Adalah Nur Khalim, guru penyabar dan pemaaf itu. Setelah sebelumnya dia dipersekusi oleh AA, seorang murid kelas IX SMP PGRI Wiringinanom Kabupaten Gresik saat mengingatkannya agar tidak merokok di kelas, akhirnya beliau dengan lapang dada menerima maaf permohonan maaf dari siswa yang mempersekusinya tersebut melalui mediasi yang dilakukan oleh polisi dengan disaksikan oleh kedua orangtuanya, perwakilan Komisi Perlindungan Anak, dan beberapa pihak lainnya.
Memang sangat miris dan sangat memprihatinkan ketika melihat video yang viral di media sosial di mana Nur Khalim, seorang guru honorer di SMP PGRI Wiringinanom Kabupaten Gresik ditantang dan dipersekusi oleh AA, sang murid saat dirinya diminta tidak merokok di dalam kelas.Â
Sang murid berani menyentuh dengan cara dan gaya yang sangat arogan. Saya kira siapapun yang melihat akan sependapat bahwa perbuatan tersebut sangat tidak sopan dilakukan oleh seorang murid kepada guru. Bahkan bisa dikatakan sebagai bentuk perilaku durhaka murid terhadap guru.
Nur Khalim tampak hanya diam, tenang, tidak merespon secara berlebihan atau melakukan tindakan balasan kepada muridnya. Beliau tampak sangat sabar menghadapi kelakuan muridnya terebut.Â
Saya yakin, Beliau bisa saja membalas atau marah terhadap tindakan muridnya tersebut, tetapi Beliau tidak melakukannya. Kesabaran dan pengendalian emosi menjadi hal penting yang dimilikinya.
Setelah videonya viral di media sosial, sang murid pun akhirnya meminta maaf dan menyesali perbuatannya. Tindakan Nur Khalim memaafkan muridnya dan tidak ingin memperpanjang masalah ini ke jalur hukum adalah tindakan yang sangat mulia. Sambil merangkul sang murid, dia menyampaikan dua alasan dia memaafkan muridnya tersebut.Â
Pertama, karena dia bertanggung jawab mendidik sang murid yang telah mempersekusinya, dan kedua, sang murid sebentar lagi akan mengikuti Ujian Nasional (UN). Nur Khalim tidak ingin mengorbankan masa depan sang murid, atau membuat sang murid mengerjakan soal UN dari balik jeruji besi.
Akibat kelakuan sang anak, orangtua sang murid pun harus menanggung malu. Mereka berurusan dengan pihak sekolah dan kepolisian bukan untuk menyaksikan anaknya mendapatkan penghargaan, tetapi untuk memohonkan maaf sekaligus menyaksikan permohonan maaf atas perbuatan tidak terpuji anaknya kepada guruya.
Nur Khalim adalah sosok guru yang terbukti memiliki kompetensi kepribadian yang matang. Seorang guru memang harus memiliki kompetensi kepribadian karena hal tersebut merupakan amanat Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dan hal tersebut bukan hal yang mudah karena guru pun adalah manusia yang bisa saja emosinya terpancing ketika mendapatkan tindakan yang membuatnya marah atau merendahkan harkat dan martabatnya.
Tindakan persekusi terhadap guru sebenarnya sudah beberapa kali terjadi. Tahun 2016, guru SMKN 2 Makassar yang bernama Dasrul dipukul oleh seorang oknum siswa dan ayahnya karena tidak terima ditegur karena tidak mengerjakan PR.Â
Tahun 2018, seorang guru SMAN 1 Torjun Sampang Madura bernama Ahmad Budi Cahyono dipukul oleh muridnya hingga tidak sadarkan diri dan akhirnya meninggal karena tidak terima ditegur saat kegiatan belajar di dalam kelas.
Mengapa fenomena murid semakin berani melawan guru semakin banyak terjadi? menurut saya, ada beberapa faktor penyebabnya. Pertama, faktor lingkungan keluarga yang juga akrab dengan dunia kekerasan. Orangtua kadang tidak menyadari juga mendidik anaknya dengan cara kekerasan sehingga karakter anak pun menjadi keras.Â
Kedua oran tua yang kurang memperhatikan anaknya karena kesibukannya masing-masing, sehingga ketika anaknya nakal pun, orangtuatidak tahu, dan kadang suka menyalahkan guru atau sekolah saat terjadi kasus yang menimpa anaknya.
Ketiga, pengaruh lingkungan pergaulan yang kurang baik. Seorang pelajar ikut bergabung ke dalam gank anak-anak nakal bisa saja terpengaruh oleh hal-hal yang negatif. Pelajar yang tidak suka bolos, lambat laun akan suka bolos dan malas belajar.Â
Keempat, dampak negatif gawai dimana siswa banyak mempermainkan game bertema kekerasan. Kelima, dampak media seperti sinetron yang mempertontonkan tindakan kekerasan atau adegan guru yang dilecehkan oleh oleh murid-muridnya.
Keenam, lingkungan sekolah yang kurang kondusif dalam membentuk karakter siswa atau guru yang kurang tegas dalam menegakkan disiplin.Â
Ketujuh, pemahaman UU perlindungan anak yang salah kaprah di mana saat guru memberikan hukuman kepada siswa pelaku pelanggaran dianggap sebagai pelanggaran HAM. Akibatnya guru menjadi gamang dan serba salah. Diberi hukuman takut disebut melanggar HAM, sedangkan kalau dibiarkan, murid yang nakal semakin menjadi-jadi dan semakin tidak hormat kepada guru.Â
Banyak guru yang berpikir dari pada repot-repot melanggar HAM, berurusan dengan aparat hukum, LSM perlindungan anak, dan disorot media lebih memilih tidak acuh terhadap kenakalan siswa, toh itu anak orang lain walau dalam hati sebenarnya ingin melakukan pembinaan atau hukuman atas kesalahan muridnya.
Teorinya memang guru sebagai pendidik perlu mendidik dan membina para siswanya dengan penuh kelembutan dan kesabaran, tetapi kadang tindakan tegas guru dianggap sebagai tindakan kekerasan terhadap murid.Â
Guru yang lemah lembut kadang dianggap sebagai guru yang lemah sehingga ada murid yang berani melawan. Begitu pun guru yang tegas suka dianggap sebagai guru yang keras, galak, atau killer sehingga guru seperti ini pun tidak disukai murid-muridnya.
Tegas dan keras sebenarnya dua hal yang berbeda, tegas kaitannya dengan penegakkan aturan yang telah dibuat atau disepakati, sedangkan keras identik dengan karakter yang jelak, egois, mau menang sendiri, bahkan senang menggunakan tindakan fisik.Â
Saya yakin segalak-galaknya guru tidak ada yang ingin menyakiti muridnya. Dia memberikan hukuman dilandasi keinginan untuk membina dan mendisiplinkan muridnya-muridnya. Dan hal tersebut menjadi tindakan terakhir ketika nasihat atau larangan guru tidak digubris oleh muridnya.
Sejak sekian puluh silam, kenakalan remaja atau pelajar sebenarnya sudah ada tapi tidak separah saat ini. Senakal-nakalnya seorang pelajar, dia masih takut dan hormat kepada gurunya.Â
Ketika dipanggil oleh guru, dia menunduk, tidak berani melihat wajah guru karena malu, takut, dan rasa bersalah. Tidak berani membentak, melawan, atau balik mempersekusi guru ketika ditegur atau diingatkan saat melakukan pelanggaran disiplin. Saat guru memberikan hukuman pun, dia terima dengan penuh tanggung jawab tidak ada perasaan marah atau dendam kepada guru.
Saat ini guru seperti mengalami penurunan wibawa di mata murid. Rasa hormat murid terhadap guru cenderung menurun. Kalau bertemu dengan guru, mereka kurang menggunakan etika dan tata krama. Seolah berkomunikasi dengan rekan sejawat. Hal ini tentunya perlu menjadi bahan renungan, evaluasi, dan dicari alternatif solusi terbaik.
Sinergi antara orangtua, sekolah, dan masyarakat dipercaya menjadi cara efektif untuk mendidik para murid yang berkarakter. Walau demikian, ada faktor lain yang mendukung, yaitu media dan figur-figur publik seperti para pemimpin dan politisi yang sikap dan perilakunya banyak dicontoh oleh para pelajar.
Yang terjadi saat ini justru ironis. Ada sebuah kurangnya sinergi antara berbagai pihak terkait dalam pendidikan. Hakikat pendidikan direduksi menjadi persekolahan, dan prosesnya dititikberatkan kepada sekolah. Orangtua, masyarakat, para pemimpin kurang mampu menjadi contoh teladan bagi generasi muda.
Tindakan Nur Khalim yang memaafkan muridnya yang telah mempersekusi dirinya merupakan bentuk nyata upaya membentuk karakter peserta didik.Â
Beliau memperlihatkan bahwa memaafkan jauh lebih mulia dari membalas. Memaafkan jauh lebih bisa menyadarkan daripada mengumbar emosi. Sesuai dengan namanya Nur Khalim, nur berarti cahaya, dan halim berarti penyabar. Dia telah membuktikan bahwa dirinya adalah guru yang menjadi cahaya dan seorang yang penyabar.
Sikap Nur Khalim yang sangat sabar dalam menghadapi muridnya yang nakal perlu menjadi contoh bagi guru-guru yang lain bahwa mendidik memang perlu kesabaran.Â
Mendidik adalah sebuah proses yang tidak mudah. Perlu waktu yang lama dan dihadapkan pada tantangan yang semakin kompleks. Dan buah dari pendidikan tersebut akan dirasakan manakala dilakuka secara serius.
Kisah Nur Khalim yang sangat sabar saat berhadapan dengan siswa yang nakal semoga menjadi momentum bagi guru-guru yang untuk semakin mematangkan kompetensi kepribadiannya, karena potensi dan fenomena siswa semakin kurang hormat kepada guru muncul di banyak sekolah.
Dalam Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetesi Guru, dimensi dari kompetensi kepribadian guru antara lain: (1) bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia, (2) menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat. (3) menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa. (4) menunjukkan etos kerja, tanggungjawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri. (5) menjunjung tinggi kode etik profesi guru.
Saya yakin hal ini akan menjadi catatan yang tidak akan terlupakan baik bagi Nur Khalim dan muridnya tersebut. Masyarakat akan mengenal Nur Khalim sebagai guru yang berhati mulia, sangat sabar, dan pemaaf. Guru seperti ini dapat dikatakan sebagai guru yang berhati malaikat.Â
Semoga hal ini pun menjadi pelajaran bagi sang murid dan para pelajar pada umumnya agar lebih menghormati guru. Selain itu, juga semoga menjadi pelajaran bagi orangtua agar semakin memperhatikan pergaulan anak di rumah dan sekolah. Wassalam.
***
Oleh:
IDRIS APANDI
(Widyaiswara Ahli Madya LPMP Jawa Barat, Penulis Buku Jalan Menuju Guru Mulia Guru yang Berkarya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H