencurahkan dan menyebarkan ide atau gagasan yang dimilikinya. WI yang selain piawai bicara saat menjadi narasumber atau fasilitator, juga piawai menulis. Itu adalah sebuah kombinasi yang sempurna.

Tidak semata-mata seseorang dapat menulis kalau tidak memiliki ilmu atau wawasan yang luas. Dan wawasan itu didapatkannya dengan cara menempuh pendidikan formal, membaca dari berbagai sumber, bertanya, atau diskusi dengan pakar di bidangnya. Dengan kata lain, untuk bisa menjadi penulis, seorang WI harus mengorbankan waktu, biaya, dan tenaga.

Penulis adalah sosok yang istimewa di kalangan intelektual atau akademisi. Mengapa? Karena diakui atau tidak, tidak semua akademisi mau menulis atau memiliki kemampuan menulis yang baik. Bahkan, seorang sarjana bahasa atau sastra pun belum tentu dapat menulis dengan baik dan lancar. Ada saja alasan atau kendalanya untuk menulis. Seperti sulit mencurahkan atau mengembangkan ide dalam bentuk tulisan, malas, sibuk, kurang referensi, kurang percaya diri, takut dikritik atau diprotes orang lain, dan sebagainya.

Meningkatkan Kepercayaan Diri

Menulis selain mendatangkan kepuasan diri juga mampu meningkatkan kepercayaan diri seorang WI. Mengapa? Karena tulisan adalah sebuah karya intelektual. Tulisan dilahirkan melalui proses renungan, pemikiran, analisis, atau penelitian. Dengan kata lain, sebuah tulisan tidak datang ujug-ujug ada, dan sebuah tulisan yang berkualitas ditulis melalui sebuah proses panjang dan melelahkan.

Saat seorang WI menjadi narasumber atau fasilitator diklat pada materi tertentu dan dia melengkapinya dengan tulisan hasil karyanya sendiri sebagai salah satu sumber bacaaan bagi peserta, bisa berupa artikel, makalah, atau buku, maka dia akan lebih percaya diri dan terlihat menguasai materi, tidak hanya sekadar mengandalkan bahan tayang (power point) yang disamping dibuatnya sendiri, kadang (maaf) ada yang bukan buatannya sendiri, tapi buatan orang lain, atau bahan tayang "oleh-oleh" ToT yang pernah diikutinya.

Saat seorang WI menyampaikan materi tertentu, tidak tertutup kemungkinan ada peserta yang telah menulis atau ahli pada bidang yang disajikan WI tersebut. Saat peserta ada yang sudah kaya dengan karya tulis atau produktif menulis, sedangkan WI-nya tidak atau belum memiliki karya tulis, hal ini bisa membuat sang WI mengalami krisis percaya diri atau inferior di hadapan peserta.

Menulis Adalah Bentuk Kreativitas 

Menulis adalah bentuk kreativitas. Mengapa? karena seseorang yang tidak kreatif tidak mungkin menghasilkan karya. Dia akan diam pada zona nyaman alias tidak mau menghadapi tantangan baru. Kreativitas adalah hal yang mahal dan perlu dihargai.  Zaman sekarang orang kalau tidak kreatif akan tergilas oleh roda zaman yang terus berputar. Dia pun akan tersisih dari persaingan yang semakin ketat.

Menulis adalah urusan minat atau passion. Selain kewajiban bagi dirinya untuk menulis Karya Tulis Ilmiah (KTI), para WI juga bisa menulis secara kreatif, misalnya menulis karya fiksi seperti puisi, cerpen, atau novel. Agar jalan ceritanya menarik, juga perlu disajikan semenarik mungkin.

Sarana Eksistensi Diri dan Promosi Diri

Menulis bisa menjadi sarana eksistensi diri dan promosi diri. Sebuah tulisan yang diposting atau diterbitkan menandakan bahwa penulisnya ada, bahkan bisa jadi terkenal. Seorang penulis yang memosting buku karyanya atau berfoto dengan buku barunya adalah sebagai bentuk eksistensi diri, bahkan sebuah bentuk kebahagiaan bagi dirinya. Ada juga penulis yang berfoto bersama dengan para pembaca atau peserta sebuah kegiatan, itu juga bentuk eksistensi diri.

Jika merujuk kepada Teori Maslow, maka eksistensi diri adalah salah satu jenis kebutuhan manusia. Dia akan merasa keberadaannya diakui dan dihargai. Begitu pun bagi seorang penulis. Dia akan senang kalau karya tulisnya bisa diterima, diapresiasi, dan bermanfaat bagi para pembaca

Karya tulis membuat penulisnya tetap eksis walau dia sudah meninggal. Buku-bukunya akan tetap dibaca dari zaman ke zaman atau dari waktu ke waktu. Sudah banyak contoh buku-buku karya tokoh besar yang tetap menjadi rujukan dan bacaan pelajar dan mahasiswa, bahkan jadi buku babon walau sang tokoh sudah tiada.

Melalui karyanya, seorang WI penulis akan eksis di kalangan sesama rekan sejawatnya, di kalangan orang yang pernah menjadi peserta diklat yang difasilitasinya, di kalangan para pemangku kepentingan (stake holder), dan di kalangan pembaca atau penikmat karya-karyanya.

Seorang penulis akan senang jika karya-karyanya selalu ditunggu diapresiasi oleh para pembaca. Hal yang yang menyenangkan adalah saat para pembaca (baca = pembeli) bukunya lalu meminta tanda tangan sang penulis dan meminta foto bareng (welfie) bersamanya.

Karya tulis juga bisa menjadi sarana promosi dirinya. Promosi buku bisa langsung dilakukan oleh dirinya atau testimoni oleh orang lain yang telah memiliki atau membaca bukunya. Promosi bisa dilakukan melalui media sosial, pada saat kegiatan diklat, atau pada kegiatan lainnya.

Promosi buku bisa juga sekaligus sebagai promosi diri (baca = kompetensi) sang penulisnya. Buku yang ditulisnya akan mencerminkan dirinya sebagai narasumber atau fasilitator yang kompeten. Dan hal ini tentunya akan menjadi pertimbangan pihak yang mengundangnya menjadi fasilitator. Oleh karena itu, undangan demi undangan menjadi narasumber datang silih berganti seiring dengan semakin terkenalnya sang penulis. Hal ini tentunya menjadi berkah tersendiri bagi dirinya.

Dampak dari menulis, dia pun bisa diundang menjadi narasumber dialog (talk show) di stasiun TV atau radio. Ingat, bahwa stasiun TV atau radio tidak akan mengundang orang yang kurang kompeten atau kepakarannya diragukan, tetapi akan mengundang orang yang kepakarannya sudah teruji dan bisa dipertanggung-jawabkan, salah satunya adalah melalui bukti fisik berupa karya tulis yang ditulisnya.

Menambah Penghasilan

Selain mendapatkan gaji dan tunjangan, bagi WI menulis bisa menjadi sarana untuk menambah penghasilan. Misalnya honor dari menulis di koran atau majalah, bukunya banyak dibeli orang, atau honor sebagai pemateri di sebuah pelatihan. Jika relevan, buku yang ditulisnya pun bisa dijadikan paket pelatihan yang diisinya. Jadi, dia akan mendapatkan honor sebagai pemateri dan keuntungan dari buku yang dijualnya. Dobel penghasilan bukan?

Contoh Nyata Gerakan Literasi

Menulis adalah bukti nyata dukungan seorang WI dalam membangun dan memasyarakatkan gerakan literasi yang digulirkan oleh pemerintah sejak tahun 2015. Dia tidak hanya sekadar meminta para peserta untuk aktif dan produktif menulis, tetapi dia memberi contoh bahwa dia pun menulis atau menghasilkan karya.

Dengan kata lain, dia menjadi teladan bagi para peserta. Sebuah pepatah bijak mengatakan "satu perbuatan lebih baik dibandingkan dengan seribu kata-kata." Selain menjadi teladan, dia pun akan berwibawa dan dihormati oleh para peserta diklat pada khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Itulah delapan alasan mengapa seorang WI harus menulis dalam pandangan saya. Pilihan ada di tangan para WI atau para pembaca tulisan ini, mau menulis atau tidak? atau mau eksis melalui karya nontulisan pun tidak masalah, yang penting berkarya dan bermanfaat bagi orang lain. Selamat berkarya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun