Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bullying dan Pendidikan Minus Empati

20 Juli 2017   07:47 Diperbarui: 20 Juli 2017   08:15 1570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh:

IDRIS APANDI

(Praktisi Pendidikan)

Kasus bully (perundungan) di lingkungan pendidikan masih saja terjadi. Seorang calon mahasiswa baru yang berkebutuhan khusus di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta dibully (walau hanya sekedar bercanda), sembilan orang siswa SMP membully temannya di Thamrin City Jakarta. Akibatnya mereka dikembalikan kepada orang tua (bahasa halus dikeluarkan dari sekolah) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP)-nya dicabut.

Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perlindungan anak sebenarnya telah sering melakukan kampanye anti bully di sekolah, tetapi hal ini masih saja terjadi. Masih perlu proses panjang mendidik dan menyadarkan pelajar, mahasiswa, dan warga masyarakat terhadap bahaya bully.

Di tengah-tengah masyarakat, bully kadang dianggap sebagai candaan biasa. Acara lawakan kalau tanpa membully temannya seperti sayur tanpa garam. Objek bully biasanya adalah kekurangan fisik, memberi label-label negatif terhadap korban, atau mengucapkan kata-kata yang tidak pantas.

Dampak tayangan media pun sangat berpengaruh. Di media sosial dan media online dengan mudah ditemui kalimat-kalimat atau tayangan yang isinya tentang kekerasan. Tayangan kekerasan di sinetron utamanya yang bertema remaja pun seolah memberi contoh perilaku kekerasan.

Tindakan keekerasan sebenarnya bukan hanya dilakukan di kalangan anak-anak dan remaja saja, tetapi juga terjadi di kalangan orang dewasa. Orang dewasa saat ini begitu banyak yang mudah marah, mudah terpancing emosi, mudah berbuat anarkis ketika ada hal yang menyinggung perasaannya.

Kasus bully di sekolah atau kampus biasanya terjadi secara turun temurun. Para siswa atau mahasiswa baru bukan dianggap sebagai keluarga baru yang harus disambut dengan riang gembira, tetapi dianggap sebagai sosok yang lemah dan menjadi sasaran empuk untuk dibully.Segelintir kalangan senior seolah ingin memperlihatkan eksistensi dan pengaruhnya agar disegani atau ditakuti oleh junior. Aksi bully juga dijadikan semacam aksi "balas dendam" senior, karena mereka pun, ketika pertama kali masuk ke sekolah atau kampus dibullyoleh para seniornya.

Dalam wawancara di sebuah stasiun TV, seorang psikolog mengatakan bahwa kasus bully di sekolah selain sebabkan oleh faktor "warisan", juga karena rendahnya empati terhadap orang lain. Empati adalah mampu menempatkan perasaan kita terhadap perasaan atau kondisi orang lain. Orang yang baik lemah secara fisik maupun ekonomi seolah layak untuk direndahkan, seolah tidak memiliki harga diri, harus tunduk kepada hegemoni orang atau kelompok yang berkuasa.

Dalam lingkungan yang minus empati, orang yang terkena musibah atau memiliki kekurangan bukannya ditolong atau dibesarkan mentalnya, tetapi diolok-olok, hanya sekedar dilihat, dan diabaikan. Hal ini tentunya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Semakin tergerusnya sifat empati, selain dampak dari tayangan media, juga dampak globalisasi yang mendorong manusia semakin individualistis.

Sekolah atau kampus adalah sarana untuk mendidik, memanusiakan manusia, mencetak generasi bangsa yang bukan hanya cerdas secara intelektual, juga memiliki akhlak yang mulia. Akhlak yang mulia tercermin dari sikap, perkataan, dan perbuatannya yang baik dan tidak menyinggung perasaan orang lain.

Sekolah, kampus, dan masyarakat secara umum harus terus didorong untuk mengampanyekan anti tindakan kekerasan atau bully.Tindakan kekerasan bukan hanya dilakukan secara fisik seperti memukul dan pelecehan seksual, tetapi juga dilakukan secara verbal seperti menghina dan memberi label-label negatif, dan secara psikis seperti pengabaian atau tidak dianggap keberadaannya.

Sanksi yang diberikan kepada pelaku bullying adalah hal yang wajar diberikan. Berani berbuat berani bertanggung jawab. Walau demikian, bukan berarti harus mematikan masa depannya. Mereka tetap perlu dibina agar dapat memperbaiki dirinya, karena perjalanan hidup mereka masih jauh.

Pelaku bullying di sekolah atau kampus mungkin saja dipengaruhi oleh kondisi keluarga yang juga terbiasa melakukan bully.Kadang orang tua secara sadar atau tidak sadar mengucapkan kata-kata kasar bahkan tindakan fisik dengan dalih untuk mendidik atau mendisiplinkan anaknya.

Untuk mengantisipasi terjadinya tindakan kekerasan kekerasan di sekolah, maka disosialisasikanlah sekolah ramah anak. Hal tersebut pada dasarnya baik, tetapi yang paling penting adalah edukasi terhadap pentingnya pendidikan yang memanusiakan dan lingkungan yang bebas dari kekerasan. Untuk menumbuhkan sikap empati, para pendidik pun harus mendidik dengan empati. Mari sama-sama tumbuhkan sifat empati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun