Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Guru dan Siswa yang Merdeka dan Dimerdekakan

12 Desember 2019   07:33 Diperbarui: 12 Desember 2019   13:17 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabar gembira bagi guru itu akhirnya datang juga. Melalui Surat Edaran Nomor 14 Tahun 2019 tanggal 10 Desember 2019 Mendikbud Nadiem Makarim menyampaikan bahwa guru dimerdekakan untuk menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sesuai situasi, kondisi, dan kebutuhan di lapangan.

Sistematika RPP yang sebelumnya terdiri dari 13 komponen sebagaimana yang diatur melalui Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses disederhanakan menjadi tiga komponen minimal, yaitu (1) tujuan pembelajaran, (2) kegiatan pembelajaran, dan (3) penilaian (assesmen).

Selama ini memang guru mengeluh terbebani dengan kewajiban menyusun RPP yang tebal dan cenderung bertele-tele sehingga RPP untuk satu pertemuan yang hanya 2 JP saja bisa mencapai puluhan lembar. Bayangkan berapa ratus lembar RPP yang harus dibuat oleh guru untuk satu semester atau satu tahun pelajaran.

Dampaknya, guru disibukkan dengan hal-hal yang bersifat administrator daripada menjadi aktor. Waktu guru lebih banyak digunakan untuk menyusun RPP dan berbagai administrasi pembelajaran lainnya daripada mengajar di kelas. Akibatnya, saat menyampaikan materi asal selesai saja, kurang pendalaman, karena dikejar-kejar oleh target kalender akademik yang harus diselesaikan.

Belum lagi RPP tersebut harus dicetak dalam bentuk hard copy.  Dalam konteks lingkungan, tentu hal tersebut sangat tidak ramah lingkungan, karena kertas tersebut dibuat dari pohon, dan berapa juta pohon yang harus ditebang untuk membuat kertas tersebut?

Diakui atau tidak, banyak guru yang mengambil jalan pintas, yaitu mencari RPP melalui mbah google dan meng-copas-nya. Tinggal ganti nama guru, nama sekolah, nama tempat, dan titimangsanya. Selesai.

Setelah itu dijilid dan diserahkan saat supervisi atau akreditasi. Masih mending kalau menggunakan prinsip ATM (Amati, Tiru, Modifikasi), seorang guru masih ada kreativitas untuk menyusun RPP sedikit berbeda disesuaikan dengan kebutuhan saat kegiatan pembelajaran.

Idealnya, RPP adalah pedoman guru saat akan mengajar di kelas. Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh guru saat proses pembelajaran sesuai dengan apa yang telah disusun di RPP.

Tetapi dalam pandangan sebagian besar guru, RPP tidak lebih hanya sebuah dokumen administratif untuk menggugurkan kewajiban saja. Istilahnya, yang penting ada RPP, walau hasil copas juga, segitu juga uyuhan.

Guru tidak memiliki ikatan emosional dengan RPP yang disusunnya karena bukan buatan sendiri. Dengan kata lain, RPP tersebut tidak memiliki "ruh".

Saat ini terbuka ruang bagi para guru untuk merdeka. Merdeka menyusun RPP, merdeka menyusun strategi pembelajaran yang mampu menggali keterampilan berpikir kritis siswa, dan merdeka dalam melakukan penilaian hasil belajar siswa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun