Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berikan Kemerdekaan Kepada Guru untuk Mengembangkan Profesinya

17 April 2017   19:50 Diperbarui: 17 April 2017   20:14 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Freedom. (Iustrasi : http://www.frpeterpreble.com)

BERIKAN KEMERDEKAAN KEPADA GURU UNTUK MENGEMBANGKAN PROFESINYA

Oleh:

IDRIS APANDI

(Widyaiswara LPMP Jawa Barat, Ketua Komunitas Pegiat Literasi Jabar/KPLJ)

Suatu hari ada guru yang curhat kepada Saya. Dia menyampaikan bahwa dia sulit mendapatkan izin dari Kepala Sekolah mengikuti kegiatan menulis karena urusan menulis kaitannya dengan guru bahasa Indonesia, sedangkan dia bukan guru Bahasa Indonesia. Padahal dia berinisiatif mengikuti pelatihan menulis dalam rangka mengembangkan profesinya, bahkan dengan biaya sendiri. Dia merasa terkekang akibat izin yang tidak diiberikan oleh Kepala Sekolah.

Dalam kaca mata orang awam, menulis memang diidentikkan dengan guru bahasa, karena salah satu hal diajarkan adalah kemampuan menulis. Diklat atau sosialisasi berkaitan dengan literasi, yang ditugaskan adalah guru bahasa, bahkan ketika sekolah belum memiliki pustakawan, yang ditugaskan adalah guru bahasa.

Saya memiliki banyak teman penulis yang notabene bukan guru bahasa tetapi guru non bahasa. Karya-karya mereka seperti novel, sajak, cerpen, atau artikel, cara bertutur dan gaya bahasanya enak dibaca, tidak kalah dengan guru-guru bahasa. Mengapa demikian? Karena mereka menulis dengan hati, mereka walau non bahasa tapi mencintai dunia menulis, bahkan sudah menjadi hobi.

Menurut Saya, ketika seorang guru non bahasa tetapi terampil menulis, hal tersebut menjadi nilai tambah baginya. Rekan sejawat dan Kepala Sekolah pun harus bangga karena memiliki guru yang jadi aset dalam bidang menulis. Guru tersebut bahkan bisa diminta jadi mentor bagi rekan sejawatnya untuk melatih menulis, agar semua guru di sekolah bisa menulis.

Hal tersebut tampaknya belum menjadi tradisi di sekolah. Di satu sisi, ada guru yang terampil menulis KTI tetapi “pelit” berbagi dengan rekan sejawatnya disertai berbagai alasan, tetapi di sisi lain, ada juga guru penulis  yang ingin berbagi, tetapi rekan sejawatnya cuek,dan kurang mendapatkan dukungan dari Kepala Sekolahnya. Akibatnya, dia merasa bahwa hal yang telah dilakukannya kurang diapresiasi baik oleh rekan sejawat maupun oleh Kepala Sekolah.

Menulis adalah sebuah keterampilan yang bisa diasah, tapi ada juga pengaruh dari bakat dan minat. Seorang penulis besar pun awalnya tidak tahu bahwa dia memiliki kemampuan menulis. Hanya, seiring perjalanan waktu, dia begitu cepat belajar menulis dan menghasilkan karya yang berkualitas, baru dia menjelma menjadi penulis. Karya dan pengakuan publiklah yang memberikan predikat sebagai penulis hebat.

Pasal  1 ayat 1 Undang-undang Nomor 14 Tahun 205 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun