Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkades yang Berintegritas

21 November 2019   02:35 Diperbarui: 21 November 2019   02:46 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pilkades tidak kalah semarak dengan pilkada bahkan pilres. Bahkan aroma persaingannya bisa lebih panas dibandingkan dengan pilkada atau pilpres, karena hubungan emosional dan primordial warganya cukup kuat. 

Oleh karena itu, saking panasnya persaingan pada pilkades, tidak jarang terjadi konflik horizontal antarpendukung atau tim sukses (timses) antarcalon kades.

Modal yang dikeluarkan untuk nyalon kades pun tidak bisa dianggap enteng. Biaya mulai dari pendaftaran hingga masa kampanye mulai dari level puluhan sampai ratusan juta. 

Rata-rata calon kades mengeluarkan biaya dari kantong sendiri, tidak ada yang menyeponsori atau menyumbang. Oleh karena itu, tidak heran kalau seorang calon kades meminjam, menjual, atau menggadaikan hartanya untuk biaya ikut nyalon kades.

Apakah warga cukup tertarik mendukung hanya dengan paparan visi setiap calon kades yang indah dan bombastis itu? Jawabannya belum tentu. Warga, khususnya warga kebanyakan, yang bermental pragmatis dan oportunis berharap yang lebih konkrit dari sekedar pidato dan janji-janji, yaitu materi. Bagi orang oportunis, semua calon kades didatangi, yang penting memberi "gizi". Urusan pilihan di hari H pencoblosan, itu soal nanti, atau pilih sesuai hati nurani.

Kalau saya amati visi dan misi setiap calon kades, hampir semuanya mengandalkan kata, semboyan, jargon, atau akronim yang kadang (maaf) terkesan bombastis, muluk-muluk, disambung-sambungkan, bahkan terkesan dipaksakan, serta tidak jelas cara mengukur keberhasilannya. Yang penting ada atau yang penting beda dengan calon lainnya.

Hal ini juga saya perhatikan meniru dari jargon-jargon saat Pilkada. Kebanyakan para calon kades menulis visinya dalam bentuk akronim seperti: UNGGUL, KUAT, MAJU, SEHAT, IKHLAS, BERJAYA, MUDA, CANTIK, dan sebagainya. Lalu setiap hurufnya dijabarkan lagi. Misalnya kalau visinya MAJU, maka dijabarkan menjadi M = Mandiri, A = Agamis, J = Jujur, dan U = Unggul.

Visi atau janji yang dibuat oleh para calon kades adalah hal yang wajar-wajar saja. Ibaratnya, orang sedang dagang atau promosi sebuah produk, pastinya yang dimunculkannya adalah hal yang baik-baik bahkan seolah lebih unggul dari yang lainnya. Kalau sudah jadi, ya itu urusan nanti. Yang penting terpilih dulu. 

Kalau perhelatan Pilkades sudah selesai, bukan hanya calon terpilih, para pemilih serta masyarakat desa secara umum pun kadang lupa dengan visi atau jargon-jargon saat kampanye atau lupa menagih bukti konkrit sesuai dengan visi atau janji yang dibuat sang calon kades.

Untuk bisa dipilih, selain mengandalkan visi, calon kades ada juga yang mengandalkan hubungan primordial, ikatan emosional, ikatan kekeluargaan, atau kekerabatan. Misalnya sang calon adalah anaknya si anu, cucunya si anu, anggota kelompok anu, orang kampung anu, dan sebagainya.

Apakah deretan gelar kependidikan dapat menarik simpati para pemilih untuk memilihnya? Menurut saya belum tentu. Orang yang bergelar atau berpendidikan tinggi belum tentu bisa mengalahkan saingannya yang berpendidikan lebih rendah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun