Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nilai KTI Tenaga Fungsional dalam Bayang-bayang Hegemoni Penilai

12 Mei 2017   08:29 Diperbarui: 12 Mei 2017   17:07 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Alasannya mungkin saja karya itu hasil copas, plagiat, bukan hasil karyanya, dan sederet alasan lainnya. Adalah benar kasus tersebut ada, tetapi seolah digeneralisasi. Kecurigaan pemerintah dan penilai terlalu tinggi kepada orang-orang yang benar-benar menulis KTI-nya sendiri. Akibatnya, semua harus serba menggunakan surat-surat, walau surat itu, sebenarnya bisa juga manipulasi, sehingga ada seloroh, di Indonesia, boleh bohong asal tertib, boleh melanggar asal berjamaah, dan ungkapan ironis lainnya.

Sebuah buku yang notabene sudah ber-ISBN, tercatat di Perpustakaan Nasional RI ditolak oleh penilai dengan alasan buku tersebut diterbitkan oleh penerbit bukan anggota IKAPI yang notabenehanya organisasi swasta yang didominasi oleh penerbit-penerbit besar. Padahal Perpustakan Nasional RI sebagai lembaga pemerintah saja, mau memberikan nomor ISBN bagi buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit bukan anggota IKAPI. Sebegitu hebatkah IKAPI, sehingga buku-buku yang diakui hanya yang diterbitkan oleh penerbit anggota IKAPI?

Belum lagi buku-buku yang dinilai diluar spesialisasi kediklatan penulisnya, padahal karakteristik Widyaiswara itu beragam. Bukan hanya yang berada di lembaga diklat yang sudah jelas tupoksinya, seperti Widyaiswara Pusdiklat Kementerian, Balai Diklat, atau PPPPTK, tetapi ada juga Widyaiswara yang bekerja di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) yang tidak memiliki tupoksi mendiklat guru atau tenaga kependidikan. Dan kadang programnya tergantung kebijakan pemerintah pusat karena perannya sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kemdikbud di daerah yang harus ikut “mengamankan” kebijakan pemerintah pusat di daerah. Karena tupoksi LPMP bukan sebagai lembaga diklat, maka Widyaiswara LPMP kesulitan mendapatkan AK dari unsur utama mendidik, mengajar, dan melatih (dikjartih).

Belum lagi syarat buku harus beredar secara nasional yang dibuktikan dengan Surat Pernyataan dari penerbit bahwa buku beredar secara nasional. Hal ini tidak mudah, jangankan bagi penerbit indieatau self publishing,penerbit mayor pun belum tentu buku-bukunya mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia yang sangat luas.

Dalam hal ini, sebenarnya IKAPI mungkin saja tidak tahu menahu urusan penilaian AK KTI pengembangan profesi WI yang mempersyaratkan penerbitnya harus anggota IKAPI, tetapi pembuat aturan dalam hal ini Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang menjadikanya sebagai syarat. Oleh karena itu , menurut Saya, aturan tersebut harus direvisi karena merugikan Widyaiswara yang menulis buku ber-ISBN tapi penerbitnya bukan anggota IKAPI.

Pedoman Penilaian Angka Kredit Widyaiswara diatur dalam Peraturan Kepala LAN Nomor 26 Tahun 2015. Aturan inilah yang dinilai justru membelenggu dan membatasi Widyaiswara dalam berkarya, berkreasi, dan ada aturan yang bisa jadi multitafsir, seperti kalimat “sistematika penulisan buku dan non buku sesuai dengan ketentuan yang berlaku”, maksudnya aturan yang mana? Sama sekali tidak dijelaskan. Hal inilah yang akan menjebak dan merugikan pengusul karena bisa saja KTI yang diajukannya tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku versi penilai.

Alasan penolakan itu sama sekali tidak menyentuh masalah substansi atau isi tulisannya, tetapi hanya berkutat pada urusan administrratif. Inilai potret dimana urusan administrasi lebih dihargai dibandingkan dengan urusan substansi, yang penting ada bukti fisik, maka lolos, cara mengumpulkannya ada yang melalui cara yang kurang baik.

Kekecewaan guru atau WI yang ditolak KTI-nya bertambah ketika di satu sisi dia begitu susah payah menulis KTI, sementara ada oknum-oknum tertentu bisa naik pangkat dengan cara-cara yang tidak jujur dengan “membeli” KTI. Maka muncullah kasus PAK palsu di beberapa daerah yang menyeret sekian banyak guru dan sejumlah oknum yang turut membantunya. Akibatnya, motivasi mereka untuk naik pangkat menuru karena merasa dipersulit dan merasa diperlakukan tidak adil.

Secara normatif, mungkin penilai dapat mengatakan bahwa dasar penolakan tersebut adalah pedoman penilaian yang telah ditetapkan. Justru kalau meloloskan, mereka melanggar. Jawaban tersebut memang benar, tapi mereka lupa bahwa ada proses dan kerja keras yang diabaikan dari penolakan tersebut. Oleh karena itu, selain disamping menggunakan pedoman tertulis, mereka pun perlu menggunakan hati nurani, menghargai tetesan keringat yang dikeluarkan pengusul ketika menulis KTI. Dan kalau ada yang kurang dipahami atau perlu penjelasan, sebaiknya menghubungi pengusul berkas untuk mendapatkan penjelasan, jangan asal coret atau tolak, karena penilai pun, belum tentu serba tahun tentang substansi KTI yang diajukan atau pernah menulis seperti yang ditulis oleh pengusul.

Wajar saja organisasi profesi guru seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengusulkan kepada pemerintah dihapuskannya kewajiban bagi guru untuk menulis KTI, karena disamping hal tersebut memberatkan, menghambat karir guru, juga justru membuka peluang jual beli KTI dalam proses pengurusan kenaikan pangkat.

Saya sendiri sebenarnya kurang sependapat dengan usulan tersebut, karena kurang mendidik dan memotivasi guru untuk produktif menulis, juga meruntuhkan motivasi sebagian guru yang sedang semangat menulis. Akhirnya yang akan terjadi adalah hilangnya tantangan dalam peningkatan kinerja dan profesionalisme guru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun