Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mencari Formula Terbaik Penjaminan Mutu Pendidikan di Sekolah

12 Mei 2018   07:22 Diperbarui: 12 Mei 2018   09:10 3847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usulan penambahan ruang kelas sudah sering disampaikan kepada pemerintah, tetapi belum juga dikabulkan, berhubung lahannya pun sudah tidak ada. Satu-satunya cara adalah dengan meningkatkan bangunan. Mengurangi penerimaan jumlah siswa juga bukan hal yang mudah, karena di satu sisi sekolah ingin taat asas, tetapi di sisi lain, masyarakat pun berharap anaknya di sekolah tersebut.

Belum lagi sikap Dinas Pendidikan yang ambigu, di satu sisi meminta agar sekolah taat asas, tetapi di sisi lain menginstruksikan supaya sekolah tidak menolak calon murid yang daftar demi pemenuhan wajib belajar, sehingga muncul "kebijakan" yang membolehkan sebuah sekolah menerima siswa lebih dari standar yang seharusnya.

Selain itu, tidak dapat dipungkiri, sekolah pun berkepentingan dengan banyaknya jumlah siswa, karena dana BOS yang diterima disesuaikan dengan jumlah siswa. Semakin banyak jumlah siswa, maka jumlah dana BOS yang diterima pun semakin besar. Dana BOS yang lumayan besar bisa digunakan untuk mengcover berbagai program sekolah, termasuk menggaji guru honorer.

Biasanya hal ini terjadi pada sekolah-sekolah pavorit yang pendaftarnya membludak. Sistem cluster atau zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pun belum dilaksanakan secara konsisten karena orang tua pun memaksakan diri ingin mendaftarkan anaknya ke sekolah pavorit, walaupun sekolah tersebut berada di luar zona PPDB sebuah sekolah.

Jumlah siswa yang tidak sebanding dengan jumlah ruang kelas, hal ini berdampak pula kepada ketersediaan jamban siswa. Dalam Standar Sarana dan Prasarana diatur bahwa rasio satu buah jamban adalah 1 : 60 bagi lai-laki, dan 1 : 50 bagi perempuan. Realitanya, ada sekolah yang memiliki siswa hampir 500 orang, hanya memiliki 5 jamban siswa, sedangkan kebutuhannya sebanyak 10 toilet.

Sekolah-sekolah, khususnya SD yang berada dalam satu kompleks banyak yang belum mencapai SNP. Satu buah lapangan digunakan oleh beberapa sekolah secara bergantian oleh sekolah-sekolah yang berada dalam satu kompleks tersebut, dan sifatnya multifungsi, mulai dari lapangan upacara, lapangan olah raga, hingga arena bermain siswa. Belum lagi keterbatasan ruang kelas dan sarana perpustakaan dan laboratorium, sangat jauh panggang dari api.

Saya menilai bahwa kalau kondisinya seperti itu, maka sekolah akan sangat sulit mencapai SNP. Solusi yang "radikal" jika ingin sekolah-sekolah tersebut mencapai SNP, adalah dengan cara dimerger. Beberapa sekolah yang sama-sama tidak mencapai SNP, digabungkan menjadi satu sekolah yang representatif dan mampu mencapai SNP. Walau tentunya ada sejumlah konsekuensi yang kemungkinan dapat terjadi, seperti adanya efisiensi dalam pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah.

Banyaknya sekolah yang didirikan pada masa Inpres tahun 80-an dalam rangka menyukseskan Wajib Belajar yang kadang tidak didirikan pada lokasi yang representatif menyebabkan sekolah tersebut sudah sulit mencapai SNP. Seiring dengan semakin menurunnya jumlah siswa, sehingga secara operasional sekolah sulit untuk dipertahankan. Maka solusinya, kalau sekolah tidak ditutup, maka dimerger. Hal ini akan lebih mengefektifkan pembinaan pemerintah terhadap sekolah.

Menurut saya, merger sekolah merupakan sebuah cara yang cukup efektif untuk mempercepat pencapaian SNP, karena kalau pun sebuah sekolah yang kondisinya sudah serba sulit itu tetap diupayakan mencapai SNP, maka hanya memakan waktu yang entah kapan bisa tercapai, bahkan mungkin tidak akan pernah tercapai.

Proses merger diawali dengan evaluasi secara menyeluruh terhadap sekolah yang akan dimerger oleh pemerintah dan tentunya mendengarkan berbagai masukan dari para pengelola sekolahnya. Tentunya hal ini akan menuai pro dan kontra terutama dengan akan hilangnya jabatan kepala sekolah dari sekolah yang dimerger, tetapi saya kira itu adalah lebih baik daripada membiarkan sekolah dalam ketidakjelasan dalam pencapaian SNP. Wallaahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun