Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebangkitan Nasional, Momen Kebangkitan Literasi Guru

22 Mei 2017   21:07 Diperbarui: 22 Mei 2017   21:20 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

KEBANGKITAN NASIONAL, MOMEN KEBANGKITAN LITERASI GURU

Oleh:

IDRIS APANDI

(Widyaiswara LPMP Jawa Barat, Ketua Komunitas Pegiat Literasi Jabar/KPLJ).

Bertepatan dengan peringatan Hari Buku Nasional tanggal 17 Mei 2017, presiden Joko Widodo mencanangkan Gerakan Mengirim Buku secara gratis tiap tanggal 17 melalui PT POS, dan khusus bulan Mei pada tanggal 20 karena bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Tentunya hal ini harus diatur juga ketentuannya secara teknis.

Walau belum dapat menyelesaikan masalah perbukuan nasional secara menyeluruh, tetapi kebijakan tersebut dapat dilihat sebagai bentuk keperpihakan pemerintah terhadap pentingnya budaya membaca. Mahalnya ongkos kirim sebenarnya hanya satu dari beberapa masalah yang dihadapi oleh dunia perbukuan, seperti masih dibebankannya pajak terhadap penerbit dan penulis buku, belum adanya subsidi atau bantuan bagi penulis dalam menulis buku, mahalnya harga buku, dan masih rendahnya penghargaan kepada penulis buku.

Sebagaimana diketahui bahwa pemerintah sejak tahun 2015 menggiatkan gerakan literasi, karena menyadari realitas bahwa minat baca masyarakat masih rendah. Presiden Joko Widodo mengundang pegiat-pegiat literasi ke istana negara sebagai bentuk penghargaan terhadap kiprah mereka dalam menggerakan literasi di masyarakat.

Jika kita kaitkan antara peringatan hari kebangkitan nasional dengan gerakan literasi, menurut Saya sangat relevan, karena kebangkitan nasional 20 Mei 1908 digerakkan oleh kalangan terdidik, intelektual, dan tentunya literat seperti Dr. Soetomo dan Dr. Wahidin Sudiro Husodo yang mendirikan organisasi Budi Oetomo. Organisasi tersebut menjadi wadah bagi para pejuang kemerdekaan untuk menyebarkan semangat melepaskan diri dari penjajahan Belanda melalui jalan-jalan diplomatis.

Dalam konteks saat ini, bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan belum meratanya pembangunan sumber daya manusia. Kualitas SDM-SDM di daerah perkotaan relatif jauh lebih baik dibandingkan dengan daerah pedesaan. Oleh karena itu, masih terjadi kesenjangan antara kota dan desa. Menyadari hal tersebut, pemerintah terus menambah anggaran pembangunan desa dengan harapan kesejahteraannya pun meningkat termasuk dalam hal kualitas pendidikan.

Peringatan hari kebangkitan nasional, menurut Saya sangat tepat sebagai momentum kebangkitan literasi nasional, karena disamping faktor sejarah perjuangan kemerdekaan, secara politis, presiden Joko Widodo telah menerapkan kebijakan mengirim buku gratis setiap tanggal 17 setiap bulan, dan melibatkan para pegiat literasi dalam kegiatan-kegiatan literasi. Dan dalam konteks kebijakan, Kemdikbud telah menekankan bahwa literasi diintegrasikan dalam pembelajaran seiring dengan implementasi kurikulum 2013.

Sekolah-sekolah pun saat ini telah banyak yang melaksanakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS), banyak guru tengah semangat menulis, baik menulis buku, best practices, atau artikel. Hingar bingarnya sudah semakin terlihat di berbagai daerah melalui kegiatan-kegiatan seminar, diklat, atau workshop menulis Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang diselenggarakan oleh berbagai organisasi profesi guru.

Pemerintah pun merangsang guru untuk menulis dengan menyelengarakan berbagai lomba menulis bagi guru dengan tawaran hadiah yang menarik. Perusahaan swasta ada yang menyalurkan dana CSR-nya dengan menyelenggarakan berbagai pelatihan bagi guru, termasuk pelatihan menulis. Media massa cetak pun tidak ketinggalan menyeponsori guru dan siswa menulis, mulai dari menyediakan kolom bagi guru dan siswa untuk menulis hingga menyelengarakan lomba-lomba menulis.

Dengan kata lain, geliat guru menulis sudah kian terasa, tetapi hal ini bisa menjadi padam ketika wacana kewajiban menulis KTI bagi guru sebagai salah satu syarat naik pangkat dihapuskan. Hal ini tentunya dapat berdampak kurang bagus terhadap guru-guru yang tengah semangat menulis, dimana mereka menulis disamping untuk aktualisasi dan eksistensi diri, juga berharap dapat digunakan untuk kenaikan pangkat.

Oleh karena itu, wacana tersebut harus benar-benar dipertimbangkan plus minusnya, karena akan berdampak terhadap guru. Menurut Saya, kewajiban menulis KTI bagi guru sebaiknya dipertahankan karena akan memacu guru untuk membaca, meneliti, dan menulis. Apalagi sejalan dengan kebijakan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) yang tahun lalu dikenal dengan istilah guru pembelajar.

Hal yang perlu diperbaiki adalah tata kelolanya. Para guru didorong untuk menulis KTI secara jujur, menghindari plagiarisme, dan proses penilaiannya pun lebih bijak, jangan terlalu kaku agar tidak menyebabkan kekecewaan bagi guru, jangan pula terlalu longgar untuk tetap menjaga kualitas KTI-nya.

Mari jadikan momentum hari kebangkitan nasional untuk menyebarkan semangat literasi, utamanya di kalangan guru agar mereka bisa menjadi pelopor, pionir, dan penggerakan literasi di sekolahnya masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun