Pemerintah pun merangsang guru untuk menulis dengan menyelengarakan berbagai lomba menulis bagi guru dengan tawaran hadiah yang menarik. Perusahaan swasta ada yang menyalurkan dana CSR-nya dengan menyelenggarakan berbagai pelatihan bagi guru, termasuk pelatihan menulis. Media massa cetak pun tidak ketinggalan menyeponsori guru dan siswa menulis, mulai dari menyediakan kolom bagi guru dan siswa untuk menulis hingga menyelengarakan lomba-lomba menulis.
Dengan kata lain, geliat guru menulis sudah kian terasa, tetapi hal ini bisa menjadi padam ketika wacana kewajiban menulis KTI bagi guru sebagai salah satu syarat naik pangkat dihapuskan. Hal ini tentunya dapat berdampak kurang bagus terhadap guru-guru yang tengah semangat menulis, dimana mereka menulis disamping untuk aktualisasi dan eksistensi diri, juga berharap dapat digunakan untuk kenaikan pangkat.
Oleh karena itu, wacana tersebut harus benar-benar dipertimbangkan plus minusnya, karena akan berdampak terhadap guru. Menurut Saya, kewajiban menulis KTI bagi guru sebaiknya dipertahankan karena akan memacu guru untuk membaca, meneliti, dan menulis. Apalagi sejalan dengan kebijakan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) yang tahun lalu dikenal dengan istilah guru pembelajar.
Hal yang perlu diperbaiki adalah tata kelolanya. Para guru didorong untuk menulis KTI secara jujur, menghindari plagiarisme, dan proses penilaiannya pun lebih bijak, jangan terlalu kaku agar tidak menyebabkan kekecewaan bagi guru, jangan pula terlalu longgar untuk tetap menjaga kualitas KTI-nya.
Mari jadikan momentum hari kebangkitan nasional untuk menyebarkan semangat literasi, utamanya di kalangan guru agar mereka bisa menjadi pelopor, pionir, dan penggerakan literasi di sekolahnya masing-masing.