Harapan untuk diangkat menjadi CPNS hampir bisa dikatakan pupus karena terkendala syarat usia. Pemerintah sebenarnya mewacanakan atau menawarkan pengangkatan guru honorer sebagai tenaga kontrak dengan perjanjian kerja, tetapi hal tersebut ditolak, karena satu-satunya tuntutan mereka adalah diangkat menjadi CPNS.
Kecewa? Pasti. Sedih? Iya. Di situlah kita perlu berempati terhadap kondisi guru-guru honorer K-2. Walau tentunya kita pun perlu membesarkan hati mereka. Tidak diangkat menjadi CPNS bukanlah aib dan bukanlah "kiamat" terhadap karir mereka. Berbagai ikhtiar telah dilakukan, tapi hasilnya nihil, tinggal bertawakkal saja kepada Allah.
Political will terhadap nasib guru honorer memang dipertanyakan. Salah satunya adalah sulitnya mereka mendapatkan SK dari Bupati dan Walikota, padahal SK tersebut selain sebagai legalitas mereka sebagai guru honorer di sekolah negeri, juga sebagai syarat untuk NUPTK. Dan NUPTK adalah syarat untuk mengikuti sertifikasi guru. Akibatnya, banyak guru honorer yang belum disertifikasi karena belum memiliki SK dari Bupati dan Walikota.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah pun terkesan saling lempar tanggung jawab berkaitan dengan nasib guru honorer, padahal dalam konteks otonomi daerah, urusan pendidikan termasuk urusan guru merupakan salah satu urusan yang didesentralisasikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. De facto, guru honorer dibutuhkan di sekolah-sekolah negeri yang kekurangan guru.Â
Oleh karena itu, nasibnya jangan terus terombang-ambing. Perlu ada solusi yang bijak dan solutif agar mereka tidak lagi turun ke jalan, dan bisa fokus mencerdaskan anak bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H