Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hakikat Kepemimpinan

22 April 2017   23:13 Diperbarui: 23 April 2017   08:00 6171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Leader (Ilustrasi: entrepreneur.com)

Sudah banyak teori dan referensi yang membahas tentang kepemimpinan. Para calon atau yang telah menjadi pemimpin atau pejabat di sebuah institusi diberikan pendidikan dan latihan kepemimpinan. Tujuannya agar menjadi sosok pemimpin yang memiliki karakter kepemimpinan yang baik seperti profesional, jujur, amanah, adil, mampu mengayomi, peka terhadap aspirasi bawahannya, dan sebagainya.

Pemimpin adalah orang yang terpilih. Tidak semua orang mampu menjadi pemimpin. Ada yang memang memiliki bakat kepemimpinan sejak sekolah, kampus, bahkan di masyarakat, tetapi juga ada yang dibentuk atau dikondisikan menjadi pemimpin. Seorang pemimpin, baik yang memang memiliki bakat sebagai pemimpin maupun dibentuk atau dipersiapkan sebagai pemimpin pada dasarnya sama, yaitu memimpin dan melayani sekumpulan orang dalam sebuah organisasi.

Ibarat sebuah keluarga, pemimpin adalah orang tua bagi anak-anaknya. Setiap anak memiliki karakter yang beragam. Ada yang pendiam, ada yang cerewet, ada yang manut-manut saja, ada yang kritis, ada yang manja, dan ada pula penurut, dan ada yang memerlukan pendekatan khusus supaya turut. Orang tua yang bijak tentunya tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap anak-anaknya. Harus ekstra sabar menghadapi anak-anaknya yang memiliki beragam karakter dan beragam keinginan.

Orang yang paham atau menguasai tentang teori kepemimpinan belum tentu mampu mengimplementasikan teori-teori tersebut, karena ada kalanya antara harapan dan keinginan sering bertolak belakang. Oleh karena itu, seorang pemimpin yang bijak tentunya harus bisa bersikap tidak ingin menang sendiri, tidak mengedepankan pendekatan kekuasaan, tidak kaku, tidak formalistik, tidak bersikap hitam-putih, tetapi mencari jalan tengah dalam mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi.

Pemimpin bukanlah alat pemuas. Tidak setiap keputusan bisa memuaskan semua pihak. Pasti ada saja yang merasa yang tidak puas dan tidak terakomodir. Libatkan semua bawahan dalam pengambilan keputusan agar merasa ikut berpartisipasi, tapi ketika deadlock,tugas pemimpin harus mengambil keputusan agar tidak berlarut-larut.

Kuncinya adalah komunikasi yang baik, terbuka, dan egaliter antara pimpinan dan bawahan. Ketika ada bawahan yang kritis, gunakan pendekatan “tepuk bahu”, atau meniru gaya Presiden Joko Widodo, gunakan pendekatan “makan siang”, rangkul, tanya apa yang diinginkannya, siapa tahu dari sikap kritisnya ada masukan-masukan yang konstruktif yang bisa dijadikan pertimbangan dalam mengambil keputusan. Dan pada banyak kasus, justru solusi dicapai bukan melalui rapat-rapat yang terlalu formalistiik, tetapi komunikasi “warung kopi”, serius tapi santai.

Tanya dan simak apa keinginannya. Biarkan dia menyampaikan semua unek-uneknya. Tidak perlu konfrontatif atau memotong pembicaraannya, karena hanya akan melahirkan debat kusir dan suasana menjadi kurang kondusif. Dengarkan seperti orang tua yang mendengarkan curhatan anak-anaknya.

Ketika dia telah menyampaikan semua unek-uneknya, maka tanggapi dengan kepala dingin, berikan jawaban yang justru bukan mengkounter aspirasinya, dan berikan beberapa alternatif solusi yang bisa diambil. Kontak mata sangat penting dalam sebuah diskusi, agar merasa diperhatikan, sama-sama saling menghargai, dan lebih ekspresif.

Memimpin pada hakikatnya adalah melayani, walau kadang pada kenyataannya pemimpin yang banyak dilayani oleh bawahan, dengan alasan protokoler atau SOP-nya memang demikian. Tidak salah juga jika mekanismenya sudah diatur, tetapi pemimpin yang bijak tidak unggah adat atau “ngaménak.”.Dia tetap merakyat dan egaliter bersama para bawahannya.

Seorang pemimpin tidak perlu alergi terhadap saran dan kritik dari bawahannya, karena itu adalah resiko sebagai pemimpin. Bahkan mintalah saran dan solusi yang solutif dari bawahannya. Komunikasi yang santun antara pimpinan dan bawahan tetap dijunjung tinggi.

Pemimpin jangan malu meminta maaf ketika menyadari salah dalam mengambil keputusan. Pemimpin bukanlah malaikat, yang sempurna, bebas dari kekurangan, tetapi manusia biasa yang bisa salah dan khilaf. Permohonan maaf seorang pemimpin menandakan dia adalah seorang pemimpin yang gentle, tidak mencari-cari pembenaran akan keputusannya yang keliru. Hal ini akan melahirkan sikap hormat dan membuatnya semakin dicintai oleh bawahan.

Ketika seorang pimpinan tidak mendapatkan saran dan kritik dari bawahannya, ada dua kemungkinan. Pertama, karena kinerjanya sudah dinilai baik, atau kedua, karena bawahannya sudah tidak peduli terhadap pimpinannya karena saluran aspirasi tersumbat, tidak terjalin komunikasi yang efektif antara kedua belah pihak. Hal inilah yang menjadi embrio ketidakharmonisan antara pimpinan dan bawahan dalam sebuah organisasi. Wallaahu a’lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun