"Siapa suruh menjadi guru honorer? Sudah tahu gajinya kecil, tapi terus saja dijalani. Mengapa tidak keluar saja dari guru honorer, cari pekerjaan lain, bukannya menuntut diangkat menjadi CPNS. Masih banyak yang mau jadi guru". Â
Komentar netizen yang sinis, nyelekit, dan membuat hati mendidih tersebut saya baca di kolom komentar media sosial terkait unjuk rasa ribuan guru honorer K-2 yang menuntut diangkat menjadi CPNS di istana negara kemarin.
Sepintas komentar itu memang tidak salah. Kalau memang tidak nyaman dengan sebuah pekerjaan di suatu tempat, maka pilihannya adalah resign atau mengundurkan diri, pindah atau mencari tempat lain.Â
Hal tersebut memang berlaku di dunia kerja profesional. Tapi hal tersebut tidak berlaku untuk dunia pendidikan, khususnya di kalangan guru honorer. Mengapa? Karena menjadi guru honorer bukan hanya urusan profesionalisme, tetapi juga urusan hati, panggilan jiwa ingin mengabdi mencerdaskan anak-anak bangsa.
Keberadaan guru honorer di sekolah untuk menutupi kekurangan guru yang berstatus PNS. Jangankan di sekolah-sekolah terpencil, di daerah perkotaan pun banyak sekolah negeri yang mengandalkan tenaga guru honorer. Mereka diberi upah alakadarnya. Hanya mengandalkan dana BOS yang kadang telat cairnya. Kehidupan guru honorer kembang kempis, harus pandai-pandai menyiasati hidup yang bebannya semakin berat.Â
Apalagi kalau sudah berumah tangga dan memiliki anak. Untuk menutupi minimnya penghasilan dari guru honorer di satu sekolah, mereka pontang-panting mengajar di beberapa sekolah, membuka jasa membuat makalah, laporan SPJ, menjadi tukang ojeg online, sebagainya. Prinsipnya, yang penting dapur ngebul.
Sudah tahu penghasilan guru honorer kecil, tapi kok masih bertahan? Urusan hatilah yang menyebabkan mereka masih menjalani profesi sebagai guru honorer. Mereka disamping memang banyak yang berlatar sarjana pendidikan, juga sudah terlanjur cinta dengan dunia mengajar.Â
Ada semacam ikatan batin antara dirinya dan para siswanya. Walau tidak dipungkiri juga suatu saat ingin diangkat menjadi CPNS. Oleh karenanya, belasan tahun, bahkan puluhan tahun mereka mengabdi walau upah yang diterima jauh di bawah UMR.
Bak petir di siang bolong, aturan penerimaan CPNS tahun ini ternyata tidak mengakomodir CPNS K-2 yang berusia di atas 35 tahun. Dengan mata nanar dan dada bergejolak, mereka hanya menjadi penonton banyak sarjana-sarjana fresh graduate dan yang berusia di bawah 35 tahun sibuk mempersiapkan berkas untuk pendaftaran CPNS.Â
Oleh karena itu, mereka datang ke istana untuk mengetuk hati presiden Joko Widodo agar memperhatikan nasib mereka sekaligus menagih janji saat kampanye. Bahkan sebelumnya ada seorang guru honorer dari Indramayu yang melakukan aksi jalan kaki ke Jakarta untuk memperjuangkan aspirasi guru-guru honorer.
Mereka rela tidur beralaskan koran dan beratap langit demi bertemu dengan sang presiden. Tapi harapan mereka hanya berbuah kekecewaan karena presiden Joko Widodo tidak menerima mereka. Lelah, sedih, dan kecewa terpancar dari wajah mereka.Â
Harapan untuk diangkat menjadi CPNS hampir bisa dikatakan pupus karena terkendala syarat usia. Pemerintah sebenarnya mewacanakan atau menawarkan pengangkatan guru honorer sebagai tenaga kontrak dengan perjanjian kerja, tetapi hal tersebut ditolak, karena satu-satunya tuntutan mereka adalah diangkat menjadi CPNS.
Kecewa? Pasti. Sedih? Iya. Di situlah kita perlu berempati terhadap kondisi guru-guru honorer K-2. Walau tentunya kita pun perlu membesarkan hati mereka. Tidak diangkat menjadi CPNS bukanlah aib dan bukanlah "kiamat" terhadap karir mereka. Berbagai ikhtiar telah dilakukan, tapi hasilnya nihil, tinggal bertawakkal saja kepada Allah.
Political will terhadap nasib guru honorer memang dipertanyakan. Salah satunya adalah sulitnya mereka mendapatkan SK dari Bupati dan Walikota, padahal SK tersebut selain sebagai legalitas mereka sebagai guru honorer di sekolah negeri, juga sebagai syarat untuk NUPTK. Dan NUPTK adalah syarat untuk mengikuti sertifikasi guru. Akibatnya, banyak guru honorer yang belum disertifikasi karena belum memiliki SK dari Bupati dan Walikota.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah pun terkesan saling lempar tanggung jawab berkaitan dengan nasib guru honorer, padahal dalam konteks otonomi daerah, urusan pendidikan termasuk urusan guru merupakan salah satu urusan yang didesentralisasikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. De facto, guru honorer dibutuhkan di sekolah-sekolah negeri yang kekurangan guru.Â
Oleh karena itu, nasibnya jangan terus terombang-ambing. Perlu ada solusi yang bijak dan solutif agar mereka tidak lagi turun ke jalan, dan bisa fokus mencerdaskan anak bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H