Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dilan Corner dan Ironi Pendidikan Jabar Masagi

1 Maret 2019   22:37 Diperbarui: 1 Maret 2019   23:17 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh:

ABU FAKHSYAD NURSYA'BAN

(Praktisi Pendidikan) 

Keputusan gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK) membuat sudut Dilan (Dilan corner) di taman Saparua Bandung dan mencetuskan tanggal 24 Februari sebagai Hari Dilan menuai banyak protes dari berbagai kalangan, khususnya para pegiat pendidikan, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan para orang tua. Mereka tidak habis pikir apa urgensinya RK membuat sudut dengan diberi Dilan, seorang tokoh film yang terilhami dari sebuah novel karya Pidi Baiq tersebut.

Tokoh Dilan yang munculkan pada film Dilan 1991 hanya seorang pelajar atau remaja ABG yang sudah pacaran, suka berkelahi, memiliki banyak musuh, dan kurang hormat kepada guru. Hampir sulit menemuka pesan moral yang positif dari sosok Dilan selain gambaran seorang anak muda yang emosinya labil dan bebas pacaran.

Menanggapi hal tersebut, dalam laman medsosnya, RK menyampaikan bahwa alasan dia membuat Dilan Corner sebagai bentuk apresiasi terhadap sebuah karya sastra yang difilmkan dan sukses membuat rekor enam juta penonton sehingga semakin banyak generasi millennial yang tertarik menjadi penulis.

Selain itu juga untuk meningkatkan literasi sastra di kalangan anak muda. Pertanyaannya adalah jika ingin mengapresiasi karya sastra yang berkualitas, mengapa tidak langsung saja mencantumkan nama penulisnya yaitu Pidi Baiq, bukan judul Novelnya?

Apakah diambilnya nama Dilan sebagai nama sebuah sudut di taman Saparua supaya terkesan lebih kekinian dan supaya lebih mudah diterima oleh kaum millennial, sehingga Dilan menjadi panutan kaum millennial Jawa Barat khususnya di kota Bandung?

Ketika orang mendengar Dilan diabadikan sebagai nama sebuah taman atau sudut taman? Pasti akan mengernyitkan dahi? Siapa Dilan? Apa jasanya sehingga namanya perlu diabadikan?

Berbeda ketika orang mendengar nama Taman Ismail Marjuki di Jakarta, yang diambil dari nama seorang sastrawan besar Indonesia yang karya-karya sudah diakui kualitasnya baik di tingkat nasional maupun internasional.

 Banyak komentar yang muncul mengapa RK tidak menggunakan tokoh-tokoh Sunda atau tokoh Jawa Barat dalam penamaan sebuah taman? Kalau RK ingin memberikan apresiasi kepada para seniman dan budayawan Jawa Barat, mengapa tidak mendirikan taman atau sudut Harry Roesli, Kang Ibing, Wahyu Wibisana, Mang Koko, Nano S., Kang Darso, Doel Sumbang, dan sebagainya.

Atau kalau RK membuat "taman si Kabayan", sosok tokoh yang seperti orang yang polos, sederhana, bersahaja, jenaka, dan ndeso, tetapi sejatinya cerdas dan memiliki filosofi sunda yang sangat dalam serta patut menjadi contoh.

Kebijakan RK membuat Dilan corner dan menyatakan tanggal 24 Februari sebagai  Hari Dilan merupakan hal yang ironis dan kontradiksi dengan visi jabar Juara Lahir Batin dan Pendidikan MASAGI yang selama ini digembor-gemborkan, karena hal tersebut justru memperlemah bahkan menghambat cita-cita membangun pendidikan Jawa Barat yang semakin baik.

Sebagaimana sudah diketahui bahwa pendidikan MASAGI terdiri dari empat hal, yaitu: (1) cinta agama/ religius, (2) cinta budaya sunda, (3) bela negara, dan (4) cinta lingkungan. Pertanyaannya adalah apakah film Dilan 1991 atau sosok Dilan pada film tersebut mendukung kepada penguatan pendidikan MASAGI atau justru sebaliknya? Bagaimana mungkin generasi muda Jawa Barat akan berkualitas dan berkarakter kalau menjadikan Dilan sebagai ikon atau idola bagi mereka?

Hal yang perlu dilakukan oleh RK justru melakukan berbagai program untuk memperkuat dan mengokohkan visi pendidikan MASAGI, bukan justru sebaliknya, melakukan hal-hal yang kurang produktif. Masih banyak persoalan besar dan penting yang perlu diurus oleh sang gubenur daripada mengurusi tokoh pada film picisan seperti itu.

Dulu, saya begitu mengapresiasi gerakan magrib mengaji dan gerakan salat subuh berjamaah yang digulirkan oleh RK baik saat menjadi walikota Bandung maupun setelah menjadi gubernur Jabar,  tetapi untuk keputusan ini, saya termasuk diantara sekian banyak warga Jawa Barat yang menolak. Mengapa?

Karena disamping nama Dilan tidak ada faidahnya dalam sejarah dan pembangunan Jawa Barat dan kota Bandung, juga dalam konteks pendidikan di masa depan, ketika ada anak yang bertanya kepada orang tuanya apa yang dimaksud dengan sudut Dilan? Siapa Dilan itu? Bagaimana karakternya? Apa yang harus dijawab oleh orang tua?

Adanya Dilan corner seolah memberikan pesan kepada kaum millennial Jawa Barat khususnya Bandung untuk mengidolakan tokoh fiksi tersebut atau nama tokoh tersebut mendapatkan tempat di hati warga Jawa Barat, padahal hanya inisiatif sang gubernurnya saja.

Jangan sampai banyak warga Jawa Barat yang menilai bahwa RK membuat Dilan corner hanya sebagai sarana baginya untuk menyalurkan "selera subjektifnya" saja sebagai seorang pemimpin di daerah yang kurang jelas manfaatnya bagi warga Jawa Barat.

Ketika di Bandung Film Dilan 1991 begitu euphoria dan dipromosikan oleh RK sang gubernur Jawa Barat, sedangkan di kota Makassar justru pemutaran film tersebut mendapat penolakan dari sekelompok pemuda dengan alasan bahwa film tersebut kurang mendidik.

Apalagi saat ini justru generasi muda Indonesia sedang mengalami krisis karakter akibat dampak negatif dari era globalisasi, dan perkembangan teknologi. Yang diperlukan saat ini justru film-film yang memberikan pesan-pesan pendidikan, seperti film Keluarga Cemara yang diputar di Bioskop beberapa bulan yang lalu.

Para insan perfilman bukan hanya berpikir bagaimana membuat film yang akan banyak ditonton dan akan mendatangkan banyak keuntungan, tetapi juga harus berpikir bahwa film yang dibuatnya tersebut disamping menjadi tontonan juga harus bisa menjadi tuntunan ke arah yang lebih baik, utamanya bagi generasi muda.

Langkah RK mengapresiasi karya anak-anak negeri khususnya pada dunia sastra kontemporer pada dasarnya perlu diapresiasi, tetapi sebaiknya melalui cara-cara yang lebih elegan dan tidak menimbulkan kontroversi ditengah-tengah masyarakat.

Apalagi saat ini saat ini adalah tahun politik. Jangan sampai langkah RK tersebut dinilai dalam rangka menggaet suara kaum millennial untuk memilih pasangan capres-cawapres yang didukungnya pada pilpres 2019.

Sepanjang yang saya tahu, masyarakat tidak pernah protes terhadap nama  taman yang diberikan oleh RK karena dianggap relevan, wajar, dan tidak mengada-ada. Tetapi ketika RK memberikan nama Pojok Literasi Dilan, maka masyarakat pun bereaksi karena pemberian tersebut dinilai "salah alamat".

Sebagai seorang pemimpin dan pejabat publik, saya kira RK pun perlu mendengar saran dan kritik dari masyarakat, karena saran dan kritik adalah bukti perhatian dan kepedulian dari masyarakat terhadap pemimpin agar kinerjanya meningkat. Tidak perlu ditanggapi dengan argumen-argumen yang justru seolah RK antikritik.

Daripada membuat taman atau sudut Dilan, saya berpikir lebih baik dibuat tama atau sudut SARIBAN saja. Mengapa? Karena Pak Sariban adalah sosok relawan kebersihan di kota Bandung yang bekerja tanpa pamrih dan telah banyak berjasa dalam menjaga kebersihan kota Bandung. Sosok seperti ini yang justru harus banyak dikenal oleh kaum millennial di kota Bandung, bukannya tokoh seperti Dilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun