Oleh:
IDRIS APANDI
Di tengah kampanye “Gerakan Menghormati Guru” yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada saat Musyawarah Nasional Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) tanggal 9 November 2016, ada permasalahan yang sampai dengan saat ini masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah, yaitu menghormati peran penting guru, utamanya dalam kesejahteraanya, khususnya kepada guru-guru honorer.
Sebagaimana diketahui bahwa saat banyak guru honorer yang belum mendapatkan kesejahteraan yang layak seperti halnya guru PNS, walaupun beban kerjanya sama dengan PNS, bahkan ada yang melebihi beban kerja PNS karena ada merangkap menjadi Operator Sekolah. Untuk menyambung hidup, guru honorer, utamanya yang belum disertifikasi harus mengajar dari satu sekolah ke sekolah yang lain, memberi jasa les/privat, menjadi pedagang gorengan, tukang ojeg, dan sebagainya.
Dalam sebuah kesempatan saya berbincang-bincang seorang dengan guru honorer, dia terpaksa harus memendam keinginannya untuk menikah, karena kurang percaya diri dan khawatir tidak dapat menafkahi keluarganya hanya mengandalkan penghasilan sebagai guru honorer.
Pada umumnya aturan pemberian honor di sekolah walau mengajar tatap muka sebulan, tapi honor yang diberikan adalah seminggu. Misalnya jika dalam seminggu mengajar 10 jam dan honor perjamnya adalah Rp 20.000, maka honornya adalah 10 JP x Rp 20.000 = Rp 200.000. Itulah take home pay yang dibawa oleh seorang guru honorer walau secara de facto dia mengajar selama 40 JP dalam satu bulan. Dana BOS hanya bisa gunakan sebesar 15% untuk membayar guru honorer. Pertanyaanya adalah bagaimana kalau jumlah guru honornya banyak? Tentunya Kepala Sekolah akan pusing dan bingung untuk membayar honor guru honorer.
Jika dihitung secara matematis, maka sangat tidak rasional, seorang guru honorer membiayai hidupnya dengan honor sejumlah itu, tapi urusan rezeki memang sudah diatur oleh Dzat Yang Maha Memberi rezeki. Walau prihatin, mereka tetap dapat melanjutkan kehidupan. Kuncinya mensyukuri apa yang telah didapatkan dan dengan dilandasi niat untuk turut mencerdaskan anak-anak bangsa. Ketika melihat anak-anak didiknya bersemangat dalam belajar dan mencapai prestasi yang bagus, maka sang guru honorer pun merasa senang dan bangga.
Masalah guru honorer adalah masalah yang kompleks. Hampir tidak ada data valid jumlah guru honorer di Indonesia karena jumlahnya terus berubah-ubah. Anies Baswedan, ketika masih menjabat sebagai Mendikbud pernah menyatakan bahwa dalam 15 tahun terakhir jumlah guru honorer meningkat sebanyak 860%. Yang awalnya berjumlah 84.600 orang menjadi 812.064 orang (Pikiran Rakyat, 12/02/2016).
Permasalahan guru honorer menjadi benang kusut. Tidak dapat dipungkiri sebenarnya pemerintah pun telah memberikan perhatian kepada guru honorer dalam bentuk mengangkat tenaga honorer kategori 2 (K-2), memberikan kesempatan untuk mengikuti sertifikasi, memberikan tunjangan meskipun memang jumlahnya tidak besar dan belum semua guru honorer menerimanya.
Permasalahan guru honorer memang tidak hanya dapat dilihat dari hilirnya, tetapi dari hulunya. Guru-guru honorer diangkat oleh sekolah negeri dan swasta, dan jumlahnya memang semakin tidak terkendali seiring bertambahnya jumlah sekolah, utamanya sekolah-sekolah swasta. Sebenarnya sudah ada larangan sekolah negeri mengangkat guru honorer, dan diminta mengoptimalkan guru-guru PNS, tetapi faktanya memang sekolah-sekolah negeri utamanya pada jenjang SD banyak yang kekurangan guru. Hal tersebut adalah dampak dari tidak meratanya persebaran guru. Di satu daerah ada yang kelebihan guru, sedangkan di daerah lain kekurangan guru.
Guru-guru honorer di sekolah negeri hanya diangkat berdasarkan SK dari Kepala Sekolah, sedangkan Bupati/Walikota belum berani menerbitkan SK karena khawatir yang bersangkutan menuntut diangkat menjadi PNS atau menuntut tunjangan dari pemerintah daerah, sementara anggaran pemda juga terbatas.
Guru-guru honorer di sekolah swasta diangkat oleh yayasan melalui SK Ketua Yayasan. Secara logika, sebenarnya ketika yang mengangkat guru honorer adalah pihak yayasan, maka yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraannya pun adalah pihak yayasan, tetapi realitanya di lapangan, kemampuan yayasan dalam membayar honor guru honorer sangat terbatas, apalagi yayasan-yayasan kecil. Banyak yang hanya mengandalkan honor untuk guru honorer dari dana BOS, sementara dana BOS pun sudah ada aturan peruntukannya. Di yayasan-yayasan yang sudah mapan, mungkin kesejahteraan guru honorer relatif lebih baik.
Pada saat diangkat menjadi guru honorer, sebenarnya guru-guru honorer mendapatkan penjelasan berkaitan dengan hak dan kewajibannya. Ada perjanjian kerja yang dibuat antara pihak yayasan dengan yang bersangkutan. Ketika yang bersangkutan menerima pekerjaan tersebut, berarti dia sudah memahami segala konsekuensinya, termasuk urusan honor. Walau demikian, pada akhirnya guru-guru tetap mengharapkan kesejahteraan yang lebih baik karena bersandar kepada Undang-undang guru dan dosen dimana seorang guru pun berhak mendapatkan kesejahteraan yang layak.
Pada pasal 14 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ada huruf a dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan guru berhak “memperoleh penghasilan di atas kebutuhan kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahateraan sosial.” Pasal tersebut berlaku terhadap semua guru, baik guru PNS maupun pun bukan PNS alias guru honorer. Hal inilah yang terus memacu guru-guru honorer untuk terus memperjuangkan nasibnya. Mereka bersatu membuat organisasi, melakukan audiensi dengan pemerintah, unjuk rasa menuntut perhatian pemerintah meningkatkan kesejahteraan mereka. Bagi guru-guru honorer yang belum diangkat menjadi PNS, minimal mendapatkan upah setara UMK atau ada tunjangan khusus.
Guru honorer perannya tidak dapat dikesampingkan. Mereka secara nyata telah banyak berkontribusi mencerdaskan bangsa. Banyak yang bertugas di daerah terpenecil, terdalam, dan terluar. Terus mengabdi walau harus menempuh medan yang berat menuju sekolah, tapi di sisi lain mendapatkan honor yang minim.
Momentum Hari Guru Nasional (HGN) yang diperingati setiap tanggal 25 November semoga menjadi momentum untuk peningkatan penghormatan terhadap guru khususnya kesejahteraan guru honorer. Walau demikian, tidak elok juga ketika guru-guru hanya menuntut kesejahteraan tapi tanpa disertai dengan peningkatan profesionalisme dan kinerja yang tercermin dalam peningkatan kualitas KBM.
Mendikbud Muhadjir Effendy, salam sambutannya menyambut HGN 2016 juga berpesan bahwa sebagai seorang tenaga profesional, guru telah mendapatkan Tunjangan Profesi Guru (TPG). Oleh karena itu, TPG yang telah didapatkan diharapkan dapat berimplikasi terjadap peningkatan kinerja dan kompetensi yang dibuktikan dalam peningkatan kualitas KBM.
Penulis, Praktisi dan Pemerhati Pendidikan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H