Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Satu Jam Bersama Kang Dedi Mulyadi

14 Juli 2016   14:15 Diperbarui: 4 April 2017   18:31 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis (kiri) bersama Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. (Foto : Dok. Pribadi)

Dalam pembicaraanya, Dedi menyebutkan bahwa tata kelola ekonomi negara ini salah kaprah. Solusi yang ditawarkan oleh para pakar, profesor, konsultan dalam membangun ekonomi negara hanya bersifat pragmatis dan praktis, yaitu hanya mendorong negara kita mengutang kepada lembaga-lembaga donor. Itu adalah solusi yang tidak tepat, karena akan semakin memberatkan bangsa Indonesia, dan membuat bangsa kita semakin ketergantungan dan tidak memiliki harga diri di hadapan bangsa asing atau lembaga donor. Anak cucu kita diwarisi hutang yang menumpuk dan akan menjadi beban sejarah.

Para pengusaha kakap diberikan pinjaman yang besar oleh pemerintah, lalu mengamplang pajak, kabur ke luar negeri sambil membawa aset, dan setelah itu, mau kembali ke Indonesia sambil minta pengampunan pajak. Sedangkan para pengusaha kecil diuber-uber agar membayar pajak, tanpa ampun.

Dedi menambahkan bahwa pengusaha yang sukses dan mampu bertahan justru yang berasal dari kalangan menengah seperti pengusaha batik, warteg, sate maranggi, dan sebagainya, sedangkan pengusaha besar justru banyak berhutang besar dan kolaps. Banyak orang yang mau jadi pengusaha sukses, tapi tidak mau merangkak dari bawah alias tidak menghargai proses.

Inginnya instan dan langsung sukses, suka menerabas, serta memiliki mental yang lemah. Oleh karena itu, banyak yang gagal. Dedi mencontohkan pengusaha otobis Primajasa dan Budiman. Sebelum menjadi pengusaha, mereka adalah kondektur, tapi karena ulet, pekerja keras, dan bermental baja, mereka bisa sukses seperti saat ini. Dari pembicaraan tersebut, secara tersirat Dedi menekankan pentingnya menanamkan jiwa wirausaha kepada generasi muda, supaya mereka mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dan mandiri. Selain itu, perlu juga menanamkan mental yang kuat agar tidak mudah menyerah di tengah persaingan yang semakin keras.

Kurikulum Pendidikan

Kang Dedi pun menyoroti masalah kurikulum pendidikan yang ada di Indonesia. Menurutnya, kurikulum pendidikan di Indonesia terlalu gemuk, terlalu banyak yang digarap sehingga arahnya tidak jelas. Ada arsitek, dia hanya bisa menggambar denah bangunan, tapi tidak tahu cara membuat adukan yang baik, sehingga kualitas bangunannya jelak. Ada sarjana pertanian yang tidak tidak tahu cara mencangkul yang baik. Dengan kata lain, banyak sarjana menguasai teori, tapi kurang  menguasai cara mempraktekannya.

Seharusnya kurikulum pendidikan dibuat lebih sederhana dan fokus. Jangan cacag nangkaeun alias segala digarap, tapi tidak tuntas. Misalnya, di sekolah ada pelajaran ngaduk (membuat adonan aduk), mengelas, atau cara membuat kusen. Dedi khawatir, profesi tukang kayu suatu saat akan hilang karena anak-anak tidak diajarkan cara membuat kusen.

Pendidikan Pesantren

Dalam perbincangan Saya bersama Kang Dedi, ada hal yang membuat Saya terkejut. Kang Dedi selama ini disorot sebagai sosok pemimpin yang “jauh” dari agama dan “akrab” dengan dunia klenik. Tapi ketika membuka obrolan tentang pendidikan, justru Beliau mencontohkan pendidikan di pesantren sebagai bentuk pendidikan yang harus dijadikan contoh. Oleh karena itu, Saya berpikir jangan menilai dari “kulitnya”, tapi dari pola pikirnya.

Kang Dedi menceritakan, suatu saat dia bertamu kepada seorang kiyai, yang menyodorkan minuman adalah anak atau santrinya. Itu adalah bagian dari pendidikan bagaimana cara menghormati tamu. Ada adab-adab yang harus diperhatikan ketika menyodorkan minuman. Jadi, mereka belajar budi pekerti sekaligus praktek.

Realita yang terjadi saat ini adalah banyak orang yang terpelajar, pintar secara akademik, tetapi kurang memiliki etika atau budi pekerti yang baik. Nilai-nilai agama juga kurang diperhatikan. Oleh karena itu, Dedi mewajibkan sekolah di Purwakarta untuk memberikan pelajaran agama, baca tulis Al-Qur’an, agar para siswa memiliki ilmu agama dan tidak buta huruf Al-Qur’an.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun