Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Pelajar SD Sudah Mengenal Tawuran

22 April 2018   14:33 Diperbarui: 22 April 2018   14:43 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Krisis karakter yang saat ini menimpa pelajar SD merupakan tanggung jawab semua pihak, mulai dari keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat. Para orang tua wajib introspeksi bagaimana perannya dalam mendidik dan mengawasi anak-anak di rumah. Diakui atau tidak, ketika orang tua memberikan gawai kepada anaknya yang masih kecil akan sangat beresiko disalahgunakan. Anak dapat mengakses gambar atau video yang belum cocok dilihat olehnya.

Beberapa waktu yang lalu pernah viral foto seorang anak kecil yang sedang melihat video porno di HP yang diduga milik orang tuanya, dan ibunya anteng saja, tidak mengingatkannya. Mungkin saja anak tersebut belum tahu adegan, maksud, atau tujuan dari video tersebut, tapi sangat berbahaya dan tidak etis.

Gawai menjadi pisau bermata dua, di satu sisi dapat bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan, dan di sisi lain berbahaya terhadap perkembangan anak. Oleh karena itu, disamping perlu ketegasan aturan orang tua terhadap anak dalam penggunaan gawai, juga ketika anak menggunakan gawai, perlu didampingi oleh orang tua. Bahkan orang tua dapat mengantisipasinya dengan mengatur akses youtube bagi anak pada menu settingnya agar tidak memunculkan video-video yang tidak senonoh atau yang menunjukkan tindak kekerasan.

Sekolah sudah ada yang menerapkan pelarangan siswa membawa gawai ke sekolah, atau gawai mereka sementara "disita" pada saat belajar dan boleh diambil setelah kegiatan belajar selesai. Tapi ada juga guru yang memanfaatkan gawai sebagai salah satu sumber belajar bagi siswa. Tujuannya, agar siswa melek IT. Hal tersebut pada dasarnya boleh-boleh saja sepanjang penggunaannya untuk hal yang positif.

Pemerintah telah mengampanyekan penggunaan internet sehat di sekolah-sekolah. Selain itu, saat ini pun tengah gencar-gencarnya mengampanyekan program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)  di sekolah-sekolah. Tujuannya agar para pelajar memiliki karakter positif dan mampu menjadi warga negara yang baik, walau dalam pelaksanaannya dihadapkan pada berbagai tantangan, diantaranya adalah kurangnya keteladanan dari pemimpin, politisi, tokoh, bahkan termasuk praktisi pendidikan itu sendiri, sehingga PPK berjalan kurang efektif. Apalagi anak SD adalah seorang peniru ulung perkataan, sikap, dan perbuatan guru-gurunya. Dia akan cepat meniru hal apapun, baik positif maupun hal yang negatif yang dia lihat, dengar, dan alami.

Peran serta masyarakat juga sangat diperlukan. Saat ini tidak dapat dipungkiri, selain hal-hal yang baik, banyak juga hal yang kurang baik muncul di masyarakat. Seperti tawuran, persekusi, penyalahgunaan narkoba, ketidakdisiplinan dalam berlalu lintas, dan sebagainya. Belum lagi kata-kata kotor yang dapat dengan mudah didengar oleh mereka. Oleh karena itu, tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, LSM pemerhati anak, aparat keamanan perlu bekerjasama dan bersinergi dalam mengatasi dan mengantisipasi munculnya kenakalan pelajar termasuk pelajar SD.

Dalam mendidik pelajar SD, pendekatan psikologis, edukatif-humanistik, serta keagamaan perlu diperkuat. Mereka adalah generasi penerus bangsa. Masa depan mereka masih panjang. Jangan sampai masa depan mereka terputus karena kurang mendapatkan pembinaan. Ketika terlibat sebuah kasus kekerasan pun, mereka ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) khusus anak. Di dalam LP, mereka dibina tanpa kehilangan hak mereka mendapatkan pendidikan.

Ada kalanya ketika masa kanak-kanak, seorang anak nakal, bahkan terlibat tindak kekerasan, tetapi seiring dengan perjalanan waktu, ditambah pembinaan yang diterimanya, dia berubah menjadi pribadi yang berbudi peketi luhur dan sukses dalam kehidupannya. Wallahu a'lam. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun