Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkades yang Berintegritas

21 November 2019   02:35 Diperbarui: 21 November 2019   02:46 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PILKADES YANG BERINTEGRITAS

Oleh:

IDRIS APANDI

(Pemerhati Sosial)

 

Tahun 2019 banyak sekali Kabupaten/Kota yang menyelenggarakan pemilihan kepala desa (Pilkades) Serentak. Saya melihat fenomena begitu semarak dan bergairahnya proses Pilkades. 

Jabatan kepala desa saat ini sudah dianggap yang bergengsi dan menarik. Hal ini setidaknya hal ini dapat dilihat dari cukup antusiasnya para pendaftar calon kepala desa. Berdasarkan pengamatan saya di beberapa daerah yang saya kunjungi di wilayah Jawa Barat. Rata-rata calon kepala desa yang bersaing lebih dari dua orang. 

Apakah cukup banyaknya yang berminat menjadi kepala desa didasari oleh semakin meningkatkan kesadaran politik warga desa setempat untuk menjadi pemimpin atau ada motif yang lain, seperti gaji kepala desa yang cukup menjanjikan, atau jumlah Anggaran Dana Desa (ADD) yang semakin besar diterima oleh desa? Setiap pendaftar tentunya punya motivasi dan argumen masing-masing.

Para pendaftar calon kades berasal dari beragam latar belakang. Mulai dari wirausahawan, PNS, pensiunan TNI/POLRI/BUMN, guru honorer, tokoh agama, hingga caleg yang gagal terpilih saat pemilihan legislatif. 

Dari sisi usia, selain kalangan tua, saat ini muncul tren generasi muda yang semakin tertarik untuk menjadi kades. Hal ini tentunya sah-sah saja. Mungkin kalangan muda ingin lebih berpartisipasi menjadi pemimpin dan pelopor pembangunan desa.

Kepala desa dipilih secara langsung oleh masyarakat desa yang memiliki hak pilih. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, kepala Desa menjabat selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Kepala Desa dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Pilkades tidak kalah semarak dengan pilkada bahkan pilres. Bahkan aroma persaingannya bisa lebih panas dibandingkan dengan pilkada atau pilpres, karena hubungan emosional dan primordial warganya cukup kuat. 

Oleh karena itu, saking panasnya persaingan pada pilkades, tidak jarang terjadi konflik horizontal antarpendukung atau tim sukses (timses) antarcalon kades.

Modal yang dikeluarkan untuk nyalon kades pun tidak bisa dianggap enteng. Biaya mulai dari pendaftaran hingga masa kampanye mulai dari level puluhan sampai ratusan juta. 

Rata-rata calon kades mengeluarkan biaya dari kantong sendiri, tidak ada yang menyeponsori atau menyumbang. Oleh karena itu, tidak heran kalau seorang calon kades meminjam, menjual, atau menggadaikan hartanya untuk biaya ikut nyalon kades.

Apakah warga cukup tertarik mendukung hanya dengan paparan visi setiap calon kades yang indah dan bombastis itu? Jawabannya belum tentu. Warga, khususnya warga kebanyakan, yang bermental pragmatis dan oportunis berharap yang lebih konkrit dari sekedar pidato dan janji-janji, yaitu materi. Bagi orang oportunis, semua calon kades didatangi, yang penting memberi "gizi". Urusan pilihan di hari H pencoblosan, itu soal nanti, atau pilih sesuai hati nurani.

Kalau saya amati visi dan misi setiap calon kades, hampir semuanya mengandalkan kata, semboyan, jargon, atau akronim yang kadang (maaf) terkesan bombastis, muluk-muluk, disambung-sambungkan, bahkan terkesan dipaksakan, serta tidak jelas cara mengukur keberhasilannya. Yang penting ada atau yang penting beda dengan calon lainnya.

Hal ini juga saya perhatikan meniru dari jargon-jargon saat Pilkada. Kebanyakan para calon kades menulis visinya dalam bentuk akronim seperti: UNGGUL, KUAT, MAJU, SEHAT, IKHLAS, BERJAYA, MUDA, CANTIK, dan sebagainya. Lalu setiap hurufnya dijabarkan lagi. Misalnya kalau visinya MAJU, maka dijabarkan menjadi M = Mandiri, A = Agamis, J = Jujur, dan U = Unggul.

Visi atau janji yang dibuat oleh para calon kades adalah hal yang wajar-wajar saja. Ibaratnya, orang sedang dagang atau promosi sebuah produk, pastinya yang dimunculkannya adalah hal yang baik-baik bahkan seolah lebih unggul dari yang lainnya. Kalau sudah jadi, ya itu urusan nanti. Yang penting terpilih dulu. 

Kalau perhelatan Pilkades sudah selesai, bukan hanya calon terpilih, para pemilih serta masyarakat desa secara umum pun kadang lupa dengan visi atau jargon-jargon saat kampanye atau lupa menagih bukti konkrit sesuai dengan visi atau janji yang dibuat sang calon kades.

Untuk bisa dipilih, selain mengandalkan visi, calon kades ada juga yang mengandalkan hubungan primordial, ikatan emosional, ikatan kekeluargaan, atau kekerabatan. Misalnya sang calon adalah anaknya si anu, cucunya si anu, anggota kelompok anu, orang kampung anu, dan sebagainya.

Apakah deretan gelar kependidikan dapat menarik simpati para pemilih untuk memilihnya? Menurut saya belum tentu. Orang yang bergelar atau berpendidikan tinggi belum tentu bisa mengalahkan saingannya yang berpendidikan lebih rendah. 

Bahkan bisa dikatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara gelar kependidikan yang disandang oleh calon kades dengan peluang untuk memenangkan pilkades. 

Mengapa demikian? Karena yang saya perhatikan, hal yang paling dilihat oleh pemilih disamping pendekatan secara individual-teritorial, rekam jejak calon, juga potensi "serangan fajar" atau "bom gizi" jelang atau saat hari H pemilihan.

Walau panitia telah membuat aturan main tidak boleh ada politik uang (money politic) saat kampanye dan diawasi oleh Panwas, pada kenyataannya diakui atau tidak, potensi "serangan fajar" atau "bom gizi" saat pilkades tetap ada. 

Sederhananya, orang pergi ke tempat pencoblosan pakai kendaraan perlu bensin, terus membawa anak ke lokasu pencoblosan, terus minta jajan kepada orang tuanya, tentunya harus bawa bekal dari rumah. 

Hal itulah yang menjadikan "serangan fajar" kadang dianggap sebagai hal yang lumrah, walau sebenarnya hal tersebut tentunya merusak hakikat dari pilkades yang luber dan jurdil.

Pelaksanaan Pilkades juga diwarnai dengan adanya tim sukses (timses) dari tiap calon kades yang bersaing. Merekalah yang menjadi corong bagi sang calon untuk meyakinkan para pemilih untuk memilih calon yang didukungnya. Dan itu tentunya tidak cukup hanya mengandalkan mulut, pidato, atau air bening saja. Tetapi perlu juga "gizi" atau biaya operasional. Dalam politik praktis, tidak ada dukungan yang gratis, tetapi yang terjadi adalah siapa akan dapat apa? 

Oleh karenanya, saat seorang calon kades memenangkan pilkades, maka politik balas budi atau politik bagi-bagi kursi kemungkinan terjadi. Misalnya timses diangkat menjadi staf desa, diberi kepercayaan untuk memegang proyek atau kegiatan desa, atau diprioritaskan mendapatkan bantuan. 

Hal ini bisa saja dibantah, tapi realita menunjukkan timses, pendukung presiden-wapres pun banyak yang diangkat menjadi menteri, pejabat di lembaga nonkementerian atau BUMN. Hal ini bisa dicontoh oleh kades terpilih.

Selain sebagai pesta demokrasi, perlu pula menjadikan pilkades sebagai sarana pendidikan politik bagi semua warga desa. Pelaksaan pilkades tidak dapat dipungkiri kadang diwarnai oleh hoaks, fitnah, atau ujaran kebencian, sehingga suasana menjadi kurang kondusif. 

Oleh karena itu, semua pihak, mulai dari panitia yang menjaga independesinya, para calon kades, timses, para pendukung dan masyarakat secara umum harus dapat menahan diri, menjaga integritas, dan berkomitmen untuk menciptakan pilkades yang luber dan jurdil. Pilkades yang berintegritas menjadi modal penting agar terpilih kepala desa secara demokratis. Wallaahu a'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun