IDUL FITRI DAN MOMENTUM PILKADA DAMAI
Oleh:
IDRIS APANDI
(Pemerhati Masalah Sosial)
Pasca perayaan Idulfitri, Indonesia akan menyelenggarakan Pilkada serentak di 171 daerah pada tanggal 27 Juni 2018. Â Dari 171 daerah tersebut, ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang akan menyelenggarakan Pilkada di 2018. Beberapa provinsi di antaranya adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Pada saat sidang Itsbat penetapan Idulfitri 1 Syawal 1439 H, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Makrif Amien berpesan bahwa khutbah-khutbah Idulfitri harus adem, menyejukkan, tidak menyerempet ke politik praktis, mengingat tahun ini adalah tahun politik. Dalam waktu dekat akan diselenggarakan Pilkada serentak. Oleh karena itu, sangat wajar kalau ketua MUI berpesan demikian, karena perbedaan pilihan politik telah banyak membuang energi bangsa ini.
Momentum idulfitri memang saat yang sangat tepat untuk saling bermaaaf-maafan, melupakan sejenak perbedaan pilihan politik. Polarisasi masyarakat terjadi sejak saat Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017. Dan saat ini polarisasi tersebut semakin terasa mendekati tahun politik. Perang tagar (#), perang kaos, perang lagu, perang gambar, dan perang spanduk sudah banyak terjadi. Bahkan pada saat arus mudik pun terjadi saling klaim dan saling bantah berkaitan dengan jalan tol yang dibangun pada masa pemerintahan presiden Joko Widodo.
Walau demikian, momentum idufitri sempat ternoda oleh insiden pada saat open house yang diselenggarakan oleh presiden Joko Widodo di Istana Bogor dimana Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur DKI disoraki oleh massa yang juga mau mengikuti acara open house. Dan tentunya hal ini dikaitkan dengan rivalitas pada saat Pilkada DKI 2017 dan jelang Pilpres 2019.
Setiap Pilkada pasti persaingan yang ketat antarkandidat. Bahkan ada beberapa provinsi seperti Jawa Barat, Jawa tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara yang persaingannya sangat ketat, sehingga butuh perhatian khusus. Hal itu wajar saja, karena sama-sama ingin merebut hati calon pemilih. Hanya masalahnya adalah persaingan tersebut diawarnai oleh penyebaran HOAX, kampanye hitam, dan fitnah. Dan inilah sebenarnya merusak hakikat Pilkada itu sendiri.
Pilkada harus menjadi festival gagasan, bukan saling menjatuhkan martabat. Buatlah calon pemilih tertarik dengan gagasan yang cemerlang dari tiap-tiap kontestan, bukan dengan merendahkan atau menjatuhkan rivalnya. Dengan kata lain, pilkada harus menjadi sarana pendidikan politik bagi masyarakat.
Media sosial menjadi lahan yang subur untuk merebaknya HOAX, kampanye hitam, dan fitnah. Pelakunya bukan hanya orang berpendidikan rendah, tetapi orang yang berpendidikan tinggi. Badan Kepegawaian Negara (BKN) melansir bahwa banyak dosen yang dilaporkan menyebarkan HOAX dan ujaran kebencian, bahkan ada yang telah ditangkap oleh polisi. Oleh karena itu, BKN telah mengeluarkan Surat Kepala BKN Nomor K.26 30/V.72-2/99 kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) Instansi Pusat dan Daerah perihal Pencegahan Potensi Gangguan Ketertiban dalam Pelaksanaan Tugas dan Fungsi PNS, meneruskan dari Surat Edaran Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 137 Tahun 2018 tentang Penyebarluasan Informasi Melalui Media Sosial Bagi ASN.