MENJADI PEMILIH YANG LITERAT
Oleh:
IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial)
Â
Pemilu serentak 2019 tinggal beberapa bulan lagi. Sedianya, hajat demokrasi ini akan dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019. Pemilu seretak 2019 merupakan pemilu serentak pertama dalam sejarah pemilu di Indonesia. Disebut pemilu serentak karena disaat yang sama, para hak pilih akan memilih (mencoblos) lima surat surat suara sekaligus, yaitu memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR-RI, DPD-RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Dari kelima pemilihan tersebut, nampaknya pemilihan presiden dan wakil presiden yang paling panas dan paling menyedot perhatian. Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan pasangan Jokowi  - KH Ma'ruf Amin nomor urut 01 dan pasangan Prabowo Subianto -- Sandiaga Uno nomor 02. Di masa kampanye ini, pemberitaan media hampir setiap hari tidak lepas dari kegiatan kampanye dan perang urat saraf para kandidat beserta tim suksesnya. Bahkan sebelum masa kampanye digulirkan, para urat saraf dan perang propaganda pun sudah banyak dilakukan, dan di masa kampanye ini intensitas semakin banyak dan semakin panas.
Penyampaian janji-janji politik merupakan hal yang biasa dalam proses kontestasi pemilu. Kampanye negatif (negatif campaign)Â pun menjadi alat untuk menyerang kelemahan masing-masing kubu. Kubu petahana tentunya menyampaikan kesuksesan yang telah dicapai, dan pihak penantang menyampaikan kritik terhadap kebijakan pembangunan yang selama ini dilakukan oleh kubu petahana.
Aksi saling kritik dan saling bantah menjadi hal yang sering terjadi antara dua kubu yang bersaing meraih simpati  rakyat. Dua-duanya sama ingin meraih kekuasaan untuk memimpin negeri ini lima tahun ke depan. Berbagai tempat mulai dari pasar hingga pesantren menjadi sarana untuk blusukan menebar janji kampanye.
Walau demikian, hal yang membuat miris adalah ketika masa kampanye pemilu ini adalah ketika hoaks dan fitnah semakin merajalela. Kampanye pun bukan lagi perang ide atau gagasan, tetapi sudah menyerang kepada individu. Kekurangan fisik lawan, kesalahan dan kekeliruan dalam menyampaikan sebuah pernyataan dijadikan sarana untuk menjatuhkan.
Hoaks dan fitnah digoreng untuk membunuh karakter lawan. Beberapa waktu yang lalu muncul hoaks penganiayaan terhadap Ratna Sarumpaet. Beritanya viral dan menjadi menjadi perhatian publik. Hal ini dikaitkan dengan persaingan pada pilpres 2019. Praduga, bahkan prasangka muncul dari satu kubu kepada kubu yang lain.Â
Beberapa waktu kemudian, Ratna Sarumpaet menyampaikan bahwa kasus penganiayaan yang disampaikannya tersebut hoaks, karena wajahnya lebam bukan akibat penganiayaan, tetapi setelah operasi plastik. Dia sudah meminta maaf, tapi konsekuensinya, dia harus berurusan dengan hukum atas tuduhan melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Lalu saat ini muncul rumor yang disebar melalui media sosial bahwa ada tujuh kontainer di pelabuhan Tanjung Priok yang telah dicoblos untuk pasangan nomor 01 Jokowi -- Ma'ruf. KPU bergerak cepat dan telah mengecek kebenaran kasus tersebut. Dan ternyata kabar tersebut hoaks. Sebagai tindak lanjutnya, Polri saat ini didesak untuk mengusut kasus ini sampai tuntas karena berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu dan tentunya akan mengurangi legitimasi hasil pilpres 2019. Sebelumnya pun, ada rumor suap milyaran dalam proses penentuan Sandiaga Uno menjadi cawapres Prabowo Subianto.
Aksi saling lapor antarpendukung capres-cawapres ke Polri menjadi warna tersendiri dalam pilpres 2019. Laporan-laporan tersebut kadang hanya dipicu oleh oleh kesalahpahaman, miskomunikasi, hal-hal yang sebenarnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
Hal yang kecil "digoreng" supaya menjadi besar, dan semakin dibesarkan melalui pemberitaan media. Layar TV seolah menjadi sarana kampanye gratis bagi para tim sukses para pasangan capres. Dan sayangnya dialog berubah menjadi debat kusir, saling hina, saling hujat, saling caci, dan saling maki antar kedua pihak. Sungguh sangat tidak mendidik dan sangat memuakkan.
Polarisasi antarpendukung capres-cawapres semakin terasa. Media sosial menjadi "medan perang" bagi kedua kubu. Hujatan dan kata-kata kasar dengan mudah kita temukan pada kolom-kolom komentar. Pertemanan sudah banyak yang terputus gara-gara beda pilihan, emosi menjadi mudah meledak-ledak karena tidak terima paslon yang didukungnya disudutkan oleh lawan.
Label cebong bagi pendukung paslon nomor 01 dan kampret bagi pendukung paslon nomor 02 menjadi dua identitas sudah sangat melekat. Isu-isu ideologi, isu agama, dan SARA digulirkan sebagai serangan politik identitas. Sampai masalah tantangan menjadi imam salat berjamaah dan tes baca Alquran pun tidak luput terkena politisasi.
Pemilih Literat
Ditengah semakin sengitnya persaingan antarpasangan capres dan cawapres, dan ditengah semakin berseliwerannya berita-berita hoaks dan fitnah, para pemilih harus benar-benar hati-hati dalam menyikapinya. Stop, hentikan, berita-berita hoaks cukup sampai kepada HP anda, tidak perlu ikut disebarkan, karena disamping tidak mendidik, dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa, juga dapat terkena pelanggaran hukum. Sudah banyak penyebar hoaks melalui media sosial yang ditangkap polisi. Jangan sampai anda orang berikutnya yang ditangkap polisi atas sangkaan melanggar UU ITE.
Ciri-ciri berita hoaks pada umumnya judulnya bombastis, provokatif, mendramatisir, berisi hujatan dan hinaan kepada pihak lain, serta memancing sentimen identitas kelompok. Di akhir tulisan biasanya ada ajakan untuk menyebarkan atau memviralkan. Jangan sampai berhenti di HP sang pembaca.
Berita-berita hoaks bukan hanya berkaitan dengan masalah politik, juga berita bencana atau kecelakaan. Tujuannya untuk menciptakan keresahan di masyarakat. Tingkat literasi yang rendah, mental "copy-paste", dan mental asal forward menyebabkan berita-berita dengan sangat mudah tersebar. Kadang yang dibaca hanya judulnya saja, malas untuk membuka link dan membaca beritanya secara lengkap tapi dengan mudahnya dibagikan. Satu berita hoaks dibagikan ke banyak grup WA. Kadang ada saling berbagi berita yang sama, sehingga grup WA tidak ubahnya seperti keranjang sampah informasi.
Berdasarkan kepada hal tersebut, maka masyarakat atau calon pemilih harus literat, meningkatkan kemampuan dan minat bacanya, pilah dan pilih berita yang bermanfaat, tahan jari dan jempol tangan dari menyebarkan berita yang tidak bermanfaat walau faktanya benar.Â
Jadilah warganet yang dewasa dan bijak dalam bermedia sosial. Budayakan klarifikasi (tabayyun) kepada berbagai sumber informasi yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Beda pilihan dan beda dukungan merupakan hal yang lumrah dalam demokrasi. Pada saat hari H pemilihan gunakan hak pilih anda setelah anda benar-benar yakin itu bahwa calon yang anda pilih tersebut merupakan calon yang paling layak memimpin negeri ini. Wallaahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H