Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membelajarkan Pancasila dengan Sukacita

20 Juli 2017   11:49 Diperbarui: 20 Juli 2017   11:51 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

MEMBELAJARKAN PANCASILA DENGAN SUKA CITA

Oleh:

IDRIS APANDI

(Mahasiswa Program Doktor Pendidikan Kewarganegaraan UPI)

Salah satu upaya untuk melawan masuknya komunisme dan radikalisme ke Indonesia adalah dengan memperkuat ideologi Pancasila khususnya di kalangan pelajar dan mahasiswa. Bertepatan dengan momentum peringatan hari lahir Pancasila tanggal 1 Juni 2017, melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 presiden Joko Widodo membentuk Unit Kerja Presiden Ideologi Pancasila (UKP-PIP).

Dikutip dari Perpres BAB III mengenai Tugas dan Fungsi, UKP-PIP bertugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan umum pembinaan ideologi Pancasila dan melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Pada Perpres Bagian Kedua mengenai Fungsi, UKP-PIP menyelenggarakan berbagai fungsi, antara lain merumuskan arah kebijakan umum pembinaan ideologi Pancasila dan menyusun garis-garis besar haluan ideologi Pancasila dan roadmap pembinaan ideologi Pancasila.

UKP-PIP juga berfungsi sebagai pemantau, mengevaluasi, dan mengusulkan langkah strategi untuk memperlancar pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila serta melaksanakan kerja sama dan hubungan antar-lembaga dalam pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila. (Kompas, 02/06/2017).

Ketua UKP-PIP Yudi Latif menyatakan bahwa unit kerja yang dipimpinnya berbeda dengan BP7 yang lebih berorientasi kepada penataran-penataran.  Cakupan UKP-PIP lebih luas dengan struktur yang lebih ramping dan bisa bekerjasama dengan lembaga terkait seperti MPR dalam sosialisasi empat pilar.

Para masa orde baru pernah dibentuk Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7).  Lembaga ini dibentuk untuk menjaga ideologi Pancasila melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Namun, lembaga itu dibubarkan pada 1998 melalui surat TAP MPR No XVIII/MPR/1998.

Pasca dibubarkannya BP7 dan pada kurikulum 2004 pada jenjang pendidikan dasar dan menengah pendidikan Pancasila tidak lagi mendapatkan porsi secara khusus, dimana Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) diubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), maka Pancasila semakin tenggelam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  

Pancasila menjadi asing di tengah warga bangsanya sendiri. Bahkan bisa dikatakan bisa dikatakan hampir dilupakan. Pancasila hanya menjadi hiasan dinding. Jangankan memahami dan mengamalkannya, uraian sila-sila Pancasila saja sudah banyak yang lupa. Parahnya lagi, Pancasila jadi bahan olok-olok, dan ironisnya lagi, orang yang mengolok-olok Pancasila justru diangkat jadi duta Pancasila.

Pada kurikulum 2013, nama PKn kembali diubah menjadi PPKn. Tujuannya untuk menghadirkan dan mengingatkan kembali bangsa Indonesia bahwa Indonesia memiliki ideologi yang khas, satu-satunya di dunia, yaitu Pancasila. Melalui program penumbuhan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), sila-sila Pancasila perlu diintegrasikan dalam lima nilai yang saat ini dikembangkan, yaitu; (1) religius, (2) nasionalis, (3) integritas, (4) mandiri, dan (5) gotong royong.

Dalam konteks pembelajaran, selama ini pendidikan Pancasila diposisikan sebagai hal yang sakral dan keramat. Pembelajarannya diisi dengan doktrin, nasihat, dan petuah untuk membentuk manusia Indonesia yang Pancasilais. Oleh karena itu, tidak heran jika pembelajarannya membosankan, menjemukan, dan kurang menarik. Dalam sebuah penelitian, saya pernah bertanya kepada seorang siswa, mata pelajaran yang paling tidak disukai? Dia menjawab PPKn, alasannya karena dsamping karena cara guru mengajarnya membosankan, dia pun terbebani karena harus menghapal pasal-pasal UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Berdasarkan kepada hal tersebut, maka paradigma pembelajaran PPKn perlu diubah dari membosankan menjadi menyenangkan. Untuk mewujudkan hal tersebut, tentunya diperlukan guru yang kreatif dan inovatif. Pembelajaran Pancasila yang menyenangkan dapat dilakukan melalui berbagai strategi atau metode. Misalnya melalui nyanyian, pantun, dongeng, bermain peran, menggambar, komik, kunjungan ke lingkungan masyarakat, dan sebagainya.

Secara akademik, pembelajaran Pancasila dibebankan kepada guru PPKn, tetapi secara substantif, semua guru memiliki tanggung jawab untuk membelajarkan Pancasila kepada semua siswanya sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya, karena Pancasila adalah ideologi bangsa yang harus dibina dan dilestarikan oleh semua warga bangsa. Mari belajarkan Pancasila penuh suka cita agar Pancasila dalam membumi dan terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun