Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memaknai Pidato Nadiem Makarim

25 November 2019   22:58 Diperbarui: 25 November 2019   23:04 1803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pidato sambutan Mendikbud Nadiem Anwar Makarim yang viral sebelum peringatan Hari Guru Nasional (HGN) tanggal 25 November 2019 membuatnya tidak membacakannya pada saat hari H-nya. Mungkin supaya tidak membuat bosan peserta upacara upacara.

Pidato yang singkat dan padat tersebut tampil beda dibandingkan dengan pidato-pidato menteri atau pejabat yang biasanya retoris, normatif, dan berhias kata-kata motivasi. Dalam isi pidatonya, Nadiem disamping mengapresiasi profesi guru sebagai profesi yang mulai sekaligus juga tersulit, Beliau juga menyoroti peran dan posisi guru yang yang kontradiktif antara harapan dan kenyataan. Dan jika dianalisis lebih jauh, isi pidatonya justru lebih  kepada evaluasi diri dan introspeksi diri di dalam Kemendikbud sendiri.

Jika ditelaah point-point isi pidatonya sebagai berikut:

Pertama:

"Anda ditugasi untuk membentuk masa depan bangsa, tetapi lebih sering diberi aturan dibandingkan dengan pertolongan."

 Posisi guru sebagai pelaksana dan sasaran kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, mereka taat dan turut saja terhadap apapun kebijakan pemerintah walau kadang disertai menggerutu karena dianggap membebani mereka.

Saya perhatikan, Pejabat Kemendikbud, Kepala Daerah, Dinas Pendidikan, atau Badan Kepegawaian dalam sambutannya hampir pasti meminta guru melakukan sesuatu atau melarang guru melakukan sesuatu. Bahkan kadang disertai dengan "ancaman", kalau guru tidak begini, maka konsekuensinya akan begini.

Misalnya, bagi guru yang telah disertifikasi, kalau kekurangan jam mengajar, maka Tunjangan Profesi Guru (TPG) tidak akan cair. Akibatnya, guru yang kekurangan jam mengajar harus pusing mencari sekolah yang bersedia menampungnya.

Guru SD yang telah disertifikasi, tetapi gelar sarjananya tidak linier alias bukan dari jurusan PGSD, maka terancam kehilangan TPG dan kesulitan untuk naik pangkat. Akibatnya, guru-guru SD yang gelar sarjananya tidak linier resah dan terpaksa mengambil kuliah lagi karena takut kehilangan TPG dan takut kenaikan pangkatnya terhambat.

Saat mau pencairan TPG, guru disibukkan dengan pemberkasan berbagai administrasi. Bahkan beberapa waktu yang lalu ada aturan jika guru yang sakit, umrah, atau menunaikan ibadah haji TPG-nya dicabut dengan alasan tidak mengerjakan tugas. Tetapi, kemudian aturan ini kemudian tidak diberlakukan lagi.

Kedua:

"Anda ingin membantu murid yang mengalami ketertinggalan di kelas, tetapi waktu Anda habis untuk mengerjakan tugas administratif tanpa manfaat yang jelas."

 Salah satu keluhan sebagian besar guru adalah banyak dan bertumpuknya beban administratif yang harus dibuat atau dikerjakan. Siapa yang meminta? Yang tentunya yang meminta adalah pemerintah melalui dinas pendidikan

Saat bimtek kurikulum, peserta bimtek pasti ujungnya diarahkan untuk membuat berbagai administrasi KBM, mulai dari Program Tahunan (Prota), Program Semester (Promes), Analisis Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Analisis Kompetensi Inti (KI)/ Kompetensi Dasar (KD), Silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), program remedial, analisis hasil belajar, laporan hasil belajar, dan sebagainya.

Maka Lembar-lembar (LK) pun bertebaran, harus dikerjakan oleh guru. Berbagai dokumen administrasi guru, kalau diprint, bisa memenuhi meja kerjanya.

Pada saat akreditasi atau Penilaian Kinerja Guru (PKG), maka berbagai administrasi guru tersebut harus dikumpulkan sebagai bukti fisik. Guru terpaksa begadang semalam suntuk untuk mengumpulkan bukti-bukti tersebut, dan ternyata bukti-bukti fisik tersebut hanya diperiksa beberapa saat saja oleh asesor pada saat kegiatan akreditasi.

Ketiga:

"Anda tahu betul bahwa potensi anak tidak dapat diukur dari hasil ujian, tetapi terpaksa mengejar angka karena didesak berbagai pemangku kepentingan."

Dulu, saat hasil Ujian Nasional (UN) menjadi syarat kelulusan, maka guru-guru mapel yang di-UN-kan tertekan, dia mendrill siswa-siswanya dengan latihan-latihan soal, dan terkadang harus menjadi "tim sukses" agar semua siswanya lulus UN.

Ini semua tidak lepas dari instruksi kepala daerah, kepala dinas pendidikan, dan kepala sekolah supaya semua siswanya lulus 100%. Pencapaian Nilai UN menjadi gengsi tersendiri bagi sebuah satuan pendidikan bahkan bagi daerah.

Saat ini, nilai UN tidak lagi menjadi syarat kelulusan. Walau demikian, guru masih terbebani dengan "pesan sponsor" bahwa nilai siswa harus memuaskan pada setiap mata pelajaran, walau sebenarnya setiap siswa memiliki minat, bakat, dan potensi yang beragam.

Normatifnya, Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) ditentukan oleh guru. Walau demikian, pada kenyataannya, guru tidak bisa membuat KKM secara objektif, karena tersandera oleh kebijakan bahwa KKM harus bagus demi menjaga gengsi sekolah. Oleh karena itu, guru pun kesulitan melakukan penilaian secara otentik dan objektif.

Keempat:

"Anda ingin mengajak murid keluar kelas untuk belajar dari dunia sekitarnya, tetapi kurikulum yang begitu padat menutup pintu petualangan."

 Sebagai pelaksana kurikulum, guru dihadapkan pada berat dan padatnya beban kurikulum. Dampaknya, guru kurang fokus terhadap penguasaan materi pelajaran, tetapi lebih fokus mengejar target materi yang harus diajarkan dalam satu semester.

Akibatnya, guru menyampaikan materi asal selesai, tidak terlalu peduli apakah materi tersebut benar-benar dikuasai oleh murid atau belum. Guru tidak berani menggunakan sumber-sumber belajar lain dan melakukan pendalaman materi, karena khawatir target materi tidak tercapai.

Kelima:

"Anda frustasi karena Anda tahu bahwa di dunia nyata kemampuan berkarya dan berkolaborasi akan menentukan kesuksesan anak, bukan kemampuan menghapal."

Penilaian yang lebih menekankan pada aspek hapalan menyebabkan guru lebih fokus kepada bagaimana siswa menghapal materi daripada memahami dan mengimplementasikan materi. Apalagi sampai pada ranah analisis, evaluasi, dan kreasi. Masih jauh dari harapan.

Seiring dengan implementasi kurikulum 2013, sebenarnya Kemendikbud telah memberikan pelatihan kepada guru-guru agar pembelajaran bukan hanya pada ranah berpikir rendah (Lower Order Thinking Skills/LOTS) yang terdiri dari C-1 (mengingat), C-2 (memahami), dan C-3 (mengimplementasikan), tetapi juga kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills/HOTS) yang terdiri dari C-4 (menganalisis), C-5 (mengevaluasi), dan C-6 (mencipta).

Selain itu, para guru juga diarahkan untuk membekali siswa dengan kemampuan abad 21 yang disebut 4C yang meliputi: (1) communication (komunikasi), (2) collaboration (kolaborasi), (3) critical thinking and problem solving (berpikir kritis dan menyelesaikan masalah), dan (4) creative and innovative (kreatif dan inovatif).

Untuk mewujudkan hal tersebut, maka guru harus diberikan ruang untuk kreatifitas dan inovasi, membelajarkan siswa bukan hanya terbatas di dalam ruang kelas berukuran sekian meter kali sekian meter, tetapi juga di luar kelas, mengamati fenomena sosial, fenomena lingkungan, menyelesaikan masalah, atau menyusun alternatif penyelesaian masalah untuk melatih daya kritis, daya kreatif, dan inovatif.

Setiap siswa bukan hanya didorong untuk berkompetisi, tetapi juga untuk berkolaborasi agar mereka bukan hanya bersaing tetapi juga mampu bersanding. Bukan hanya saling mengalahkan, tetapi juga saling menguatkan.

Keenam:

"Anda tahu bahwa setiap anak memiliki kebutuhan berbeda, tetapi keseragaman telah mengalahkan keberagaman sebagai prinsip dasar birokrasi."

Setiap anak adalah unik. Dalam perspektif psikologi pembelajaran, tidak ada anak yang bodoh, tetapi yang ada anak yang cepat menguasai materi pelajaran dan ada yang memiliki waktu yang lebih lama untuk menguasai pembelajaran.

 Tidak ada anak yang bodoh, tetapi guru yang belum mampu mengidentifikasi minat, bakat, dan potensi setiap peserta didiknya. Tidak ada anak yang tidak cerdas, tetapi memiliki kecerdasan yang beragam.

Mengacu kepada teori kecerdasan majemuk (multiple intelligence) yang disampaikan oleh Howard Gardner, terdapat  8 (delapan) jenis kecerdasan sebagai  berikut : (1) kecerdasan linguistik (bahasa), (2) kecerdasan logis-matematik, (3) kecerdasan musikal, (4) kecerdasan visual-spasial (gambar-ruang), (5) kecerdasan kinestetik (gerak tubuh), (6) kecerdasan intrapersonal (memahami dan mengelola diri sendiri), (7) kecerdasan interpersonal (memahami dan membina hubungan baik dengan orang lain), dan (8) kecerdasan naturalis (alam, hewan, tumbuhan).

Praktik pendidikan kita masih mengacu kepada raihan angka-angka yang dicapai oleh peserta didik pada buku rapot. bukan berdasarkan potensi yang dimilikinya. Rangking ibarat berhala dan pengastaan yang masih terjadi di lingkungan pendidikan.

Saat melamar pekerjaan pun, IPK kadang menjadi syarat untuk diterima, padahal tidak ada hubungan yang siginifikan antara IPK dengan kemampuan seorang pegawai saat bekerja.

Hal yang diperlukan saat bekerja disamping pengetahuan dan keterampilan terhadap pelaksanaan tugasnya, juga yang paling menentukan adalah kemampuannya dalam mengelola diri (intrapersonal skill), bisa bekerja dalam kelompok, saling menghormati dan menghargai (interpersonal skill), bekerja di bawah tekanan (underpressure), kreativitas, dan inovasi.

Dalam praktiknya, proses pendidikan didistorsi menjadi sebuah proses persekolahan, karena peserta didik hanya dijejali ilmu pengetahuan, tetapi kurang ditumbuhkan atau dikuatkan karakternya.

Dengan demikian, pendidikan gaya bank pun terjadi. Setiap peserta didik dianggap sebagai gelas kosong yang siap diberikan ilmu pengetahuan apapun. Setiap peserta didik yang memiliki beragam potensi itu diberikan materi dengan metode yang sama.

Ibaratnya burung dan ikan diajari untuk terbang. Tentunya burunglah yang akan mampu melakukannya. Sedangkan ikan akan dianggap bodoh karena tidak bisa terbang, padahal ikan butuhnya bukan bisa terbang, tetapi berenang atau hidup di air.

Ketujuh:

"Anda ingin setiap murid terinspirasi, tetapi Anda tidak diberi kepercayaan untuk berinovasi."

Pembelajaran yang efektif selain berhasil membuat peserta didik memahami materi pelajaran, juga mampu menginspirasi, sehingga setiap peserta didik termotivasi untuk belajar dengan bersungguh-sungguh dan menjadi manusia yang berguna.

Untuk mewujudkan hal tersebut, maka guru harus mampu menjadi inspirator dan teladan bagi setiap peserta didiknya.

Keterbatasan wawasan, kelelahan dalam proses pembelajaran, dan beban administrasi yang menumpuk menyebabkan banyak guru yang belum mampu atau tidak sempat berinovasi. Belum lagi tugas-tugas tambahan yang dibebankan membuat mereka keteteran dan tugas pokoknya terbengkalai.

Saran untuk Peningkatan Mutu Proses Pembelajaran
Berdasarkan kepada isi pidato Mendikbud Nadiem Makarim yang menurut Saya justru lebih menyoroti institusi Kemendikbud sendiri, maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan:

  • Pangkas, revisi, dan sederhanakan berbagai regulasi yang membebani dan memberatkan guru, khususnya berkaitan dengan administarasi pembelajaran dan kenaikan pangkat;
  • Berikan ruang dan kemerdekaan kepada guru untuk berinovasi dalam proses pembelajaran. RPP tidak perlu dibuat detil, bertele-tele, dan tebal. Tetapi cukup dalam bentuk peta konsep yang dijadikan pedoman oleh guru dan dijabarkan secara kreatif dalam pembelajaran sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi;
  • Tingkatkan profesionalisme guru melalui berbagai forum ilmiah, baik di tingkat satuan pendidikan, gugus, lokal, nasional, bahkan internasional;
  • Optimalkan penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam pembelajaran untuk memudahkan dan meningkatkan kualitas pembelajaran oleh guru;
  • Tingkatkan jaminan perlindungan terhadap guru agar mereka merasa aman dan nyaman dalam melaksanakan tugas, termasuk kepastian karir dan jaminan kesejahteraan bagi guru-guru honorer;
  • Penilaian kinerja guru bukan hanya berdasarkan portofolio dokumen, tetapi berdasarkan proses pembelajaran, penilaian atasan, penilaian rekan sejawat, dan peserta didik sehingga lebih objektif dan komprehensif.

Semoga pidato Mendikbud Nadiem Makarim bisa ditindaklanjuti oleh kebijakan-kebijakan yang lebih substantif, konkrit dan operasional agar benar-benar dirasakan oleh guru.

Kepada para guru, mari kita melakukan perubahan kecil, mulai dari kelas dalam upaya mewujudkan perubahan besar, yaitu menghasilkan generasi bangsa yang kompetitif dan berkarakter. Wallaahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun