Hal ini disebabkan oleh; pertama, guru belum bisa keluar dari paradigma lama seolah sebagai satu-satunya sumber belajar, padahal guru hanya merupakan salah satu sumber belajar. Seolah guru yang baik adalah guru yang banyak bicara (ceramah) dari awal hingga akhir pembelajaran, padahal guru yang baik adalah yang mampu secara efektif mengelola pembelajaran. Dengan kata lain, guru bukan hanya sebagai sumber belajar, tetapi juga sebagai fasilitator pembelajaran. Dan sebagai fasilitator pembelaran, guru cukup mengatur lalu lintas pembelajaran, sehingga pembelaran dapat berjalan secara aktif dan bermakna.
Dalam praktiknya hal ini tidak mudah, karena disamping faktor kompetensi guru, juga ada faktor latar belakang (intake) siswa. Kadang guru sudah berupaya mengaktifkan siswa, tetapi mereka lebih banyak yang pasif daripada yang aktif, sehingga pembelajaran tetap kurang hidup atau monoton.
Kedua, banyak guru belum dibekali dengan penguasaan pembelajaran kooperatif (CBSA). Guru pun belum mengoptimalkan keterampilan proses dalam pembelajaran, sehingga masih dominan menggunakan metode ceramah. Mengapa demikian? Sekian tahun silam, kesempatan bagi guru untuk mengikuti pelatihan yang dilaksanakan oleh pemerintah sangat terbatas. Kalau pun ada program pelatihan, hanya diikuti oleh guru-guru tertentu saja, dan tidak diimbaskan kepada guru yang lain. Peran organisasi profesi guru yang belum optimal meningkatkan mutu guru, dan guru itu sendiri banyak yang belum aktif meningkatkan mutu dirinya secara mandiri.
Akibatnya, CBSA hanya sebuah istilah yang implementasinya tidak sekeren namanya. Bahkan CBSA dalam bahasa Sunda suka dipelesetkan menjadi Cul Budak Sina Anteng yang kalau diartikan secara bebas kurang lebih artinya guru meninggalkan siswa belajar sendiri di kelas sedangkan gurunya sibuk melakukan kegiatan lain.
Pascapopuler istilah CBSA, lalu muncul istilah Pembelajaran Aktif Kreatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM), dengan berbagai varian istilah lainnya seperti PAIKEM (tambahan I yang artinya inovatif), PAILKEM (tambahan L Â yang artinya memanfaatkan Lingkungan sebagai salah satu sumber belajar), PAIKEM GEMBROT (Gembira dan Berbobot).Â
Berikutnya, seiring dengan implementasi kurikulum 2006 atau KTSP muncul istilah Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) yang memiliki 7 (tujuh) pilar, yaitu; (1) constructivism (konstruktivisme), (2) inquiry (mencari), (3) questioning (bertanya), (4) learning community (masyarakat belajar), (5) modelling (pemodelan), (6) reflection (refleksi), dan (7) authentic assessment (penilaian otentik).
Berbagai istilah tersebut tidak dapat dipungkiri merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan mutu pembelajaran, tetapi pada kenyataannya banyak yang hanya indah diatas kertas, tidak membumi, karena tidak dilakukan oleh guru dalam pembelajaran. Mengapa demikian? Penyebabnya disamping masalah sarana dan prasana dan intake siswa, juga dipengaruhi oleh faktor kompetensi dan pola pikir (mind set) guru.Â
Diakui atau tidak, diantara banyak guru yang berupaya sekuat tenaga menyampaikan materi pelajaran dengan sebaik-baiknya, tidak sedikit guru yang datang ke sekolah hanya sekedar menggugurkan kewajiban, tanpa banyak melakukan refleksi dan evaluasi terhadap kualitas pembelajaran yang telah dilakukannya. Keterlibatan dalam kegiatan organisasi profesi guru untuk meningkatkan kompetensinya pun relatif rendah.
Pada K-13, semangat pembelajaran aktif mencoba dihidupkan melalui implementasi pendekatan saintifik dalam pembelajaran, dimana siswa diarahkan untuk belajar secara aktif, berpikir kritis, mampu mengumpulkan dan mengolah data, menyusun sebuah analisis, menyimpulkan, menyusun rekomendasi, hingga membuat sebuah laporan, dan mempersentasikannya. Laporan yang dimaksud disini tidak selalu identik dengan laporan penelitian yang tebal, tetapi laporan sederhana yang merepresentasikan hasil kerja mereka.
Pada Bimtek K-13, beberapa model pembelajaran diperkenalkan kepada guru sebagai sarana menerapkan pendekatan saintifik, seperti pembelajaran berbasis proyek (project based learning), pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), penyelesaian masalah (problem solving), dan mencari/menemukan (inquiry/discovery). Pada pembelajaran yang menerapkan pendekatan saintifik, siswa diarahkan untuk belajar secara berkelompok atau secara kolaboratif.
Adapun indikator keberhasilan pembelajaran saintifik sebagai berikut; (1) meningkatnya kemampuan intelektual peserta didik, khususnya kemampuan berpikir tingkat tinggi, (2) terbentuknya kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan suatu masalah secara sistematik, (3) terciptanya kondisi pembelajaran dimana peserta didik merasa belajar itu merupakan sebuah kebutuhan, (4) diperolehnya hasil belajar yang tinggi, (5) peserta didik terlatih dalam mengomunikasikan ide-ide, khususnya dalam menulis artikel ilmiah, dan (6) terbentuknya karakter positif dalam diri peserta didik (Machin, A., 2014 : 29 dalam Yani dan Ruhimat, 2018 : 134).