KETIKA PELAJAR SD SUDAH MENGENAL TAWURAN
Oleh:
IDRIS APANDI
(Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan/LPMP Jawa Barat)
Miris dan prihatin ketika saya membaca berita sebanyak 15 orang siswa SD yang hendak tawuran di Purwakarta diamankan polisi. Pada saat diamankan oleh polisi, mereka membawa senjata tajam seperti golok, clurit, dan pisau. Berdasarkan keterangan Hendra (42), salah seorang warga yang menjadi saksi mata, hal ini diduga dipicu oleh kesalahpamahan diantara mereka, dimana ada salah seorang siswa yang lewat tanpa permisi, akibatnya ada cek-cok kecil. (Pikiran Rakyat, 20/04/2018). Â Selain di Purwakarta, kasus tawuran pelajar SD juga pernah terjadi di Makassar Sulawesi Selatan akibat "Cinta Segi Tiga" pelajar SD antara dua SD. (Kompas, 08/12/2017).
Kasus-kasus tawuran selama ini paling banyak melibatkan mahasiswa pelajar SMA, SMK, dan kini pelajar SD pun telah mengenal tawuran, dan parahnya lagi tawurannya menggunakan senjata tajam. Hal ini merupakan fenomena yang serius dan tidak dapat dipandang sebelah mata oleh pihak-pihak terkait, karena sudah sangat memprihatinkan. Tidak dapat dibayangkan anak-anak SD yang bisa dikatakan masih polos dan lugu saling serang, saling pukul, bahkan saling bacok gara-gara soal sepele. Nauzubillah, semoga hal tersebut tidak terjadi.
Tidak dapat dipungkiri, budaya kekerasan memang sudah akrab dikalangan pelajar SD. Melalui gawai yang dimilikinya, mereka dapat dengan mudah mengakses video-video berisi kekerasan di youtube. Belum lagi mereka akrab dengan game online dan Play Station, dimana game yang bertema kekerasan dan tindakan kriminalitas banyak diminati. Sinetron-sinetron TV pun banyak yang kurang mendidik, ditambah faktor lingkungan yang juga akrab dengan dunia kekerasan.
Krisis karakter yang terjadi pada pelajar SD bukan hanya masalah yang berkaitan dengan tawuran, tetapi juga persekusi, adanya gank-gank dalam satu kelas, dan pornografi. Gaya pacaran pelajar SD zaman now tidak kalah "hebat" dengan gaya berpacaran remaja atau ABG. Mereka memanggil pacarnya dengan panggilan "ayah" dan "bunda" atau "mamah" dan "papah". Mereka sudah tahu ngedate  dan memberikan hadiah pada saat hari valentine. Bahkan karena dampak sering menonton film porno, ada pelajar SD yang tega memperkosa temannya. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan kita semua, utamanya para pelaku pendidikan. Jika pada usia SD saja sudah kebablasan begini, bagaimana jika mereka memasuki usia yang lebih tua?
Dalam konteks psikologi perkembangan, anak usia SD (6-12 tahun), mereka mengalami perkembangan fisik, sosial, emosi, dan kecerdasan. Perkembangan fisik ditandai dengan pertumbuhan fisiknya telah mengalami kematangan, telah mampu mengontrol tubuh dan keseimbangannya, telah berkembang koordinasi tangan dan mata untuk melakukan sesuatu hal seperti menulis.
Perkembangan sosial ditandai dengan anak telah dapat menunjukkan keakuannya tentang jenis kelaminnya, telah mulai berkompetisi dengan teman sebaya, mempunyai sahabat, telah mampu berbagi, dan sedikit demi sedikit mulai berperilaku mandiri. Perkembangan emosi ditandai dengan sudah dapat mengekspresikan reaksi terhadap orang lain, mulai mampu mengontrol emosi, dan mulai mampu berpisah dengan orang tua terutama kelas tiga sekolah dasar.
Sedangkan perkembangan kecerdasan ditandai dengan mampu mengelompokkan objek, sudah mulai berminat terhadap angka dan tulisan, meningkatnya perbendaharaan kata, senang berbicara, memahami sebab akibat, dan berkembangnya pemahaman terhadap ruang dan waktu.
Krisis karakter yang saat ini menimpa pelajar SD merupakan tanggung jawab semua pihak, mulai dari keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat. Para orang tua wajib introspeksi bagaimana perannya dalam mendidik dan mengawasi anak-anak di rumah. Diakui atau tidak, ketika orang tua memberikan gawai kepada anaknya yang masih kecil akan sangat beresiko disalahgunakan. Anak dapat mengakses gambar atau video yang belum cocok dilihat olehnya.
Beberapa waktu yang lalu pernah viral foto seorang anak kecil yang sedang melihat video porno di HP yang diduga milik orang tuanya, dan ibunya anteng saja, tidak mengingatkannya. Mungkin saja anak tersebut belum tahu adegan, maksud, atau tujuan dari video tersebut, tapi sangat berbahaya dan tidak etis.
Gawai menjadi pisau bermata dua, di satu sisi dapat bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan, dan di sisi lain berbahaya terhadap perkembangan anak. Oleh karena itu, disamping perlu ketegasan aturan orang tua terhadap anak dalam penggunaan gawai, juga ketika anak menggunakan gawai, perlu didampingi oleh orang tua. Bahkan orang tua dapat mengantisipasinya dengan mengatur akses youtube bagi anak pada menu settingnya agar tidak memunculkan video-video yang tidak senonoh atau yang menunjukkan tindak kekerasan.
Sekolah sudah ada yang menerapkan pelarangan siswa membawa gawai ke sekolah, atau gawai mereka sementara "disita" pada saat belajar dan boleh diambil setelah kegiatan belajar selesai. Tapi ada juga guru yang memanfaatkan gawai sebagai salah satu sumber belajar bagi siswa. Tujuannya, agar siswa melek IT. Hal tersebut pada dasarnya boleh-boleh saja sepanjang penggunaannya untuk hal yang positif.
Pemerintah telah mengampanyekan penggunaan internet sehat di sekolah-sekolah. Selain itu, saat ini pun tengah gencar-gencarnya mengampanyekan program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) Â di sekolah-sekolah. Tujuannya agar para pelajar memiliki karakter positif dan mampu menjadi warga negara yang baik, walau dalam pelaksanaannya dihadapkan pada berbagai tantangan, diantaranya adalah kurangnya keteladanan dari pemimpin, politisi, tokoh, bahkan termasuk praktisi pendidikan itu sendiri, sehingga PPK berjalan kurang efektif. Apalagi anak SD adalah seorang peniru ulung perkataan, sikap, dan perbuatan guru-gurunya. Dia akan cepat meniru hal apapun, baik positif maupun hal yang negatif yang dia lihat, dengar, dan alami.
Peran serta masyarakat juga sangat diperlukan. Saat ini tidak dapat dipungkiri, selain hal-hal yang baik, banyak juga hal yang kurang baik muncul di masyarakat. Seperti tawuran, persekusi, penyalahgunaan narkoba, ketidakdisiplinan dalam berlalu lintas, dan sebagainya. Belum lagi kata-kata kotor yang dapat dengan mudah didengar oleh mereka. Oleh karena itu, tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, LSM pemerhati anak, aparat keamanan perlu bekerjasama dan bersinergi dalam mengatasi dan mengantisipasi munculnya kenakalan pelajar termasuk pelajar SD.
Dalam mendidik pelajar SD, pendekatan psikologis, edukatif-humanistik, serta keagamaan perlu diperkuat. Mereka adalah generasi penerus bangsa. Masa depan mereka masih panjang. Jangan sampai masa depan mereka terputus karena kurang mendapatkan pembinaan. Ketika terlibat sebuah kasus kekerasan pun, mereka ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) khusus anak. Di dalam LP, mereka dibina tanpa kehilangan hak mereka mendapatkan pendidikan.
Ada kalanya ketika masa kanak-kanak, seorang anak nakal, bahkan terlibat tindak kekerasan, tetapi seiring dengan perjalanan waktu, ditambah pembinaan yang diterimanya, dia berubah menjadi pribadi yang berbudi peketi luhur dan sukses dalam kehidupannya. Wallahu a'lam.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H