Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Pengangguran dan Mentalitas Pencari Kerja Pemula

26 Juli 2019   17:59 Diperbarui: 26 Juli 2019   18:03 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PENGANGGURAN DAN MENTALITAS PENCARI KERJA PEMULA

Oleh:

 IDRIS APANDI

(Praktisi Pendidikan, Pengamat Masalah Sosial)

Beberapa waktu yang lalu viral sebuah insta story seorang sarjana fresh graduate dari sebuah perguruan tinggi ternama di Jawa Barat yang menolak tawaran gaji 8 juta saat dia mengikuti wawancara dengan alasan bahwa dia adalah sarjana yang baru saja keluar dari sebuah kampus bonafit. Dalam pandangannya, gaji tersebut mungkin tidak sesuai dengan kompetensi atau kualifikasi pendidikannya. Tidak jelas apa jenis pekerjaan yang dia lamar, tapi sontak hal tersebut membuat banyak netizen yang mencibirnya sebagai sarjana yang sombong, berlebihan, dan tidak bersyukur disaat banyaknya orang yang sulit mencari kerja.

Yang saya tahu, biasanya orang yang benar-benar memerlukan pekerjaan apalagi yang belum memiliki pengalaman siap dengan upah rendah atau minimal UMR. Yang penting tidak menganggur, karena pekerjaan adalah urusan harga diri dan aktualisasi seseorang utamanya kaum lelaki, apalagi kalau dia sudah menjadi kepala keluarga, karena dia wajib menafkahi keluarganya. Ketika seseorang menganggur, apalagi seorang sarjana, dia akan memiliki beban psikologis. Dia akan malu dengan orang tuanya, pacarnya (kalau punya), istrinya (kalau sudah menikah), teman-teman satu angkatan, bahkan tetangganya. Dia tidak mau menjadi bahan cibiran para tetangganya. Oleh karena itu, dia akan berupaya memiliki pekerjaan.

Masalahnya adalah saat sebuah pekerjaan hanya diidentikkan dengan kerja kantoran atau menjadi PNS, apalagi dikalangan sarjana yang pada umumnya ingin menjadi pekerja kantoran atau PNS. Padahal hakikat dari sebuah pekerjaan adalah sebuah aktivitas yang bertujuan untuk mencari nafkah yang halal, apakah kerja kantoran atau berwirausaha.

Pada dasarnya adalah hak setiap orang untuk meminta gaji sesuai dengan kompetensi dan profesionalismenya kepada pihak yang akan memerlukannya, apalagi kalau dia adalah seorang tenaga yang profesional, kompetensinya khusus, dan prestasinya menonjol. Istilahnya, ada uang, ada jasa. Misalnya, pemain sepak bola selevel Leonel Messi atau Christiano Ronaldo dia bebas menentukan berapa nilai transfer bagi klub manapun yang menginginkan jasanya karena mereka adalah pemain sepak bola profesional, terkenal, mendunia, dan telah menyabet berbagai prestasi. Jadi wajar kalau harganya sangat-sangat mahal. Gajinya milyaran setiap pekan.

Tapi kalau hanya seorang sarjana fresh graduate dengan kompetensi yang rata-rata, tidak terlalu memiliki kemampuan yang khusus dibandingkan dengan lulusan lainnya, maka alangkah berlebihannya kalau dia meminta gaji yang tinggi. Istilahnya, kalau dia tidak mau menerima sebuah pekerjaan karena gajinya dianggap kecil, maka perusahaan akan mencari pelamar lain yang mau bekerja di perusahannya.

Orang yang ujug-ujug mendapatkan gaji yang besar, biasanya cenderung boros, tidak bisa menghargai nilai uang, karena menganggap dirinya mudah mencari uang. Hari ini uang terkumpul langsung dihabiskan, karena dia merasa besok bisa mencari lagi. Tetapi kalau dia memulai karir dar nol, gajinya kecil, prihatin, biasanya cenderung hemat, menghargai uang, bekerja keras, menabung untuk bekal di masa depan. Oleh karena itu, banyak pengusaha sukses yang pada awalnya berasal dari staf level rendah. Dan sebaliknya, banyak orang bangkrut gara-gara hidup berfoya-foya dan tidak mengantisipasi kondisi ekonomi di masa depan.

Apakah nama besar almamater ada kaitannya dengan jaminan mendapatkan pekerjaan atau kesuksesan di masa depan? Howard Gardner dalam penelitiannya menyampaikan bahwa kesuksesan seseorang hanya 20% ditentukan oleh kemampuan intelektual (hard skill), dan 80% ditentukan oleh karakter (soft skill). Berdasarkan kepada hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sarjana lulusan kampus bergengsi belum tentu dapat dengan mudah mendapatkan pekerjaan, karena hal utama yang diperlukan untuk bekerja dalam sebuah instansi adalah kejujuran, disiplin, kerja keras, bisa bekerja dalam kelompok, dan bisa bekerja di bawah tekanan (under pressure), sedangkan masalah kecerdasan intelektual hanya nomor ke sekian.

Ketika seseorang sudah bekerja di sebuah perusahaan, walau ijazah menjadi syarat formal, tetapi dalam prakteknya adalah konstribusi apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kinerjan perusahaan? Ide dan kreativitas apa yang bisa dibuat untuk meningkatkan daya saing perusahaan? Dan sebagainya. Oleh karena itu, seorang sarjana lulusan fresh graduate tidak perlu menonjolkan nama kampusnya, tetapi apa kompetensi yang membuatnya bisa lebih layak dipilih sebagai pegawai baru di sebuah perusahaan.

Terkait dengan banyaknya pengangguran di Indonesia, dalam sebuah talk show yang diselenggarakan berkaitan dengan masalah tingginya angka pengangguran di Indonesia, salah seorang narasumber menyampaikan bahwa salah satu hal yang menyebabkan banyaknya pelamar kerja yang ditolak atau pegawai yang diberhentikan dari sebuah perusahaan adalah masalah karakter seperti etos kerja yang rendah, rendahnya kemampuan bahasa asing, dan sebagainya.

Kewirausahaan

Ditengah sulitnya lapangan pekerjaan, para sarjana fresh graduate bukan hanya didorong untuk mencari pekerjaan tetapi menciptakan lapangan kerja sendiri atau berwirausaha. Pendidikan kewirausahaan perlu diberikan kepada para mahasiswa. Mereka bukan hanya disiapkan mencari kerja, tetapi menciptakan lapangan kerja sendiri. Kalau semuanya lulusan mengandalkan hanya menjadi pegawai, akan sulit ditampung oleh dunia kerja.

Dengan menjadi wirausaha, disamping mengurangi pengangguran, juga bisa memberdayakan orang lain, karena seorang wirausahawan biasanya juga membutuhkan karyawan. Seorang wirausahawan juga tidak akan dikendalikan atau didikte oleh orang lain, karena dia sendiri adalah bosnya. Sebagai bos, dia bebas mengurus dirinya sendiri, tanpa khawatir diatur-atur oleh orang lain.

Idealnya, seorang sarjana bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikannya, tetapi pada kenyataannya tidak semikian. Banyak sarjana yang pada akhirnya bekerja tidak sesuai dengan latar belakangnya karena sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakangnya. Prinsipnya, yang penting bekerja, daripada menganggur, apalagi kalau sudah berkeluarga. Ada prinsip learning by doing, dimana walau seseorang bekerja tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya, tetapi kalau dia tekun, mau belajar, maka dia akan terbiasa sehingga pada akhirnya dia kompeten, apalagi kalau selama bekerja disertai dengan pelatihan.

Kepada para sarjana fresh graduate adalah hak Anda untuk mencari pekerjaan dan mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kemampuan dan harapan Anda, tetapi Anda pun harus realistis, tidak terlalu pilih-pilih pekerjaan, karena selain Anda, banyak juga pencari lapangan kerja yang lain yang siap bersaing dengan Anda. Meniti karir dari bawah akan membuat Anda merasakan sebuah perjuangan untuk sukses, akan semakin mengokohkan mental Anda, dan tidak membuat karir Anda cepat jatuh, karena karir yang terlalu cepat melesat biasanya cepat juga jatuh pula. Wallaahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun