Setiap sekmod didorong dan didampingi oleh LPMP dan fasilitator daerah (fasda) yang juga merupakan pengawas pembinanya untuk melakukan 5 (lima) tahap penjaminan mutu, yaitu : (1) pemetaan mutu, (2) penyusunan perencanaan pemenuhan mutu, (3) pelakksanaan pemenuha mutu, (4) evaluasi pelaksanaan pemenuhan mutu, dan (5) penyusunan strategi pencapaian mutu yang baru. Tahapan penjaminan mutu yang dilakukan dalam bentuk siklus (spiral) merupakan proses peningkatan mutu secara terencana dan berkelanjutan.
Pada tahun 2016, jumlah sekolah di Indonesia mencapai 297.368 unit. Sekolah Dasar (SD) merupakan jenjang pendidikan dengan jumlah sekolah paling banyak, yakni mencapai 147 ribu unit. Namun, untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) hanya mencapai 37 ribu unit sehingga satu sekolah tingkat pertama terkadang memiliki lebih dari 5 ruang untuk tiap tingkatan kelas. Sedangkan untuk jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) cukup merata dengan jumlah masing-masing mencapai 12 ribu unit. (Sumber : katadata, 2016).
Dari jumlah sekolah tersebut, masih banyak yang belum mencapai SNP, dan kalau melihat kondisi riil, sulit jika semua sekolah ingin mencapai SNP. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, keterbatasan sarana dan prasana, kekurangan pendidik dan tenaga kependidikan yang memiliki kualifikasi dan tersertifikasi, dan pengelolaan sekolah yang belum optimal karena keterbatasan SDM dan biaya.
Pada 8 (delapan) SNP telah ditetapkan secara rinci berbagai indikator dan subindikator dari tiap standar yang harus dicapai oleh sekolah. Sekolah dikatakan memenuhi SNP kalau mampu memenuhi berbagai indikator dan subindikator tersebut. Untuk memetakan mutu 8 (delapan) SNP di sekolah, maka sekolah melakukan Evaluasi Diri Sekolah (EDS). Hasil pemetaan mutu tersebut lalu menjadi dasar dalam peningkatan mutu sekolah.
Dari hasil pemetaan mutu, pada umumnya, sekolah mengalami kendala dalam pemenuhan standar sarana dan prasarana, standar pembiayaan, standar pengelolaan, dan standar pendidik dan tenaga kependidikan. Dan hal ini tidak dapat ditanggulangi sendiri oleh sekolah, tetapi perlu peran dari pemerintah, Komite Sekolah, Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI). Sedangkan pada standar yang berkaitan dengan akademik, seperti Standar Kelulusan, Standar Isi, Standar Proses, dan Standar Penilaian, sekolah pada umumnya dapat menyusun langkah-langkah peningkatan mutu secara lebih otonom, meskipun tetap butuh perhatian dari pemerintah.
Pemerintah pun sebenarnya sudah tahu dan tidak menutup mata terhadap belum tercapainya SNP. Â Pemerintah telah melakukan berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan, walau harus diakui pula masih terdapat berbagai kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, maka peran Komite Sekolah dan DUDI sangat diharapkan menjadi mitra pemerintah dalam peningkatan mutu pendidikan.
Implementasi sistem penjaminan mutu pendidikan dilakukan secara bertahap, mulai dari sekolah hingga level pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Sekolah sebagai lingkup terkecil dan sebagai pelaku utama penjaminan pendidikan. Secara operasional sekolah membentuk Tim Penjaminan Mutu Pendidikan Sekolah (TPMPS), pemerintah daerah membentuk Tim Penjaminan Mutu Pendidikan Daerah (TPMPD), dan pemerintah pusat menerbitkan regulasi yang berkaitan dengan penjaminan mutu, menyiapkan desain penjaminan mutu, dan menyiapkan SDM yang akan menjadi fasilitator penjaminan mutu.
Agar implementasi penjaminan mutu dapat berjalan dengan optimal, maka semua level harus melaksanakan tupoksinya, bersinergi, dan saling melengkapi, karena jika tidak berjalan secara harmonis, maka cita-cita peningkatan mutu pendidikan sulit untuk tercapai.
Merger Sekolah?
Pencapaian SNP di sekolah dihadapkan pada berbagai tantangan, dan kalau mau menilai secara objektif, SNP sangat sulit untuk bisa dicapai kalau tidak dilakukan langkah-langkah yang "revolusioner." Â Misalnya, dalam hal keterbatasan sarana dan prasarana.Â
Suatu waktu, saya pernah mendapatkan informasi dari seorang guru SD bahwa di kelas tempatnya mengajar diisi oleh 67 orang siswa sedangkan, kalau mengacu kepada standar pengelolaan, satu kelas di SD, hanya diisi oleh 28 orang siswa. Akibatnya, ruang kelas menjadi pengap dan tidak nyaman untuk kegiatan pembelajaran. Tapi guru tidak punya pilihan. Dia terus mengejar walau kondisinya sangat tidak nyaman.