Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menimbang Plus dan Minus Full Day School

8 Agustus 2016   21:53 Diperbarui: 4 April 2017   17:03 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Full day school (Ilustrasi: skkksolo.sch.id/)

Mendikbud Muhadjir Effendi menyampaikan wacana sekolah sepanjang hari pada jenjang pendidikan SD dan SMP atau yang dikenal dengan full day school.Tujuannya adalah untuk membentuk karakter siswa sebagaimana yang diamanatkan pada Nawa Cita yang merupakan visi Presiden Joko Widodo. Alasan lainnya adalah supaya siswa bisa lebih fokus belajar, menghindarkan dari tawuran, kenakalan remaja, dan paham radikal. Muhadjir menyampaikan bahwa gagasannya tersebut telah mendapatkan persetujuan dari Wakil Presiden Yusuf Kalla.

Pasca belajar dari pagi sampai siang, siswa dapat diberikan pelajaran tambahan, juga sekaligus dapat beristirahat, makan siang, mengikuti kegiatan ekstra kurikuler. Rencananya, jam pulang siswa akan disesuaikan dengan jam pulang orang tua supaya orang tua ketika pulang dapat sekaligus menjemput anaknya ke sekolah.

Pro-Kontra

Rencana tersebut mengundang pro dan kontra di masyarakat. Pihak yang pro mengatakan bahwa dengan adanya full day school dapat membantu orang tua yang bekerja. Mereka dapat fokus bekerja, sementara kegiatan anak dapat terkontrol oleh sekolah. Saat ini memang banyak sekolah yang menawarkan kurikulum full day school,bahkan dalam bentuk sekolah berasrama (boarding school).  Kegiatan siswa selama 24 jam dipantau oleh pihak sekolah. Dan realitanya, banyak orang tua yang berminat untuk menyekolahkan anak ke boarding school walau harus membayar mahal.

Pihak yang kontra berpandangan bahwa kegiatan full day schoolakan menambah beban guru dan siswa. Guru bukan hanya mengurus murid-muridnya di sekolah, tapi juga memiliki suami, istri, atau anak yang harus diurus alias perlu diperhatikan.

Kalau guru harus stand by di sekolah sampai sore, tentunya suami, istri, anak mereka akan protes. Dengan kegiatan belajar yang tidak sampai sore saja, guru banyak yang pulang sore karena harus  melaksanakan tugas lain, seperti menjadi wakil kepala sekolah, pembina ekstrakurikuler, wali kelas, atau menyusun administrasi pembelajaran.

Selain guru, siswa juga berpotensi mengalami kebosanan atau stres karena dikurung sepanjang hari di sekolah, apalagi kalau program yang dilaksanakan  sekolah kurang menarik atau kurang variatif.  Waktu bermain anak juga menjadi berkurang. Untuk mengisi kegiatan belajar pasca belajar sekolah, anak juga belajar atau mengaji pada sore hari di TKA/TPA/ Madrasah Diniyah.

Dalam konteks sosiologis, full day schooldinilai menjauhkan siswa dari lingkungan bermainnya atau bersosialisasi dengan tetangganya. Hal ini dapat menimbulkan siswa merasa asing dengan lingkungan tempat tinggalnya, merasa minder, tidak mau bergaul, dan tertutup terhadap tetangganya walau di sekolah anak tersebut mungkin memiliki banyak teman.

Bagi sekolah yang memberlakukan sistem dua shift (belajar pagi dan siang), penerapan full day schooltentunya akan menjadi kendala karena mereka mengalami keterbatasan tempat dan guru. Siswa yang jarak dari rumah ke sekolahnya jauh tentunya juga akan mengalami kendala karena dia sampai rumah bisa waktu maghrib. Hal ini tentunya menyebabkan kelelahan bagi anak.

Sebagian pakar pendidikan menilai bahwa rencana Mendikbud menerapkan full day school sebagai bentuk kekeliruan dalam menyikapi pendidikan dan persekolahan. Seolah-olah pendidikan identik dengan persekolahan, padahal pendidikan jauh lebih luas dari persekolahan. Pendidikan dapat dilakukan di rumah, sekolah, dan di lingkungan masyarakat.

Dengan demikian, sekolah hanya menjadi salah satu unsur dalam pendidikan. Banyak bukti empirik menunjukkan bahwa orang-orang sukses bukan hanya orang yang memiliki prestasi akademik yang baik di sekolah, tetapi yang memiliki keterampilan hidup (life skill)yang bagus. Penelitian yang dilakukan oleh Harvard University di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa kesuksesan seseorang hanya 20% ditentukan oleh hard skilldan 80% oleh soft skill. Pemberlakuan full day school hanya akan menempatkan sekolah sebagai penjara bagi siswa dan membatasi mereka dalam melatih keterampilan hidup.

Kebijakan penerapan full day scholljuga berpotensi tidak sinkron dengan kebijakan pemerintah daerah tertentu, misalnya di Kabupaten Purwakarta Jawa Barat, dimana kegiatan belajar siswa dimulai dari jam 06.00 sampai dengan 12.00. Setelah itu, siswa pulang  ke rumah membantu orang tua, memberikan makan binatang ternak, atau melakukan aktivitas lainnya. Berdasarkan hal tersebut, penerapan full day scholl tentunya harus mempertimbangkan berbagai hal, seperti kondisi sekolah yang beragam, kondisi guru, kondisi siswa, dan kebijakan daerah setempat.

Penulis, Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun