Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menimbang Efektivitas Sekolah Lima Hari

12 Juni 2017   02:37 Diperbarui: 12 Juni 2017   20:50 2632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lagi, ketika siswa pulang ke rumah pada sore hari, dia memilik keterbatasan untuk bersosialisasi dengan tetangga atau teman sebaya di lingkungan tempat tinggal. Jika demikian, bisa saja mereka tidak akrab bahkan saling tidak mengenal sama sekali.

Alangkah ironis, jika sesama tetangga tidak saling mengenal. Hak-hak anak untuk bersosialiasi, berinteraksi, dan berkomunikasi dengan tetangga atau teman bermainnya tidak terpenuhi. Dengan kata lain, telah terjadi pelanggaran hak-ahak anak. Mereka mungkin saja pintar secara akademik, tetapi sikap bermasyarakatnya kurang terasah. Akibatnya, bisa saja dia menjadi yang tertutup atau bahkan sombong karena kurang dapat bergaul dengan tetangganya, sedangkan ketika ada kesulitan, tetangga adalah pihak pertama yang akan memberikan bantuan.

Di daerah perkotaan, mungkin saja setelah sekolah, seorang siswa tidak mengaji di madrasah. Mereka lebih banyak berkeliaran di mall yang kadang berujung tawuran, sedangkan di kampung, setelah sekolah dilanjut dengan mengaji di majelis taklim atau madrasah. Ketika ada kebijakan sekolah lima hari dari pagi sampai sore, akan banyak madrasah atau majelis taklim yang terancam “gulung tikar” karena kehilangan santrinya.

Apakah pendidikan agama bisa diberikan di sekolah? Pada dasarnya bisa saja. Hanya masalahnya pada efektivitas. Berapa guru agama atau ustadz yang harus disediakan oleh sekolah untuk memberikan pendidikan agama kepada para siswanya? Selanjutnya, sekolah harus berpikir untuk membayar honornya, sedangkan dana BOS sudah ada peruntukannya dan kalau memungut takut disebut pungli.

Berdasarkan kepada uraian tersebut di atas, tampaknya kebijakan lima hari sekolah perlu dikaji ulang. Berilah otonomi kepada sekolah untuk memutuskan apakah melaksanakan lima hari sekolah atau tidak? Karena kondisinya beragam. Jangan dipaksakan karena hasilnya pun kurang baik kalau sekolah tidak siap melaksanakannya.

Oleh:

IDRIS APANDI

(Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun