Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi membuat kebijakan bahwa mulai tahun ajaran 2017/2018 akan memberlakukan sekolah lima hari dengan sistem full day school (FDS). Adapun yang menjadi dasar kebijakan tersebut adalah, pertama, sesuai dengan jam kerja Aparatur Sipil Negara (ASN), di mana seorang ASN harus bekerja selama delapan jam per hari, di mana dengan lima hari kerja, maka sudah terpenuhi 40 jam kerja.
Dengan kerja 40 jam yang terpenuhi selama lima hari kerja, pada hari Sabtu guru dapat beristirahat atau melakukan aktivitas lainnya. Dan kedua, memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkumpul dan beraktivitas bersama keluarga di hari libur. Kebijakan tersebut sepintas memang terlihat akan meringankan tugas guru dan siswa serta mengurangi beban operasional sekolah, tetapi kalau jika dikaji lebih jauh, maka akan menimbulkan masalah tersendiri, baik bagi guru, siswa, maupun sekolah secara keseluruhan.
Bagi guru, harus mengajar delapan jam per hari bukanlah pekerjaan ringan. Mereka harus berhadapan dengan sekian banyak siswa di sekian banyak kelas dalam sehari. Terbayang stamina mereka akan terkuras mengajar dari pagi sampai dengan sore. Guru bukan berhadapan dengan benda mati atau mesin yang sewaktu-waktu bisa didiamkan, kalau capek bisa dimatikan, atau ditinggalkan begitu saja, tetapi berhadapan dengan benda hidup, yaitu siswa, manusia yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka tetap butuh bimbingan guru ketika belajar.
Selain stamina guru yang terkuras, stamina siswa pun akan terkuras serta berisiko mengalami kebosanan dan kejenuhan. Akibatnya, mereka mengantuk dan kurang konsentrasi ketika belajar. Hal tersebut mengakibatkan kegiatan pembelajaran kurang efektif.
Sekolah lima hari kerja jangan hanya sekadar memindah-mindahkan jam pelajaran yang asalnya enam hari menjadi lima hari karena hanya akan menjadi masalah baru. Belum lagi penempatan jadwal yang bisa saja bentrok antarguru. Dan tidak semua guru berstatus ASN, banyak juga guru yang berstatus honorer dan mengajar di beberapa sekolah.
Kondisi daerah dan sekolah sekolah yang beragam pun perlu menjadi bahan pertimbangan. Bagi sekolah yang guru dan sarana prasarananya mencukupi, mungkin saja dapat melaksanakan FDS dengan baik, tetapi bagi sekolah yang kondisi sarprasnya terbatas, hal ini dapat menjadi persoalan. Bahkan saat ini masih ada sekolah yang memberlakukan KBM dua shift, yaitu pagi dan siang karena keterbatasan ruang kelas.
Urusan konsumsi pun dapat menjadi persoalan. Adanya kewajiban harus KBM selama delapan jam sehari menyebabkan baik guru maupun siswa harus makan siang di sekolah. Hal ini dapat menjadi masalah karena tidak semua siswa dibekali uang jajan yang cukup oleh orang tuanya atau tidak semua siswa dibekali makanan dari rumahnya masing-masing. Dengan kata lain, konsekuensi dari FDS adalah adanya biaya tambahan baik bagi guru maupun bagi siswa. Biaya operasional sekolah pun akan meningkat karena tentunya pemakaian listrik dan air pun akan meningkat.
Kondisi daerah desa dan kota pun perlu menjadi pertimbangan. Bagi masyarakat perkotaan, FDS sangat membantu orang tua karena seharian anak beraktivitas di sekolah. Peran sekolah di samping sebagai tempat belajar, juga seperti tempat penitipan anak karena orang tua sibuk bekerja. Mereka baru bisa bertemu hanya pada saat sore hari. Sedangkan di desa, setelah seorang anak belajar di sekolah dari pagi sampai dengan siang, lalu pada siang sampai dengan sore hari mereka membantu orang tua atau mengaji di madrasah. Mereka pun dapat bermain atau bersosialisasi dengan teman-teman bermainnya di kampung.
Kaitannya dengan akses angkutan, di daerah perkotaan tidak ada masalah walau sekolah sampai dengan sore hari karena angkutan mudah dijumpai, tetapi bagi yang sekolah di desa atau daerah terpencil, angkutan pada sore sudah sulit untuk dijumpai. Hal ini pun akan berdampak terhadap rasa aman dan nyaman para siswa. Walau siswa banyak membawa sepeda motor, secara normatif itu menyalahi aturan karena mereka belum berumur 17 tahun dan belum memiliki SIM. Selain itu, rawan kecelakaan dan rawan tindakan kejahatan.
Adapun pada hari Sabtu di mana diharapkan antara orang tua siswa dapat berkumpul, pada kenyataannya tidak demikian, karena banyak orang tua yang bekerja pada hari Sabtu alias tidak libur atau lembur. Oleh karena itu, percuma saja kalau pada hari Sabtu, anaknya libur sedangkan orang tuanya tidak libur.
Dari konteks psikologis, aktivitas anak selama seharian akan menyebabkan tubuh mengalami kelelahan, menyebabkan komunikasi antara anak dengan orang tua kurang optimal. Meski mereka bertemu pada waktu malam dengan orang tuanya, tetapi dalam kondisi badan yang sudah loyo, tentunya kualitas komunikasinya menjadi kurang berkualitas.
Belum lagi, ketika siswa pulang ke rumah pada sore hari, dia memilik keterbatasan untuk bersosialisasi dengan tetangga atau teman sebaya di lingkungan tempat tinggal. Jika demikian, bisa saja mereka tidak akrab bahkan saling tidak mengenal sama sekali.
Alangkah ironis, jika sesama tetangga tidak saling mengenal. Hak-hak anak untuk bersosialiasi, berinteraksi, dan berkomunikasi dengan tetangga atau teman bermainnya tidak terpenuhi. Dengan kata lain, telah terjadi pelanggaran hak-ahak anak. Mereka mungkin saja pintar secara akademik, tetapi sikap bermasyarakatnya kurang terasah. Akibatnya, bisa saja dia menjadi yang tertutup atau bahkan sombong karena kurang dapat bergaul dengan tetangganya, sedangkan ketika ada kesulitan, tetangga adalah pihak pertama yang akan memberikan bantuan.
Di daerah perkotaan, mungkin saja setelah sekolah, seorang siswa tidak mengaji di madrasah. Mereka lebih banyak berkeliaran di mall yang kadang berujung tawuran, sedangkan di kampung, setelah sekolah dilanjut dengan mengaji di majelis taklim atau madrasah. Ketika ada kebijakan sekolah lima hari dari pagi sampai sore, akan banyak madrasah atau majelis taklim yang terancam “gulung tikar” karena kehilangan santrinya.
Apakah pendidikan agama bisa diberikan di sekolah? Pada dasarnya bisa saja. Hanya masalahnya pada efektivitas. Berapa guru agama atau ustadz yang harus disediakan oleh sekolah untuk memberikan pendidikan agama kepada para siswanya? Selanjutnya, sekolah harus berpikir untuk membayar honornya, sedangkan dana BOS sudah ada peruntukannya dan kalau memungut takut disebut pungli.
Berdasarkan kepada uraian tersebut di atas, tampaknya kebijakan lima hari sekolah perlu dikaji ulang. Berilah otonomi kepada sekolah untuk memutuskan apakah melaksanakan lima hari sekolah atau tidak? Karena kondisinya beragam. Jangan dipaksakan karena hasilnya pun kurang baik kalau sekolah tidak siap melaksanakannya.
Oleh:
IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI