IKLAN GAME ONLINE DAN PENCITRAAN NEGATIF KARAKTER GURU
Oleh:
IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)
Â
Baru-baru ini jagad media sosial diramaikan oleh viral sebuah iklan game online yang dianggap menjatuhkan harkat, martabat, dan wibawa guru. Karena penasaran, saya pun secara seksama memperhatikan tayangan iklan tersebut. Dan setelah saya melihatnya, maka saya termasuk yang setuju bahwa iklan tersebut kurang mendidik, dan cenderung melecehkan harkat, martabat, dan wibawa guru.
Pada iklan tersebut digambarkan sebuah proses pembelajaran di sebuah kelas. Suasana kelas tampak hening. Seorang guru yang bertampah killer dan jutek sedang menulis di papan tulis, para siswa mencatat, dan ada seorang siswa yang berdiri di depan kelas dan sepertinya sedang dihukum oleh guru.Â
Di tengah keheningan tersebut tiba-tiba datang seorang murid yang terlambat datang. Alih-alih diingatkan atau dihukum, siswa yang datang terlambat tersebut justru disambut bak orang penting oleh sang guru. Raut mukanya tampak seperti takut kepada sang murid.Â
Tas sang murid dibawa oleh guru, dan dia dipersilakan duduk. Sontak hal tersebut membuat heran-heran murid-murid yang lain. Dan ternyata, sang guru adalah lawan bermain sang murid yang terlambat tersebut, dan mainnya kalah oleh sang murid.
Jika melihat iklan yang kurang mendidik tersebut, sangat wajar kalau sebagian pendidik bereaksi, menolak, dan menuntut iklan tersebut agar ditarik atau tidak ditayangkan lagi. Bahkan ada yang berinistaif membuat petisi dan melaporkannya kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Dibalik gegap gempita kampanye game online yang tujuan utamanya mendapatkan keuntungan secara ekonomi, jangan sampai merugikan atau merendahkan harkat dan martabat pihak lain, termasuk profesi guru.Â
Jangankan diiklankan, tidak diiklankan saja saat ini orang tua pun banyak yang kewalahan dan kesulitan menangani anak-anaknya yang kecanduan game online. Disamping banyak membuang waktu dan biaya, hal ini pun berdampak negatif terhadap kepribadian anak.Â
Dari iklan game online, saya setidaknya menemukan beberapa hal yang kurang baik; (1) sosok guru yang dicitrakan sebagai guru yang killer dan jutek. (2) suasana pembelajaran yang membosankan, (3) pelanggaran terhadap Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA), (4) pembiaran terhadap pelanggaran disiplin siswa, (5) gelagat mendukung kampanye LGBT.
Sosok guru yang killer atau jutek sudah tidak relevan dengan paradigma pembelajaran saat ini. Guru saat ini disamping harus kompeten, juga harus humanis. Wajah-wajah guru yang terkesan sangar dan arogan di dalam kelas sudah harus ditinggalkan, karena sesuai dengan amanat Undang-undang Guru dan Dosen, seorang guru disamping harus memiliki kompetensi pedagogik dan profesional, guru harus juga memiliki kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial.
Suasana pembelajaran yang monoton sudah surang relevan lagi, karena seiring dengan perubahan paradigma pembelajaran yang awalnya berpusat kepada guru (teacher center), harus diubah menjadi berpusat kepada siswa (srudent center).Â
Dulu dikenal konsep Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), lalu muncul konsep Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM), dan sejalan dengan implementasi kurikulum 2013, guru didorong untuk menerapkan pembelajaran kooperatif dan menerapkan pendekatan ilmiah (saintifik) dalam membangun keterampilan berpikir kritis siswa.
Pelanggaran hak anak, hal ini tercermin dari adanya siswa yang dihukum di berdiri depan kelas sambil mengangkat salah satu kakinya dan memegang dua telinganya.Â
Mungkin siswa tersebut dihukum karena datang terlambat karena di kakinya digantungkan tasnya. Hal ini sudah tidak sesuai dengan paradigma pendidikan saat ini yang mengampanyekan pendidikan yang humanis, sekolah ramah anak, dan sekolah yang bebas dari perundungan (bully) terhadap siswa. Konsep hukuman yang  saat ini perlu dilakukan oleh guru adalah hukuman yang mendidik dan dalam koridor pembinaan terhadap siswa.
Pembiaran terhadap pelanggaran disiplin siswa, hal ini terlihat dari sikap guru yang membiarkan slaah satu siswa yang datang terlambat, dan justru melayaninya seperti seorang ajudan kepada bosnya.Â
Guru terlihat sama sekali tidak berwibawa depan muridnya tersebut, bahkan raut mukanya memperlihatkan seolah sang guru yang takut terhadap murid.Â
Hal ini tentunya sangat ironis dan sangat tidak mendidik. Setelah muncul iklan tersebut, tidak tertutup kemungkinan muncul anggapan, tidak masalah melanggar disiplin, asal bisa mengalahkan gurunya main game online.
Pada realitanya, tidak dapat dipungkiri bahwa justru anak-anak dan remaja lebih mahir main game online dibandingkan dengan orang dewasa. Saya sendiri sampai dengan saat ini saya termasuk yang tidak bisa main game online karena tidak tertarik dan khawatir kecanduan.Â
Walau demikian, diakui atau tidak ada juga guru yang senang main game online. Mereka memainkannya untuk mengisi jam kosong atau mengusir kebosanan. Fakta itulah yang mungkin menjadi "inspirasi" memunculkan tokoh guru pada iklan game online tersebut.
Dukungan terhadap kampanye LGBT, karena saya melihat bahwa walau sosok guru dengan kepala pelontos dan kumis tebal tersebut terkesan seperti killer dan sangar, tetapi saat dia kalah main game online oleh muridnya, reaksinya seperti laki-laki yang kemayu dan manja-manja kepada muridnya yang sama-sama berjenis kelamin laki-laki. Saya kira hal ini pun cukup riskan karena bisa ditiru oleh pemain game berjenis kelamin laki-laki.
Menurut saya, pemerintah beserta berbagai pihak terkait harus segera menindaklanjuti keluhan dan protes terkait iklan yang dinilai merendahkan harkat dan martabat guru tersebut. Perusahaan dan pembuat iklan pun perlu mengklarifikasi dan meminta maaf kepada guru atas kekeliruan konsep iklan yang mereka buat.
Â
Evaluasi Diri
Dibalik citra buruk seorang guru yang digambarkan pada iklan game online tersebut, saya kira para guru pun senantiasa harus melakukan evaluasi atau introspeksi diri terhadap cara mengajar, cara memperlakukan siswa, atau tata cara pergaulannya sehar-hari.Â
Apakah sudah menjaga wibawanya atau belum? Menjaga wibawa bukan berarti harus jaga image  alias jaim atau menjaga jarak dengan murid-muridnya, tetapi mampu menempatkan dirinya sebagai pendidik, orang tua, dan teman bagi siswa-siswanya di sekolah.
Wibawa dan keteladanan adalah modal penting bagi seorang guru agar dihormati oleh para siswanya. Walau kadang ada siswa yang suka ngeyel, kurang disiplin, dan kurang menghargai guru, anggap saja sebuah sebuah dinamika dalam ikhtiar mendidik para siswa, karena sebuah perjuangan pastinya akan dihadapkan pada tantangan. Kesabaran, kebijaksanaan, dan respon yang tepat sangat diperlukan oleh seorang guru dalam menangani siswa-siswannya.Â
Disinilah diperlukan kematangan emosi atau kompetensi kepribadian seorang guru. Selain ikhtiar, seorang guru memanjatkan doa kepada Tuhan agar para siswanya menjadi anak yang cerdas dan berakhlak mulia. Wallaahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H