Dedi menyampaikan bahwa budaya Sunda perlu menjadi landasan dalam kehidupan masyarakat sunda, dan itu pun disesuaikan dengan kondisi kondisi masing daerah. Misalnya Sunda di sebuah beberapa daerah di Purwakarta memiliki karakteristik yang berbeda.
Realita yang sekarang terjadi adalah banyak orang Sunda yang tidak lagi memiliki dan mengimplementasikan falsafah Sunda. Bahkan banyak generasi muda yang tidak mengetahui, mengenal, dan menerapkan nilai-nilai budaya Sunda karena begitu kuatnya pengaruh budaya barat.
Kadang budaya Sunda dianggap kuno dan ketinggalan zaman, padahal orang Sunda tinggal di daerah Sunda harus berjiwa Sunda dengan tidak anti terhadap budaya luar yang baik. Suku Sunda jangan merasa rendah diri atau inferior terhadap suku-suku lain, bahkan bangsa lain di dunia. Suku Sunda harus menjadi pekerja keras jangan sampai kalah bersaing oleh suku-suku lain.
Menurutnya, dikotomi lokal-global telah membuat pola pikir kita menjadi sempit. Lokal seolah lebih kecil dari global. Orang sunda seolah lebih rendah martabatnya dari orang Amerika, padahal pada dasarnya sama-sama saja. Oleh karena itu, Dedi kurang setuju dengan dikotomi tersebut. Dedi menyatakan bahwa kata “lokal” harus diganti dengan kata “budaya” saja. Dan makna dari budaya itu lebih luas.
Hidup Menyatu dengan Alam
Manusia hidup di alam. Oleh karena itu, harus menyatu dengan alam, jangan merusaknya. Orang yang ingin menyatu dengan air, harus merawat air, sehingga air itu bening dan dapat dimanfaatkan oleh manusia. Orang yang ingin menyatu dengan pohon aren, dia akan menanam dan merawat pohon aren, mengambil manfaatnya, dan dijadikannya sumber penghidupan.
Realita yang terjadi adalah justru manusia merusak alam. Air dicemari dan pohon ditebang. Dan yang terjadi adalah bencana. Bencana terjadi bukan karena alam yang tidak bersahabat dengan manusia, tetapi karena manusia sendiri yang tidak bersahabat dengan alam.
Miskin dan Pemalas
Hidup adalah perjuangan, dan manusia harus memperjuangkan kehidupannya. Menurut Kang Dedi, saat ini terjadi sebuah fenomena yang ironis. Orang kaya giat bekerja, sedangkan orang miskin menjadi pemalas. Orang miskin gaya hidupnya ingin seperti orang kaya, sehingga yang adalah memaksakan diri karena keinginan tidak seimbang dengan kemampuan.
Orang kaya membutuhkan orang miskin, begitupun sebaliknya. Orang disebut kaya karena ada orang miskin, dan orang disebut miskin karena ada orang kaya. Orang kaya memberikan lapangan pekerjaan kepada orang miskin, dan orang miskin bekerja dengan sebaik-baiknya kepada orang kaya. Dengan demikian, maka orang kaya terhormat, dan orang miskin bermartabat.
Kewirausahaan