Oleh:
IDRIS APANDI
Surat terbuka ini Saya buat sebagai bentuk kegundahan Saya terhadap cukup banyaknya kasus main hakim sendiri dan kriminalisasi terhadap guru yang dilakukan oleh orang tua atas tuduhan melakukan tindakan kekerasan terhadap anaknya. Fenomena guru yang dimeja hijaukan oleh orang tua siswa muncul sejak beberapa tahun lalu, dan bak efek imitasi, kasusnya cenderung semakin meningkat dari waktu ke waktu, sehingga muncul kekhawatiran di kalangan guru akan mengalami kasus serupa. Akibatnya, guru menjadi ragu bahkan tidak berani melakukan hukuman disiplin terhadap siswa yang melanggar tata tertib karena takut dilaporkan ke polisi.
Pemberitaan media berkaitan dengan kasus kriminalisasi guru bukannya menjadi sebuah hikmah atau pelajaran yang diambil oleh berbagai pihak terkait, tetapi justru dijadikan sebagai contoh atau model untuk melakukan tindakan yang sama terhadap guru. Baru saja muncul satu kasus di satu daerah dan kasusnya masih diproses di pengadilan, sudah muncul kasus-kasus baru.
Surat ini sama sekali tidak ingin menyudutkan orang tua yang melaporkan guru ke polisi hanya gara-gara mencubit atau membentak anaknya, karena dalam perspektif hukum, Indonesia adalah negara hukum dan setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Melaui surat ini, Saya hanya ingin mengajak kepada para orang tua untuk sejenak merenung dan mengevaluasi terhadap tindakan yang telah dilakukannya terhadap guru yang mendidik anaknya.
Orang tua mana sihyang tidak sayang kepada anaknya? setiap orang tua pasti sayang kepada anaknya. Oleh karena itu, orang tua wajib menjaga anak-anaknya dari hal-hal yang dapat menyakiti anaknya baik secara fisik maupun secara psikis. Jangankan tangan yang ingin mencubit, nyamuk-nyamuk nakal pun tidak boleh menyentuh kulit anaknya yang mulus itu.
Ketika anaknya ada yang menyakiti, apakah orang tua yang telah capek-capek mengurus dan membesarkannya tidak boleh marah? secara manusiawi, pasti akan marah, walau kadang orang tua pun sebenarnya ada yang suka mencubit dan memarahi anaknya sendiri. “Wonganak Saya sendiri, terserah Saya dong mau diapain juga oleh Saya.” Mungkin itu pembelaan yang disampaikan oleh orang tua. Berbeda jika yang melakukannya adalah orang lain, termasuk guru anaknya, maka emosi pun langsung memuncak. “Berani-beraninya menyakiti anak Saya. Pelakunya akan Saya laporkan ke polisi, biar tahu rasa.” Mungkin itulah gumaman orang tua sambil meluapkan emosi.
Orang tua zaman sekarang menyekolahkan anaknya dengan harapan anaknya mendapatkan pendidikan yang berkualitas, anaknya disayang-sayang oleh gurunya sehingga anaknya dapat betah belajar di sekolah. Karena kesibukannya, kadang orang tua menyerahkan 100 persen pendidikan anaknya kepada sekolah, sementara tugas orang tua telah terdegradasi hanya sebatas memberi makan, minum, ongkos, dan uang jajan saja.
Sakingsayangnya kepada anak, maka orang tua pun mengantar dan menjemput anaknya ke sekolah. Kalau tidak bisa sendiri, maka menyuruh sopir atau menyewa tukang ojeg. Ketika anak memasuki SMP, maka orang tua pun harus mengalah terhadap permintaan sepeda motor, dan membolehkan sang anak membawa sepeda motor ke sekolah, walau pun belum cukup umur dan belum memiliki SIM. “Ya mau bagaimana lagi? Anak Saya maksa. Daripada tidak sekolah, ya mending dibelikan sepeda motor untuk dia.”Bela sang orang tua. Akibatnya, anak pun menjadi manja dan cengeng.
Berbeda dengan zaman dahulu, ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah. Orang tua benar-benar menyerahkan dan mempercayakan pendidikan anaknya kepada guru. Anaknya mau diapakan, terserah gurunya, yang penting anaknya jadi orang yang berilmu. Dengan kata lain, guru benar-benar diberikan otonomi oleh orang tua kandung sang anak untuk mendidik anaknya. Ketika sang anak nakal di sekolah, dihukum oleh guru, lalu lapor kepada orang tua, maka orang tua boro-boro membela, tetapi justru ikut memarahi sang anak, karena tidak semata-mata guru menghukum anaknya, kecuali memiliki alasan yang kuat.
Kembali kepada kasus kriminalisasi guru, ketika sang anak lapor kepada orang tua, apakah ada proses cek dan re-check dulu kebenaran infromasi yang disampaikan sang anak? Apakah sebelum melapor ke polisi terbersit untuk mengklarifikasi dan duduk bersama dengan sang guru menyelesaikan kasus tersebut? Mengapa orang tua begitu emosional langsung melaporkan sang guru kepada polisi?
Apa sih yang dicari dari laporan kepada polisi tersebut? untuk menegakkan hukum? mendapatkan keadilan? memberikan efek jera (shock teraphy) dan mempermalukan sang guru yang disangka telah melakukan tindakan kekerasan terhadap anaknya? ketika laporan orang tua siswa diterima dan ditindaklanjuti oleh polisi, maka sang guru pun harus meninggalkan kelas, di sidik, dan di BAP oleh polisi. Berdasarkan hasil penyidikan dan disertai bukti-bukti yang kuat, akhirnya sang guru guru pun ditahan polisi, dan kasusnya dilimpahkan kepada kejaksaan. Selanjutnya, sang guru dalam kondisi tertekan duduk di kursi pesakitan alias disidang di pengadilan, mendengarkan tuntutan dari sang jaksa penuntut umum.
Ketika sang guru duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa, apakah orang tua yang mengadukannya merasa puas? Merasa telah menang? Merasa telah memberikan efek jera terhadap guru anaknya sendiri? Atau sebaliknya, merasa iba dan menyesal telah melaporkan sang guru ke aparat kepolisian? Apakah orang tua berpikir bahwa selama sang guru ditahan, anak, istri atau suami sang guru menderita dan ikut tertekan? apakah berpikir kegiatan belajar di sekolah terganggu karena muridnya-muridnya kehilangan guru yang dicintainya?
Sebagai bentuk protes, simpati, dan perlawanan terhadap kriminalisasi guru, maka para guru menyindir kepada orang tua yang suka melaporkan guru ke polisi dan anaknya yang sulit diatur oleh sekolah, yaitu, silakan buat sekolah sendiri, buat kurikulum sendiri, didik anaknya oleh sendiri, dan buat raport serta ijazahnya sendiri. Sindiran tersebut sebenarnya sangat menohok orang tua, karena orang tua telah bertindak sewenang-wenang terhadap guru.
Perkembangan HAM saat ini memang telah banyak mengubah pola pikir masyarakat. Hukuman fisik atau psikis kepada anak yang melanggar tata tertib sekolah yang zaman dulu dianggap sebagai hal yang biasa, kini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak anak.
Kekerasan memang dengan alasan apapun tidak dapat dibenarkan, tetapi kita harus melihatnya secara proporsional. Wahai para orang tua siswa, yakinlah bahwa secara umum tidak ada guru yang ingin menyakiti murid-muridnya. Sebagai wakil orang tua di sekolah, para guru sangat mencintai anak-anak didiknya. Ketika guru menghukum muridnya yang melanggar tata tertib sekolah, hal tersebut adalah dalam rangka mendidik dan memberikan pelajaran agar murid yang tidak mengulangi perbuatannya.
Hukuman yang diberikan guru tersebut sifatnya bertahap, mulai dari peringatan lisan, peringatan tertulis, hingga hukuman fisik atau dikembalikan kepada orang tua. Dulu, ketika sekolah, Saya sendiri pernah punya pengalaman dilempar kapur oleh guru ketika tidak memperhatikan penjelasannya. Setelah itu, saya jadi konsentrasi karena takut dilempar lagi kapur oleh guru. Dan Saya pun tidak tersinggung karena Saya yakin, guru melakukan hal tersebut karena Sayang kepada Saya, supaya saya bisa memahami penjelasannya.
Zaman dahulu, sosok guru begitu sangat dihormati dan disegani, sehingga daerah Jawa dikenal istilah “Guru, Ratu, Wong Atua Karo Wajib Sinembah” yang artinya kepada guru, pemimpin, dan terutama kepada orang tua kita harus selalu menghormati untuk menuju jalan bahagia dan selamat hidup di dunia dan akhirat. Zaman sekarang, wibawa guru jauh menurun. Kadang ada siswa tidak segan-segan mengolok-olok gurunya sendiri karena tidak suka terhadap guru tersebut.
Zaman dahulu, kalau murid berpapasan dengan guru, sang murid membungkuk, mencium tangan, serta tidak mau menatap wajahnya karena segan, tapi zaman sekarang banyak murid yang bersikap tidak sopan kepada guru. Kalau bertemu di jalan seperti yang tidak kenal saja. Ketika murid diingatkan oleh guru, bukannya menuruti nasihat guru, tetapi banyak yang melawan. Hal ini disinyalir sebagai dampak negatif dari globalisasi, pemahaman HAM yang kebablasan, dan tayangan TV yang tidak mendidik.
Sekali lagi, melalui surat ini, mari kita merenung, apa sebenarnya yang didapatkan orang tua dengan menyeret guru ke meja hijau gara-gara mencubit anaknya? mari kita selesaikan setiap permasalahan dengan kepala dingin. Kedepankan musyawarah dan kekeluargaan dalam mencari solusi. Daripada saling melaporkan ke aparat kepolisian, lebih baik mari sama-sama melakukan introspeksi diri telah sejauh mana guru dan orang tua berbagi peran dalam mendidik anak? Mari saling melengkapi, bukan saling mengandalkan. Mari saling memperbaiki bukan saling menyalahkan.
Cukup, sekali lagi cukup sudah. Jangan ada lagi ada kasus-kasus guru yang dikriminalisasi gara-gara memberikan hukuman kepada muridnya, karena hal ini menjadi preseden buruk terhadap dunia pendidikan kita. Guru silakan lakukan tugasnya secara profesional dengan mengacu kepada empat kompetensi guru, yaitu (1) kompetensi pedagogik, (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi kepribadian, dan (4) kompetensi sosial, sementara peran orang tua pun sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak harus semakin diperkuat. Mari berdamai dan berjabat tangan, bersinergi mendidik generasi penerus bangsa untuk melahirkan manusia yang cerdas dan berbudi pekerti luhur. Wallaahu a’lam.
Penulis, Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H