BERIKAN KEMERDEKAAN KEPADA GURU UNTUK MENGEMBANGKAN PROFESINYA
Oleh:
IDRIS APANDI
(Widyaiswara LPMP Jawa Barat, Ketua Komunitas Pegiat Literasi Jabar/KPLJ)
Suatu hari ada guru yang curhat kepada Saya. Dia menyampaikan bahwa dia sulit mendapatkan izin dari Kepala Sekolah mengikuti kegiatan menulis karena urusan menulis kaitannya dengan guru bahasa Indonesia, sedangkan dia bukan guru Bahasa Indonesia. Padahal dia berinisiatif mengikuti pelatihan menulis dalam rangka mengembangkan profesinya, bahkan dengan biaya sendiri. Dia merasa terkekang akibat izin yang tidak diiberikan oleh Kepala Sekolah.
Dalam kaca mata orang awam, menulis memang diidentikkan dengan guru bahasa, karena salah satu hal diajarkan adalah kemampuan menulis. Diklat atau sosialisasi berkaitan dengan literasi, yang ditugaskan adalah guru bahasa, bahkan ketika sekolah belum memiliki pustakawan, yang ditugaskan adalah guru bahasa.
Saya memiliki banyak teman penulis yang notabene bukan guru bahasa tetapi guru non bahasa. Karya-karya mereka seperti novel, sajak, cerpen, atau artikel, cara bertutur dan gaya bahasanya enak dibaca, tidak kalah dengan guru-guru bahasa. Mengapa demikian? Karena mereka menulis dengan hati, mereka walau non bahasa tapi mencintai dunia menulis, bahkan sudah menjadi hobi.
Menurut Saya, ketika seorang guru non bahasa tetapi terampil menulis, hal tersebut menjadi nilai tambah baginya. Rekan sejawat dan Kepala Sekolah pun harus bangga karena memiliki guru yang jadi aset dalam bidang menulis. Guru tersebut bahkan bisa diminta jadi mentor bagi rekan sejawatnya untuk melatih menulis, agar semua guru di sekolah bisa menulis.
Hal tersebut tampaknya belum menjadi tradisi di sekolah. Di satu sisi, ada guru yang terampil menulis KTI tetapi “pelit” berbagi dengan rekan sejawatnya disertai berbagai alasan, tetapi di sisi lain, ada juga guru penulis yang ingin berbagi, tetapi rekan sejawatnya cuek,dan kurang mendapatkan dukungan dari Kepala Sekolahnya. Akibatnya, dia merasa bahwa hal yang telah dilakukannya kurang diapresiasi baik oleh rekan sejawat maupun oleh Kepala Sekolah.
Menulis adalah sebuah keterampilan yang bisa diasah, tapi ada juga pengaruh dari bakat dan minat. Seorang penulis besar pun awalnya tidak tahu bahwa dia memiliki kemampuan menulis. Hanya, seiring perjalanan waktu, dia begitu cepat belajar menulis dan menghasilkan karya yang berkualitas, baru dia menjelma menjadi penulis. Karya dan pengakuan publiklah yang memberikan predikat sebagai penulis hebat.
Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 14 Tahun 205 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.”
Tenaga profesional adalah ahli pada bidang tertentu. Sebagai tenaga profesional, guru berhak sekaligus wajib untuk meningkatkan profesionalismenya. Peningkatan profesionalisme memang perlu sejalan dengan tupoksi guru, walau demikian, bukan berarti dibatasi, tidak boleh merambah bidang yang lain.
Guru meningkatkan kompetensinya pada wadah Kelompok Kerja Guru (KKG) atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), atau forum ilmiah yang diselenggarakan oleh organisasi profesi guru atau pemerintah, sedangkan pengembangan profesi pada bidang lain dilakukan secara mandiri sepanjang tidak mengganggu tupoksinya.
Guru yang mengikuti kegiatan peningkatan profesionalisme jangan hanya melulu untuk mendapatkan Angka Kredit, karena yang diburu hanya selembar sertifikat. Sebenarnya hal itu tersebut tidak salah, karena mereka butuh untuk peningkatan karir. Angka Kredit harus ditempatkann sebagai dampak, bukan tujuan, karena hakikat dari pengembangan profesi adalah peningkatan ilmu, wawasan, keterampilan, dan pengalaman.
Guru yang memiliki kompetensi pada bidang lain termasuk menulis menjadi peluang atau sarana baginya untuk eksis atau bahkan menjadi sumber penghasilan tambahan sepanjang tidak mengganggu tugas pokoknya sebagai guru. Setiap manusia termasuk guru memiliki kebutuhan terhadap aktualisasi diri. Oleh karena itu, kurang bijak jika ada pembatasan terhadap guru yang ingin berkarya dan meningkatkan kompetensinya. Bagi Saya, itulah sejatinya guru pembelajar, dan belajar itu bisa apa saja, tidak harus sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya.
Kepada para guru, ayo terus meningkatkan profesionalismenya. Kepada para pemegang kebijakan, berilah ruang bagi guru untuk meningkatkan profesinya. Jangan dikekang atau dibatasi hanya sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya, berilah apresiasi atas kerja kerasnya. Guru yang profesional dihadapkan akan berdampak terhadap kualitas KBM dan mutu sekolah secara umum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H