Bahkan bisa dikatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara gelar kependidikan yang disandang oleh calon kades dengan peluang untuk memenangkan pilkades.Â
Mengapa demikian? Karena yang saya perhatikan, hal yang paling dilihat oleh pemilih disamping pendekatan secara individual-teritorial, rekam jejak calon, juga potensi "serangan fajar" atau "bom gizi" jelang atau saat hari H pemilihan.
Walau panitia telah membuat aturan main tidak boleh ada politik uang (money politic) saat kampanye dan diawasi oleh Panwas, pada kenyataannya diakui atau tidak, potensi "serangan fajar" atau "bom gizi" saat pilkades tetap ada.Â
Sederhananya, orang pergi ke tempat pencoblosan pakai kendaraan perlu bensin, terus membawa anak ke lokasu pencoblosan, terus minta jajan kepada orang tuanya, tentunya harus bawa bekal dari rumah.Â
Hal itulah yang menjadikan "serangan fajar" kadang dianggap sebagai hal yang lumrah, walau sebenarnya hal tersebut tentunya merusak hakikat dari pilkades yang luber dan jurdil.
Pelaksanaan Pilkades juga diwarnai dengan adanya tim sukses (timses) dari tiap calon kades yang bersaing. Merekalah yang menjadi corong bagi sang calon untuk meyakinkan para pemilih untuk memilih calon yang didukungnya. Dan itu tentunya tidak cukup hanya mengandalkan mulut, pidato, atau air bening saja. Tetapi perlu juga "gizi" atau biaya operasional. Dalam politik praktis, tidak ada dukungan yang gratis, tetapi yang terjadi adalah siapa akan dapat apa?Â
Oleh karenanya, saat seorang calon kades memenangkan pilkades, maka politik balas budi atau politik bagi-bagi kursi kemungkinan terjadi. Misalnya timses diangkat menjadi staf desa, diberi kepercayaan untuk memegang proyek atau kegiatan desa, atau diprioritaskan mendapatkan bantuan.Â
Hal ini bisa saja dibantah, tapi realita menunjukkan timses, pendukung presiden-wapres pun banyak yang diangkat menjadi menteri, pejabat di lembaga nonkementerian atau BUMN. Hal ini bisa dicontoh oleh kades terpilih.
Selain sebagai pesta demokrasi, perlu pula menjadikan pilkades sebagai sarana pendidikan politik bagi semua warga desa. Pelaksaan pilkades tidak dapat dipungkiri kadang diwarnai oleh hoaks, fitnah, atau ujaran kebencian, sehingga suasana menjadi kurang kondusif.Â
Oleh karena itu, semua pihak, mulai dari panitia yang menjaga independesinya, para calon kades, timses, para pendukung dan masyarakat secara umum harus dapat menahan diri, menjaga integritas, dan berkomitmen untuk menciptakan pilkades yang luber dan jurdil. Pilkades yang berintegritas menjadi modal penting agar terpilih kepala desa secara demokratis. Wallaahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H