Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Widyaprada Ahli Madya BBPMP Jawa Barat. Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Literasi dan Membangun Adab terhadap Buku

20 Maret 2017   06:42 Diperbarui: 20 Maret 2017   16:00 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu tanda orang literat adalah mampu membangun adab terhadap buku. (Foto : http://ekanadashofa.staff.uns.ac.id)

LITERASI DAN MEMBANGUN ADAB TERHADAP BUKU

Oleh:

IDRIS APANDI

(Widyaiswara LPMP Jawa Barat, Ketua Komunitas Pegiat Literasi Jabar/KPLJ)

Budaya literasi saat ini tengah digerakkan oleh pemerintah dengan mengharapkan dukungan dari berbagai pihak, seperti keluarga, masyarakat, dan dunia usaha. Bicara            tentang literasi tidak dapat dipisahkan dengan buku, karena buku merupakan salah satu sumber yang dapat dibaca agar untuk mewujudkan manusia yang literat.

Ada pribahasa yang mengatakan bahwa “buku adalah gudangnya ilmu, dan membaca adalah kuncinya.” Oleh karena itu, buku tidak akan banyak memberi manfaat kalau tidak dibaca. Ada orang yang senang mengoleksi buku, tapi karena kesibukannya, buku yang dibelinya tersebut belum sempat dibaca, bahkan segelnya pun belum sempat dibuka.

Bagi banyak orang, termasuk kalangan terdidik membeli buku belum menjadi kebutuhan, apalagi sebuah kebiasaan. Berpikir panjang mana kala akan membeli buku karena terasa mahal. Sampulnya dibolak-balik, dilihat-lihat harganya, hingga akhirnya memutuskan untuk membelinya. Berburu buku di pameran buku atau menunggu saleharga buku di toko juga salah satu cara bagi penikmat buku dengan harga yang murah. Hal itu sah-sah saja karena memang difasilitasi dan memberikan keuntungan bagi pedagang maupun pembeli.

Menurut Saya, gerakan literasi harus diikuti dengan membangun adab terhadap terhadap buku, termasuk menghargai para penulisnya, karena menulis buku bukan pekerjaan mudah. Prosesnya ada yang berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, tergantung jenis buku yang ditulisnya.

Adab terhadap buku antara lain; membacanya sampai tuntas, mencatat hal-hal yang penting, merawatnya, dan menyimpannya di tempat yang aman. Membaca buku pun ada tata caranya, seperti membuka dimulai dari bagian halaman kanan atas dengan lembut, jangan membuka halaman menggunakan (maaf) ludah pada jari tangan, jangan dilipat, tandai bagian-bagian penting, buat catatan yang rapi, jangan bahkan sampai kotor, sobek, atau rusak. Ilmu yang didapatkan dari membaca buku diharapkan dimanfaatkan bagi dirinya, serta dapat dibagi kepada orang lain.

Ada kalanya Saya melihat di sebuah ruangan, buku-buku menumpuk begitu saja, penuh dengan debu, ruangannya pun lembab, kotor, dan kurang terawat. Sungguh sangat ironis. Di saat kita menyadari bahwa buku gudangnya ilmu, tetapi penghargaan terhadap buku masih rendah.

Ditengah masih rendahnya budaya baca, penghargaan terhadap buku masih jadi sebuah tantangan. Berdasarkan studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. (Kompas, 29/08/2016).

Data statistik UNESCO pada 2012 juga menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, dari 1.000 penduduk, hanya satu warga yang tertarik untuk membaca. Menurut indeks pembangunan pendidikan UNESCO ini, Indonesia berada di nomor 69 dari 127 negara.

Merujuk pada data BPS, hingga 2010 jumlah masyarakat Indonesia yang tidak bisa membaca dan menulis (buta huruf) sebanyak 7.752.627 orang yang terdiri atas 2.816.207 orang pria dan 4.936.420 orang wanita. Sebanyak 722.774 orang berusia antara 15-24 tahun, 2.725.913 orang berusia 25-44 tahun, dan sebanyak 4.303.940 orang berusia 45 tahun ke atas. Setiap tahun, jumlah warga negara Indonesia yang buta aksara terus menurun. Dalam 10 tahun terakhir (2005-2015), dari sekitar 15 juta orang kini tersisa sekitar empat juta sampai lima juta jiwa. (Republika).

Roger Farr mengatakan bahwa membaca adalah jantungnya pendidikan, tanpa membaca, pendidikan akan mati. Penelitian Baldrige (1987) menyatakan bahwa manusia modern dituntut untuk membaca tidak kurang dari 840.000 kata per minggu. Berdasarkan kepada hal tersebut, jika sebuah bangsa ingin jadi bangsa yang modern harus membudayakan membaca.

Disatu sisi budaya baca bangsa Indonesia rendah, tetapi di sisi lain, begitu cerewet di media sosial. Apa saja ditulis, dan apa saja dikomentari. Hoax beredar dengan mudah, dan membully orang lain seolah menjadi hal yang lumrah. Indonesia termasuk negara dengan jumlah pengguna medsos paling besar di dunia. Berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), tahun 2016, tercatat pengguna internet di Indonesia sebanyak 132 juta orang.  Dari jumlah tersebut, penggunan FB sebanyak 71,6 juta (54%), instagram sebanyak 19,9 juta (15%), dan youtube sebanyak 14,5 juta (15%).

Mengutip laporan Bank Dunia Nomor 16369-IND, dan studi IEA ( International Association for the Evaluation of Education Achicievement) di Asia Timur, tingkat terendah membaca dipegang oleh negara Indonesia dengan skor 51,7, di bawah Filipina (skor 52,6), Thailand ( skor 65,1), Singapura (skor 74,0), dan Hongkong (skor 75,5). Bukan itu saja, kemampuan orang Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanya 30 persen. Data lain juga menyebutkan (UNDP) dalam Human Report 2000, bahwa angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen. Sedangkan Malaysia sudah mencapai 86,4 persen, dan negara-negara maju seperti Jepang, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat umumnya sudah mencapai 99,0 persen.

Taufiq Ismail pernah membandingkan budaya baca di kalangan pelajar saat ini. ia menyebutkan, rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Russia 12 buku, Jepang 15 buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 buku, sedangkan Indonesia nol buku. Ia menyebut kondisi ini dengan istilah “tragedi nol buku”, yaitu generasi yang tidak membaca satu pun buku dalam satu tahun, generasi yang rabun membaca, dan lumpuh menulis.

Buku adalah sumber ilmu. Dengan demikian, ketika seseorang menghargai buku, sama halnya dengan menghargai ilmu, dan salah satu bentuk menghargai ilmu adalah dengan menghargai para ahli ilmu, atau para penulis buku. Salah satu cara menghargai penulis adalah dengan membeli bukunya. Buku adalah harta, baik bagi penulisnya, bagi pembacanya, dan bagi sebuah peradaban. Jika ingin menghancurkan sebuah gagasan, pemikiran, maka hancurkankanlah buku-bukunya, bungkam penulisnya, pada rezim otoriter, penulisnya dipenjara bahkan dibunuh.

Dalam rangka membangun adab terhadap buku, maka hal yang penting untuk dikembangkan adalah Gerakan Cinta Buku. Gerakan ini perlu ditanamkan mulai dari keluarga, sekolah, dan masyarakat. Saya melihat bahwa gerakan ini mulai tumbuh, dan kesadaran terhadap pentingnya membaca mulai muncul. Tinggal terus dipupuk dan diperkuat, agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang literat.

Membangun adab terhadap buku adalah cermin manusia yang mencintai ilmu pengetahuan dan bermental pembelajar. Hargai ilmu, hargai buku, dan hargai penulisnya. Semoga generasi nol buku seperti yang digambarkan oleh Taufiq Ismail tidak terjadi di masa depan seiring dengan semakin meningkatnya adab terhadap buku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun