BUDAYA LITERASI, CERITA DARI PESANTREN
Oleh:
IDRIS APANDI
(Widyaiswara LPMP Jawa Barat/ Ketua Komunitas Pegiat Literasi Jabar/ KPLJ)
Mulai tahun 2015, seiring dengan program penumbuhan budi pekerti, Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dikampanyekan untuk dilaksanakan di sekolah-sekolah, mulai dari jenjang SD, SMP, sampai SMA/SMK. Ada sekolah-sekolah yang telah menjadi sekolah percontohan, tetapi masih banyak sekolah yang belum tersentuh dan memhami tujuan dari GLS.
Sebenarya GLS bukan hanya monopoli sekolah saja, tetapi juga sudah dilaksanakan di lingkungan madrasah atau pesantren. Tentunya gerakan literasinya lebih fokus kepada ilmu-ilmu agama. Walau tidak disebut sebagai sebuah gerakan literasi, tetapi secara de facto,gerakan literasi sudah dilakukan sejak lama dan sudah terbukti mampu meningkatkan minat baca dan kemampuan santri.
Pagi-pagi, para santri ramai membaca surat-surat pendek dan bacaan salat. Selanjutnya mereka didrill oleh para ustadz membaca dan menghafal Alquran, membaca kitab-kitab kuning. Setelah selesai mengaji dimbimbing ustadz, para santri dapat kembal ke pondok masing-masing.
Di Pondok, para santri dapat menelaah sendiri (muthalaah) pelajaran yang telah dipelajari, saling mengingatkan bacaan (mudzakarah),berdiskusi (mutharahah),dan saling berbagi pandangan (munadharah). Hal ini dilakukan dalam rangka mencari kebenaran dan membangun budaya musyawarah di kalangan santri, bukan hanya sekedar debat kusir tanpa hasil.
Pada hari tertentu, para santri juga diberi kesempatan belajar berpidato sebagai persiapan mereka untuk berdakwah. Mereka dipersilakan untuk menyampaikan atau membahas satu permasalahan dan disimak oleh santri-santri yang lain. Kegiatan tersebut disamping untuk meningkatkan kemampuan bicara dimuka umum, juga untuk meningkatkan kepercayaan diri, karena bicara di depan umum bukan hal yang mudah.
Seorang pendakwah disamping harus menguasai permasalahan yang disampaikannya, juga harus memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, menguasai psikologi massa, persuasif, mampu mempengaruhi, berkata dengan sopan, dan bersikap santun. Kadang humor diperlukan untuk memecah kebosanan atau mengundang perhatian jamaah.
Seorang pendakwah harus memiliki kedalaman ilmu. Oleh karena itu, dia harus terus belajar dan memperdalam ilmu. Ada kalanya seorang santri tidak hanya mondok sampai bertahun-tahun di sebuah pesantren. Setelah itu, belajar di pondok pesantren lainnya. Di pesantren, santri belajar berbagai jenis ilmu agama, mulai dari ilmu Alquran, ilmu hadits, ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu kebahasaan, sampai sastra.
Tidak ada ketentuan berapa lama seorang santri belajar di pesantren, tetapi ketika dinilai sudah siap dan memiliki kecakapan, dia diminta untuk mengabdi kepada masyarakat. Bahkan ada sebuah pesantren yang meminta agar para santrinya pergi ke daerah-daerah terpencil untuk berdakwah.
Disamping memiliki kedalaman ilmu, para santri biasanya memiliki hafalan Al Quran dan hadits yang cukup mumpuni. Di pesantren-pesantren yang memfokuskan diri pada hafalan (tahfidz) Alquran, porsi jam jam belajar hafalan Alquran biasanya lebih banyak. Selama waktu tertentu, santri ditarget untuk menghafal sekian juz.
Selain itu, para santri juga menghafal ayat-ayat atau hadits-hadits pilihan. Di pesantren dikenal adanya kegiatan talaranatau menghafal ayat atau hadits tertentu, dan dalam waktu tertentu harus disetorkan kepada ustadz. Sang ustadz menyimak setoran hafalan santri dan mengoreksinya jika ada bacaan yang kurang tepat.
Di pondok modern, selain belajar bahasa Arab juga belajar bahasa Inggris, teknologi informasi dan komunikasi, pertanian, wirausaha, dan sebagainya, sehingga seorang santri, bukan hanya menguasai ilmu-ilmu agama, tetap juga menguasai ilmu-ilmu dunia sebagai bekal mengabdi kepada masyarakat, karena seorang guru agama tidak digaji oleh pemerintah atau masyarakat, tetapi harus hidup mandiri.
Dibalik nilai-nilai baik yang dapat diambil dari budaya literasi di pesantren, ada potret yang cukup memperihatinkan, yaitu masih minimnya perpustakaan di pesantren. Apakah setiap pesantren memiliki koleksi kitab-kitab karangan ulama terdahulu? Atau kitab-kitab babon sebagai bahan atau referensi utama bagi para santrinya? bagi pesantren-pesantren yang telah berstatus modern, perpustakaan telah menjadi sarana belajar bagi para santrinya, lalu bagaimana dengan pesantren yang berada di kampung? Jangankan perpustakaan, ruang belajar kadang masih banyak keterbatasan dan kondisi pondok yang kurang terjaga kebersihannya.
Mengingat peran strategis pesantren dalam mengembangkan budaya literasi, maka perlu perhatian berbagai pihak terkait terhadap pengadaan perpustakaan di pesantren. Pesantren jangan dibiarkan berjuang sendiri ditengah keterbatasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H