Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menulis, Muruah Kaum Intelektual

24 Maret 2018   11:57 Diperbarui: 24 Maret 2018   12:17 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh:

IDRIS APANDI

(Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan/LPMP Jawa Barat)

Dalam dunia ilmu pengetahuan, nama-nama filsuf Yunani Kuno seperti Thales, Plato, Socrates, dan  Aristoteles, sudah sangat akrab di kalangan kaum intelektual. Pada zaman modern nama-nama seperti Descartes, Hegel, Emmanuel Kant, John Locke, pemikiran-pemikirannya banyak menjadi rujukan para ilmuan.  Begitu pun dalam dalam dunia Islam, nama-nama ilmuan Islam seperi Al Ghazali, Al Kindi, Al Farabi, Ibu Sina, Al Razi, Ibu Miskawiah, dan sebagainya dijadikan referensi bukan hanya bagi umat Islam saja, tetapi bagi kalangan ilmuan di seluruh dunia.

Para filosof dan ilmuan tersebut menyebarkan ide dan gagasannya melalui kitab-kitab dan buku-buku yang menyebar ke seluruh dunia, diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, dicetak ribuan sampai jutaan eksemplar. Mereka sudah tiada, tetapi pemikiran-pemikirannya tetap ada dan dijadikan rujukan. Adam Smith yang dikenal dengan pemikiran-pemikiran ekonomi liberalnya tetap menjadi rujukan bagi Amerika Serikat dan negara-negara eropa. Karl Marx melalui bukunya yang berjudul Das Capital menjadi sumber inspirasi bagi menyebarnya ideologi sosialis-komunis di dunia. Tokoh NAZI Jerman Adolf Hittler juga meninggalkan warisan pemikiran dalam buku Mein Kampf.

Indonesia juga tidak kalah hebat. Para pejuang pergerakan kemerdekaan dan para pendiri negara dikenal sebagai kalangan intelektual yang disamping cerdas, kritis, juga penulis handal. Soekarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim, Hasim Asyari, Douwes Dekker (Multatuli), Soetomo, Wahidin Sudiro Husodo, hingga Tan Malaka menyuarakan dan menggelorakan perlawanan terhadap penjajah melalui tulisan-tulisannya, walau mereka secara pemikiran berbeda madhab atau prinsip, mulai dari yang berpaham nasionalis, Islam, bahkan sosialis-komunis.

Dalam perkembangannya, Indonesia memiliki ulama besar seperti Buya HAMKA yang menulis Tafsir Al Azhar walau sedang berada di dalam penjara karena dianggap merintangi kekuasaan presiden Soekarno. Ada pula sosok sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang pada masa orde baru dijadikan tahanan politik karena dianggap bagian dari anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang berafilisasi kepada PKI tulisan-tulisannya telah banyak tersebar di seluruh dunia dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

Warga sunda pun memiliki tokoh-tokoh sastrawan dan penulis seperti Haji Hasan Mustofa, Wahyu Wibisana, Ajip Rosidi, dan berbagai nama penulis sunda lainnya. Mereka sangat berjasa dalam menyebarkan pemikiran-pemikiran pendidikan, sosial, seni, dan budaya sunda hingga bisa dikenal bukan hanya di tingkal lokal dan nasional, tetapi juga internasional. Ajip Rosidi yang dikenal sebagai penulis yang tidak memiliki ijazah SD, SMP, SMA, hingga PT, tetapi karya-karyanya sangat luar biasa. Beliau menjadi dosen dan pembicara tamu di Perguruan Tinggi baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Itulah gambaran keutamaan dan kemuliaan seorang penulis. Gagasannya dibaca dan menginspirasi para pembacanya, namanya dikenal dan dihormati, bahkan diabadikan menjadi nama sebuah jalan atau sebuah tempat. Karya-karyanya terus dibaca dan dicetak ulang sebagai warisan pengetahuan bagi generasi berikutnya.

Saya sendiri sebagai penulis pemula dan merasa belum ada apa-apanya dibandingkan dengan meraka suka "iri" terhadap nama-nama besar mereka. Dalam hati kecil saya bertanya, apakah bisa seperti mereka? tentu saya saya berharap demikian. Walau saya tahu dan sadar bukan hal yang mudah.

Para penulis hebat itu menghasilkan tulisan yang bernas dan berkualitas sebagai gambaran dalam dan luasnya pengetahuan yang dimilikinya. Mereka pun menulis dengan hati. Diawali dengan niat mulia untuk menyebarkan ilmu pengetahuan, dan memiliki dedikasi yang tinggi terhadap profesinya tersebut. Setiap kata yang dituliskan menggambarkan energi menulisnya yang seolah tidak ada habisnya.

Tidak ada gelar akademik yang berjejer sebelum dan setelah nama mereka, tetapi mereka telah membuktikan kualitas dan kapasitas dirinya melalui tulisan-tulisannya yang tersebar baik dalam bentuk buku maupun di koran dan majalah. Mereka dihormati dan dimuliakan bukan karena berjejernya gelar akademik, tetapi karena karya-karyanya. Setiap tahun banyak sarjana lahir dari rahim Perguruan Tinggi, tetapi berapa persen selanjutnya menyebarkan ilmu melalui tulisan-tulisannya? Mungkin karya tulis terakhir yang ditulisnya adalah tugas akhir kuliahnya, itu pun dipenuhi sebagai persyaratan formal untuk lulus. Dan setelah itu, tidak ada karya tulis lagi yang dihasilkannya.

Kaum intelektual sebagai kaum cerdik pandai atau disebut juga cendekiawan sudah selayaknya dan sepatutnya terus berpikir, meneliti, menulis, menyebarkan ilmu pengetahuan untuk membangun peradaban manusia dan membangun kehidupan yang lebih baik. menulis adalah muruah (kehormatan) kaum intelektual. Menulislah sebanyak-banyaknya gagasan yang bermanfaat sebelum namanya ditulis di atas batu nisan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun