Beberapa waktu kemudian, Ratna Sarumpaet menyampaikan bahwa kasus penganiayaan yang disampaikannya tersebut hoaks, karena wajahnya lebam bukan akibat penganiayaan, tetapi setelah operasi plastik. Dia sudah meminta maaf, tapi konsekuensinya, dia harus berurusan dengan hukum atas tuduhan melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Lalu saat ini muncul rumor yang disebar melalui media sosial bahwa ada tujuh kontainer di pelabuhan Tanjung Priok yang telah dicoblos untuk pasangan nomor 01 Jokowi -- Ma'ruf. KPU bergerak cepat dan telah mengecek kebenaran kasus tersebut. Dan ternyata kabar tersebut hoaks. Sebagai tindak lanjutnya, Polri saat ini didesak untuk mengusut kasus ini sampai tuntas karena berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu dan tentunya akan mengurangi legitimasi hasil pilpres 2019. Sebelumnya pun, ada rumor suap milyaran dalam proses penentuan Sandiaga Uno menjadi cawapres Prabowo Subianto.
Aksi saling lapor antarpendukung capres-cawapres ke Polri menjadi warna tersendiri dalam pilpres 2019. Laporan-laporan tersebut kadang hanya dipicu oleh oleh kesalahpahaman, miskomunikasi, hal-hal yang sebenarnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
Hal yang kecil "digoreng" supaya menjadi besar, dan semakin dibesarkan melalui pemberitaan media. Layar TV seolah menjadi sarana kampanye gratis bagi para tim sukses para pasangan capres. Dan sayangnya dialog berubah menjadi debat kusir, saling hina, saling hujat, saling caci, dan saling maki antar kedua pihak. Sungguh sangat tidak mendidik dan sangat memuakkan.
Polarisasi antarpendukung capres-cawapres semakin terasa. Media sosial menjadi "medan perang" bagi kedua kubu. Hujatan dan kata-kata kasar dengan mudah kita temukan pada kolom-kolom komentar. Pertemanan sudah banyak yang terputus gara-gara beda pilihan, emosi menjadi mudah meledak-ledak karena tidak terima paslon yang didukungnya disudutkan oleh lawan.
Label cebong bagi pendukung paslon nomor 01 dan kampret bagi pendukung paslon nomor 02 menjadi dua identitas sudah sangat melekat. Isu-isu ideologi, isu agama, dan SARA digulirkan sebagai serangan politik identitas. Sampai masalah tantangan menjadi imam salat berjamaah dan tes baca Alquran pun tidak luput terkena politisasi.
Pemilih Literat
Ditengah semakin sengitnya persaingan antarpasangan capres dan cawapres, dan ditengah semakin berseliwerannya berita-berita hoaks dan fitnah, para pemilih harus benar-benar hati-hati dalam menyikapinya. Stop, hentikan, berita-berita hoaks cukup sampai kepada HP anda, tidak perlu ikut disebarkan, karena disamping tidak mendidik, dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa, juga dapat terkena pelanggaran hukum. Sudah banyak penyebar hoaks melalui media sosial yang ditangkap polisi. Jangan sampai anda orang berikutnya yang ditangkap polisi atas sangkaan melanggar UU ITE.
Ciri-ciri berita hoaks pada umumnya judulnya bombastis, provokatif, mendramatisir, berisi hujatan dan hinaan kepada pihak lain, serta memancing sentimen identitas kelompok. Di akhir tulisan biasanya ada ajakan untuk menyebarkan atau memviralkan. Jangan sampai berhenti di HP sang pembaca.
Berita-berita hoaks bukan hanya berkaitan dengan masalah politik, juga berita bencana atau kecelakaan. Tujuannya untuk menciptakan keresahan di masyarakat. Tingkat literasi yang rendah, mental "copy-paste", dan mental asal forward menyebabkan berita-berita dengan sangat mudah tersebar. Kadang yang dibaca hanya judulnya saja, malas untuk membuka link dan membaca beritanya secara lengkap tapi dengan mudahnya dibagikan. Satu berita hoaks dibagikan ke banyak grup WA. Kadang ada saling berbagi berita yang sama, sehingga grup WA tidak ubahnya seperti keranjang sampah informasi.
Berdasarkan kepada hal tersebut, maka masyarakat atau calon pemilih harus literat, meningkatkan kemampuan dan minat bacanya, pilah dan pilih berita yang bermanfaat, tahan jari dan jempol tangan dari menyebarkan berita yang tidak bermanfaat walau faktanya benar.Â