Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Masa Saya Orang Jawa Disuruh Belajar Bahasa Sunda?

30 September 2016   16:31 Diperbarui: 30 September 2016   17:07 1508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bangsa Indonesia yang majemuk. (Ilustrasi : http://haffata.malhikdua.com/)

“Masa Saya orang Jawa disuruh belajar Bahasa Sunda?” Kalimat tersebut meluncur dari seorang siswa yang sedang jalan bersama dengan beberapa orang temannya. Saya yang kebetulan ada didekatnya, tertarik dengan ucapan anak tersebut, dan spontan memanggilnya. Dengan agak malu-malu, anak tersebut mendekati Saya, lalu Saya persilakan duduk disamping Saya.

Saya pun menanyakan beberapa pertanyaan padanya. Sebutlah nama anak itu Joko, kelas VI SD. Dia mengatakan bahwa dia asli orang Jawa, kedua orang tua pun asli Jawa. Komunikasi sehari-hari di rumahnya menggunakan bahasa Indonesia dan Jawa, tidak pernah menggunakan bahasa Sunda, tapi karena dia sekolah di Bandung, dia harus belajar bahasa Sunda, sebuah bahasa yang menurutnya lebih sulit dari belajar Bahasa Inggris. Dia merasa tidak ada manfaatnya belajar bahasa Sunda karena tidak dia gunakan dalam percakapan sehari-hari.

Hari itu yang bertepatan dengan Ujian Tengah Semester (UTS), setelah istirahat Joko harus mengerjakan soal UTS Bahasa Sunda, mata pelajaran yang menjadi mimpi buruknya. Lalu Saya bertanya, apakah dia bisa mengerjakan soal-soal ulangan ujian bahasa Sunda. Joko menjawab, soal yang bisa dijawab, ya dijawab, kalau tidak bisa dijawab, dia nembaksaja atau dikosongkan, tidak dijawab.  Bagi dia, belajar bahasa Sunda, lebih sulit dibandingkan dengan belajar bahasa Inggris.

Keluhan itu muncul baru dari satu suku, sedangkan di Bandung yang notabene kota besar dan penduduknya yang relatif heterogen karena banyak pendatang, mungkin ada juga keluhan serupa. Tetapi, walau demikian, sebagai orang yang datang ke Jawa Barat, tentunya mau tidak mau harus mau “bergaul” dengan bahasa sekitar. Begitupun orang Sunda jika merantau ke daerah lain, tentunya mengalami kondisi yang sama. Harus beradaptasi dengan bahasa setempat.

Bangsa Indonesia yang terdiri dari ratusan suku bangsa dan bahasa, beruntung karena memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Kalau kita pergi ke manapun di wilayah NKRI, tidak akan khawatir tidak dapat berkomunikasi karena hampir semua penduduk Indonesia bisa berbahasa Indonesia.

Pendidikan Multikultural

Negara Indonesia adalah negara yang majemuk karena dari beragam suku bangsa, adat-istiadat, budaya, dan agama. Indonesia juga disebut nusantara karena negara kepulauan. Tercatat ada 17.508 pulau di Indonesia. Luas daratan 5.193.250 km² (termasuk daerah lautan dan daratan). Luas daratan Indonesia adalah 1.919.440 km²yang menempatkan Indonesia sebagai negara ke 15 terluas didunia. Dengan demikian, Indonesia adalah negara yang sangat besar.

Dalam konteks pendidikan, kemajemukan Indonesia merupakan keuntungan sekaligus tantangan karena sejarah menunjukkan negara-negara yang besar yang terdiri dari beragam etnis seperti Uni Soviet dan Yugoslavia hancur menjadi negara-negara kecil seperti saat ini.

Berdasarkan kepada hal tersebut, dalam rangka menjaga keutuhan NKRI, maka diperlukan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural adalah pendidikan dengan dengan menanamkan nilai-nilai demokrasi, HAM, toleransi, saling menghargai dan menghormati, san fluralisme dalam bingkai NKRI dan ideologi Pancasila.

Melalui pendidikan multikultural, setiap suku memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan layanan pendidikan yang sama. Tidak ada suku tertentu yang dianakemaskan dan dianaktirikan. Semuanya sama, karena kemerdekaan ini bukan untuk suku tertentu saja, tetapi untuk semua suku bangsa. Bahkan tiap suku bisa saling memperkenalkan adat istiadat, budaya, dan bahasanya masing-masing.

Oleh karena itu, dalam konteks pendidikan mulkultural, menurut Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta, tulisan “ini Budi” yang terdapat pada buku pelajaran Bahasa Indonesia yang populer di SD tahun 1980-1990an bisa ganti dengan nama-nama lain sesuai dengan nama yang digunakan pada suku-suku di Indonesia. Pada masa orde baru, pendidikan dari Sabang sampai Merauke diatur oleh pemerintah pusat, disamaratakan, tidak disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing.

Kembali kepada kisah Joko di atas, sesuai konsep pendidikan multikultural, Joko pun berhak untuk mendapatkan pendidikan bahasa Jawa atau boleh tidak mengikuti pelajaran bahasa Sunda yang memang bukan bahasa asal suku bangsanya. Walau demikian, Joko sebaiknya belajar bahasa Sunda juga karena dia hidup di Bandung.

Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Bahasa adalah alat komunikasi dan sarana pergaulan, semakin banyak bahasa yang dikuasai tentunya akan semakin bagus dan semakin mudah untuk bergaul. Sanes kitu ko?(Bukan begitu Ko?”

Penulis, Praktisi Pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun