Saat ini pemerintah tengah berupaya meningkatkan mutu pendidikan untuk mewujudkan amanat konstitusi, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa yang secara operasional tercantum dalam Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).Â
Pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara."
Lalu pasal 3 menyatakan bahwa "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, Â berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."
Sebagai penjabaran dari UU Sisdiknas, lalu pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Pada pasal 2 ayat 1 dinyatakan bahwa lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi: (a) standar isi; (b) standar proses; (c) standar kompetensi lulusan; (d) standar pendidik dan tenaga kependidikan; (e) standar sarana dan prasarana; (f) standar pengelolaan; (g) standar pembiayaan; dan (h) standar penilaian pendidikan.
Dalam upaya mencapai SNP, Permendikbud Nomor 28 tahun 2016 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP) Dasar dan Menengah. Pada pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa "Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah adalah suatu kesatuan unsur yang terdiri atas organisasi, kebijakan, dan proses terpadu yang mengatur segala kegiatan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah yang saling berinteraksi secara sistematis, terencana dan berkelanjutan."
Lalu pasal 1 ayat 4 menyatakan bahwa "Sistem Penjaminan Mutu Internal Pendidikan Dasar dan Menengah, yang selanjutnya disingkat SPMI-Dikdasmen adalah suatu kesatuan unsur yang terdiri atas kebijakan dan proses yang terkait untuk melakukan penjaminan mutu pendidikan yang dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan dasar dan satuan pendidikan menengah untuk menjamin terwujudnya pendidikan bermutu yang memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan."
 Sekolah Model SPMI
Salah satu bentuk upaya implementasi penjaminan mutu di sekolah adalah melalui program Sekolah Model (sekmod) Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI).Â
Sekmod adalah sebuah bagi sekolah yang dibina oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) berdasarkan rekomendasi dari Dinas Pendidikan. Sekolah yang ditunjuk sebagai sekmod SPMI syarat utamanya adalah sekolah yang belum mencapai SNP dan memiliki komitmen untuk meningkatkan mutunya.
Dalam implementasi SPMI, inisiatif peningkatan mutu berasal dari warga sekolahnya sendiri, alurnya dari bawah ke atas (bottom-up), bukan atas ke bawah (top-down).Â
Hal ini sesuai dengan semangat desentralisasi pendidikan yang dijalankan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS adalah pemberian kewenangan kepada sekolah untuk mengurus dirinya sendiri sesuai dengan potensi, kebutuhan, dan kemampuan masing-masing. Otonomi, inisiatif, dan team work menjadi ciri utamanya MBS.
Setiap sekmod didorong dan didampingi oleh LPMP dan fasilitator daerah (fasda) yang juga merupakan pengawas pembinanya untuk melakukan 5 (lima) tahap penjaminan mutu, yaitu : (1) pemetaan mutu, (2) penyusunan perencanaan pemenuhan mutu, (3) pelakksanaan pemenuha mutu, (4) evaluasi pelaksanaan pemenuhan mutu, dan (5) penyusunan strategi pencapaian mutu yang baru. Tahapan penjaminan mutu yang dilakukan dalam bentuk siklus (spiral) merupakan proses peningkatan mutu secara terencana dan berkelanjutan.
Pada tahun 2016, jumlah sekolah di Indonesia mencapai 297.368 unit. Sekolah Dasar (SD) merupakan jenjang pendidikan dengan jumlah sekolah paling banyak, yakni mencapai 147 ribu unit. Namun, untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) hanya mencapai 37 ribu unit sehingga satu sekolah tingkat pertama terkadang memiliki lebih dari 5 ruang untuk tiap tingkatan kelas. Sedangkan untuk jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) cukup merata dengan jumlah masing-masing mencapai 12 ribu unit. (Sumber : katadata, 2016).
Dari jumlah sekolah tersebut, masih banyak yang belum mencapai SNP, dan kalau melihat kondisi riil, sulit jika semua sekolah ingin mencapai SNP. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, keterbatasan sarana dan prasana, kekurangan pendidik dan tenaga kependidikan yang memiliki kualifikasi dan tersertifikasi, dan pengelolaan sekolah yang belum optimal karena keterbatasan SDM dan biaya.
Pada 8 (delapan) SNP telah ditetapkan secara rinci berbagai indikator dan subindikator dari tiap standar yang harus dicapai oleh sekolah. Sekolah dikatakan memenuhi SNP kalau mampu memenuhi berbagai indikator dan subindikator tersebut. Untuk memetakan mutu 8 (delapan) SNP di sekolah, maka sekolah melakukan Evaluasi Diri Sekolah (EDS). Hasil pemetaan mutu tersebut lalu menjadi dasar dalam peningkatan mutu sekolah.
Dari hasil pemetaan mutu, pada umumnya, sekolah mengalami kendala dalam pemenuhan standar sarana dan prasarana, standar pembiayaan, standar pengelolaan, dan standar pendidik dan tenaga kependidikan. Dan hal ini tidak dapat ditanggulangi sendiri oleh sekolah, tetapi perlu peran dari pemerintah, Komite Sekolah, Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI). Sedangkan pada standar yang berkaitan dengan akademik, seperti Standar Kelulusan, Standar Isi, Standar Proses, dan Standar Penilaian, sekolah pada umumnya dapat menyusun langkah-langkah peningkatan mutu secara lebih otonom, meskipun tetap butuh perhatian dari pemerintah.
Pemerintah pun sebenarnya sudah tahu dan tidak menutup mata terhadap belum tercapainya SNP. Â Pemerintah telah melakukan berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan, walau harus diakui pula masih terdapat berbagai kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, maka peran Komite Sekolah dan DUDI sangat diharapkan menjadi mitra pemerintah dalam peningkatan mutu pendidikan.
Implementasi sistem penjaminan mutu pendidikan dilakukan secara bertahap, mulai dari sekolah hingga level pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Sekolah sebagai lingkup terkecil dan sebagai pelaku utama penjaminan pendidikan. Secara operasional sekolah membentuk Tim Penjaminan Mutu Pendidikan Sekolah (TPMPS), pemerintah daerah membentuk Tim Penjaminan Mutu Pendidikan Daerah (TPMPD), dan pemerintah pusat menerbitkan regulasi yang berkaitan dengan penjaminan mutu, menyiapkan desain penjaminan mutu, dan menyiapkan SDM yang akan menjadi fasilitator penjaminan mutu.
Agar implementasi penjaminan mutu dapat berjalan dengan optimal, maka semua level harus melaksanakan tupoksinya, bersinergi, dan saling melengkapi, karena jika tidak berjalan secara harmonis, maka cita-cita peningkatan mutu pendidikan sulit untuk tercapai.
Merger Sekolah?
Pencapaian SNP di sekolah dihadapkan pada berbagai tantangan, dan kalau mau menilai secara objektif, SNP sangat sulit untuk bisa dicapai kalau tidak dilakukan langkah-langkah yang "revolusioner." Â Misalnya, dalam hal keterbatasan sarana dan prasarana.Â
Suatu waktu, saya pernah mendapatkan informasi dari seorang guru SD bahwa di kelas tempatnya mengajar diisi oleh 67 orang siswa sedangkan, kalau mengacu kepada standar pengelolaan, satu kelas di SD, hanya diisi oleh 28 orang siswa. Akibatnya, ruang kelas menjadi pengap dan tidak nyaman untuk kegiatan pembelajaran. Tapi guru tidak punya pilihan. Dia terus mengejar walau kondisinya sangat tidak nyaman.
Usulan penambahan ruang kelas sudah sering disampaikan kepada pemerintah, tetapi belum juga dikabulkan, berhubung lahannya pun sudah tidak ada. Satu-satunya cara adalah dengan meningkatkan bangunan. Mengurangi penerimaan jumlah siswa juga bukan hal yang mudah, karena di satu sisi sekolah ingin taat asas, tetapi di sisi lain, masyarakat pun berharap anaknya di sekolah tersebut.
Belum lagi sikap Dinas Pendidikan yang ambigu, di satu sisi meminta agar sekolah taat asas, tetapi di sisi lain menginstruksikan supaya sekolah tidak menolak calon murid yang daftar demi pemenuhan wajib belajar, sehingga muncul "kebijakan" yang membolehkan sebuah sekolah menerima siswa lebih dari standar yang seharusnya.
Selain itu, tidak dapat dipungkiri, sekolah pun berkepentingan dengan banyaknya jumlah siswa, karena dana BOS yang diterima disesuaikan dengan jumlah siswa. Semakin banyak jumlah siswa, maka jumlah dana BOS yang diterima pun semakin besar. Dana BOS yang lumayan besar bisa digunakan untuk mengcover berbagai program sekolah, termasuk menggaji guru honorer.
Biasanya hal ini terjadi pada sekolah-sekolah pavorit yang pendaftarnya membludak. Sistem cluster atau zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pun belum dilaksanakan secara konsisten karena orang tua pun memaksakan diri ingin mendaftarkan anaknya ke sekolah pavorit, walaupun sekolah tersebut berada di luar zona PPDB sebuah sekolah.
Jumlah siswa yang tidak sebanding dengan jumlah ruang kelas, hal ini berdampak pula kepada ketersediaan jamban siswa. Dalam Standar Sarana dan Prasarana diatur bahwa rasio satu buah jamban adalah 1 : 60 bagi lai-laki, dan 1 : 50 bagi perempuan. Realitanya, ada sekolah yang memiliki siswa hampir 500 orang, hanya memiliki 5 jamban siswa, sedangkan kebutuhannya sebanyak 10 toilet.
Sekolah-sekolah, khususnya SD yang berada dalam satu kompleks banyak yang belum mencapai SNP. Satu buah lapangan digunakan oleh beberapa sekolah secara bergantian oleh sekolah-sekolah yang berada dalam satu kompleks tersebut, dan sifatnya multifungsi, mulai dari lapangan upacara, lapangan olah raga, hingga arena bermain siswa. Belum lagi keterbatasan ruang kelas dan sarana perpustakaan dan laboratorium, sangat jauh panggang dari api.
Saya menilai bahwa kalau kondisinya seperti itu, maka sekolah akan sangat sulit mencapai SNP. Solusi yang "radikal" jika ingin sekolah-sekolah tersebut mencapai SNP, adalah dengan cara dimerger. Beberapa sekolah yang sama-sama tidak mencapai SNP, digabungkan menjadi satu sekolah yang representatif dan mampu mencapai SNP. Walau tentunya ada sejumlah konsekuensi yang kemungkinan dapat terjadi, seperti adanya efisiensi dalam pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah.
Banyaknya sekolah yang didirikan pada masa Inpres tahun 80-an dalam rangka menyukseskan Wajib Belajar yang kadang tidak didirikan pada lokasi yang representatif menyebabkan sekolah tersebut sudah sulit mencapai SNP. Seiring dengan semakin menurunnya jumlah siswa, sehingga secara operasional sekolah sulit untuk dipertahankan. Maka solusinya, kalau sekolah tidak ditutup, maka dimerger. Hal ini akan lebih mengefektifkan pembinaan pemerintah terhadap sekolah.
Menurut saya, merger sekolah merupakan sebuah cara yang cukup efektif untuk mempercepat pencapaian SNP, karena kalau pun sebuah sekolah yang kondisinya sudah serba sulit itu tetap diupayakan mencapai SNP, maka hanya memakan waktu yang entah kapan bisa tercapai, bahkan mungkin tidak akan pernah tercapai.
Proses merger diawali dengan evaluasi secara menyeluruh terhadap sekolah yang akan dimerger oleh pemerintah dan tentunya mendengarkan berbagai masukan dari para pengelola sekolahnya. Tentunya hal ini akan menuai pro dan kontra terutama dengan akan hilangnya jabatan kepala sekolah dari sekolah yang dimerger, tetapi saya kira itu adalah lebih baik daripada membiarkan sekolah dalam ketidakjelasan dalam pencapaian SNP. Wallaahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H