SEBUAH CERPEN
BINGKISAN LEBARAN UNTUK MENDIANG AYAHKUÂ
Oleh:
IDRIS APANDIÂ
Â
Aku menulis cerita ini ketika takbir pertanda berakhirnya Ramadan dan datangnya idul fitri sedang menggema menembus langit. Lebaran tahun ini adalah lebaran pertama keluarga besar kami tanpa kehadiran ayah tercinta. Beliau telah dipanggil menghadap Sang Maha Kuasa pada tanggal 24 Agustus 2017. Sambil menulis cerita ini, rasa sedih menyeruak dalam batinku. Dadaku mendadak sesak, dan mataku berkaca-kaca, terbasahi air mata karena menahan rasa haru.
Tak disangka, ayah yang sangat kami sayangi dan kami banggakan begitu cepat meninggalkan kami secara mendadak karena serangan jantung. Padahal sebelum beliau wafat, siang itu, sekitar jam 11.30 kami makan siang dan bersenda gurau, sama sekali tidak ada tanda-tanda akan berpulang. Dan itu ternyata adalah kebersamaan kami yang terakhir, karena jam 12.00 ayah kami dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Sontak kami sangat terpukul dan kehilangan. Tangisan meledak, air mata pun berurai. Badanku lemas seolah tak percaya. Ayahku meninggal mendadak setelah sebelumnya mengeluh pusing, badannya terkulai lemas, mulutnya tak kuasa berkata-kata, lalu menghembuskan nafas terakhir dalam pelukanku. Ya Allah... rasanya tidak percaya, ayah kami telah tiada. Suasana bahagia berganti duka dalam seketika.
Kini hanya tinggal pusara yang menjadi tanda persemayaman terakhir ayahku. Hanya doa yang dapat kupanjatkan baginya. Sambil melihat fotonya, batinku menerawang. Mengenang masa-masa ketika ayahku masih ada. Beliau seorang pekerja keras, seorang kepala keluarga yang tangguh, bertanggung jawab, dan sangat setia kepada ibuku yang hampir 25 tahun bekerja menjadi TKW di Timur Tengah.
Aku teringat makanan dan minuman kesukaannya saat berbuka dan sahur. Ayah suka sekali roti susu yang telah dihangatkan di atas wajan. Di sudut dapur, kulihat meja makan. Aku seolah melihat ayahku masih ada, duduk dikursi makan sambil menikmati kopi hitam dan rokok kretek kesukaannya.
Masih terbayang sepeda yang suka digunakannya untuk pergi bekerja. Tiap hari ayah mengayuh sepeda dari rumah ke tempat kerjanya yang berjarak sekitar 7 KM. Jadi setiap hari ayah mengayuh sepeda sejauh 14 KM pulang-pergi. Walau jaraknya cukup jauh, tapi ayah melakukannya dengan sepenuh hati, tidak pernah mengeluh demi menafkahi keluarga.
Hari Kamis adalah hari yang dinantikan oleh ibu dan anak-anaknya, karena hari itu biasanya ayah gajian. Di hari gajian, kami dapat makan mie rebus. Sebuah makanan yang istimewa bagi kami yang hanya bisa dibeli ketika ayah gajian. Hari Jumat, ayah libur, kami sekeluarga dapat berkumpul, makan bersama sambil menonton TV hitam putih jadul.
Walau ayahku bekerja keras mencari nafkah, tapi hasilnya masih terbatas untuk menutupi kebutuhan keluarga. Oleh karenanya, ayah merelakan ibu menjadi TKW untuk membantu perekonomian keluarga. Kalau aku ingat kisahku, aku hampir tidak melanjutkan sekolah ke SMP dan SMA karena keterbatasan ekonomi, walau akhirnya aku dikuliahkan sampai lulus sarjana.
Aku anak pertama dan empat bersaudara. Alhamdulillah, sudah bekerja sebagai PNS. Sebuah pekerjaan yang sebenarnya tak pernah kubayangkan sebelumnya, karena aku merasa tidak punya uang dan koneksi. Sudah menjadi  rahasia umum, kalau ingin lulus, harus punya 3D alias Duit, Deuheus (Dekat), dan Dulur (saudara) di dalam kantor tempat melamar. Tapi takdir Tuhan berkata lain, aku bisa lulus menjadi PNS secara bersih, tanpa KKN. Aku yakin, di dalamnya ada doa kedua orang tuaku.
Sebagai anak, tentunya aku ingin membahagiakan orang tuaku. Bapakku pun seiring usianya yang kian menua sudah jarang bekerja sebagai buruh bangunan. Oleh karenanya, aku suka membawanya kalau aku tugas ke luar kota. Ya, sekalian jalan-jalan. Jangan sangan sampai kurung batokeun (hanya tahu daerah tempat tinggal dan sekitarnya). Aku memang cukup sering bertugas ke kota-kota di wilayah Jawa Barat.
Ayahku senang kalau aku ajak pergi ke luar daerah, karena memang Beliau sangat jarang pergi ke luar daerah. Aku ingat, saat pulang tugas dari Cirebon via Cipali, kami berhenti di Rest Area untuk beristirahat. Aku lihat ayahku makan dengan lahap. Ikan cumi adalah menu kesukaannya. Aku lihat, ayah begitu menikmatinya. Aku juga ingat ketika pulang tugas dari Subang melalui jalan Ciater, kami makan siang di sebuah rumah makan dengan menu utamanya sop ikan gurame. Beliau pun begitu menikmatinya. Lalu, aku ingat, ketika pulang tugas dari Bogor via Puncak, kami sempat istirahat, salat asar, dan berfoto bersama di masjid Attaawun.
Ayah bersama ibuku saat itu, juga pernah mengantarkan/menengok anak pertamaku, sekolah mondok di sebuah pesantren di Kabupaten Sukabumi. Ayah, cucumu yang kau antarkan alhamdulillah jadi rangking 1 di sekolahnya. Itu tidak lepas dari doamu. Ah, aku jadi ingat ketika pulang dari Sukabumi, kita makan malam di sebuah warung makan pinggir jalan di dekat alun-alun kota Sukabumi. Nasi timbel bersama goreng ikan peda bertabur goreng bawang dan goreng pete. Sederhana, tapi kita makan enak sekali saat itu. Bahkan meminta agar ibu meminta mencontoh membuat goreng ikan peda di rumah.Â
Aku senang pernah membawanya jalan-jalan ke Pangandaran sekitar tahun 2014, tempat yang belum pernah Beliau datangi sebelumnya. Dan ternyata itu jadi kunjungan yang pertama sekaligus terakhir baginya. Sebelum Beliau wafat, aku berencana mengajaknya ziarah ke makam Wali di Pamijahan Tasikmalaya. Tapi akhirnya niat itu batal karena Beliau dipanggil Yang Maha Kuasa.
Tahun 2016 aku pernah membawa ziarah ayahku ke petilasan sunan kalijaga, makam Pangeran Cakrabuana, dan makan Sunan Gunung Jati di bersamaan dengan memenuhi undangan peringatan Maulid Nabi Muhamad Saw dari Sultan Cirebon. Alhamdulillah, seumur-umur baru bisa masuk keraton dan bertemu raja Cirebon Pra Arief Natadiningrat.
Aku juga merasa menyesal, karena dulu waktu ayahku aku bawa main ke Alun-alun Bandung, Beliau ingin naik menara masjid Raya Jawa Barat, tetapi tidak bisa sudah ditutup. Hari memang sudh sore saat itu. Sekitar pukul lima sore. Aku bilang sama ayah saat itu, "nanti lagi saja kita ke sini (alun-alun Bandung). Kita naik menara masjid raya. Dari menara kita bisa lihat kota Bandung." Â Tapi rencana itu pun hanya tinggal rencana.
Sepeninggalnya, ada satu hal baik yang ingin aku lanjutkan, Â yaitu, bersilaturahmi ke kakak, adik, saudara ayahku di Kabupaten Pandeglang. Istilahnya, jangan sampai pareumeun obor atau hilang jejak hubungan keluarga. Ayahku memang aslinya orang Banten. Beliau merantau ke Bandung sejak tahun 70-an, kemudian menikahi ibuku, lalu menetap hingga wafat di Bandung.
Ayahku memang cukup sering berkunjung ke Banten. Waktu aku kecil, aku juga pernah dibawa ke sana. Dan sekian tahun silam, ayahku pun pernah membawaku dan adikku ke Pandeglang untuk bertemu ibu kandungnya yang sekaligus nenek kami, bernama Aisyah untuk yang pertama kalinya. Nenek Aisyah tinggal di lampung setelah bercerai dengan kakekku, lalu Beliau menikah lagi dengan orang lampung. Aku sendiri pernah bertemu dengan nenek sebanyak dua kali. Yang pertama di Pandeglang, di rumah bibiku, dan yang kedua pada saat nenek sakit dan di rawat di Cibinong Bogor. Kini, nenek Aisyah pun telah wafat. Semoga hubungan keluarga antara anak-anak dan cucunya tidak padam seiring dengan telah wafatnya nenek dan ayahku, karena biasanya jontrot (tokoh-tokoh inti dalam keluarga), ada kalanya hubungan kekerabatan menjadi renggang bahkan terputus karena atah anjang (jarang saling berkunjung).
Aku sering membawa ayahku tugas atau main luar kota sejak tahun 2016 hingga Agustus 2017. Bahkan beliau wafat di Bandara Soekarno Hatta Tangerang ketika kami sedang mengantarkan ibu yang mau kembali lagi kerja di sebuah negara kawasan Timur Tengah setelah cuti selama tiga bulan. Ayah wafat sekitar pukul 12.00 ketika ibu mau cek in dan boarding pass. Seharusnya ibu terbang ke sebuah negara di Timur Tengah pukul 14.00 dengan menggunakan sebuah maskapai penerbangan Srilanka, tapi jadwal tersebut dibatalkan. Tidak pedui tiket hangus, karena kami dalam suasana berduka. Ibu kembali ke Bandung bersama jenazah Bapak.
Aku ingat, hari terakhir puasa, ayah ada di rumah. Kalau ada bahannya sambil membuat cangkang ketupat. Keterampilan itu sayangnya tidak menurun ke anak dan cucunya. Kini, cangkang ketupat buatan ayah tinggal kenangan. Kami harus membeli cangkang ketupat ke pasar.
Tahun lalu, kami memberikan sarung dan baju koko untuk dipakai ayah salat Ied. Lebaran tahun ini tidak ada lagi sarung dan baju koko, tapi yang kami siapkan adalah air dan bunga yang dibawa ke makam ayah, dan tentunya doa kami untuk almarhum ayah. Gantinya, lebaran tahun ini, kami akan akan berziarah ke makan ayah. Kebetulan lokasi makamnya tidak jauh dari rumah kami di kampung. Jenazah ayah memang dimakamkan di pemamakan khusus keluarga.
Andai aku bisa, aku ingin mengatakan kepada ayahku, "Ayah, lebaran tahun lalu kita ziarah bareng ke makam kakek dan nenek. Kini kami, ibu, anak, mantu, dan cucumu yang menziarahimu." Usia adalah misteri. Semua orang suatu saat pasti menghadap-Nya. Hanya soal waktu saja. Harus siap kapanpun dan dimanapun malaikat maut menjemput.
"Ayah, izinkan kami besok berziarah ke makammu, izinkan kami memanjatkan doa kepada Sang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan, agar engkau mendapat terbaik di sisi-Nya, izinkan kami menyirami tanah makammu yang kering terkena terik matahari, dan izinkan kami menyimpan setangkai bunga mawar di atas pusaramu. Ayah, semoga engkau saat ini sedang mendapatkan limpahan nikmat dari Sang Maha Pemberi nikmat, Allah Swt. Aamiin yra. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H