Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surat Terbuka untuk Orang Tua Pengkriminalisasi Guru

2 Juli 2016   00:49 Diperbarui: 2 Juli 2016   01:12 2017
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh:

IDRIS APANDI

Surat terbuka ini Saya buat sebagai bentuk kegundahan Saya terhadap cukup banyaknya kasus main hakim sendiri dan kriminalisasi terhadap guru yang dilakukan oleh orang tua atas tuduhan melakukan tindakan kekerasan terhadap anaknya. Fenomena guru yang dimeja hijaukan oleh orang tua siswa muncul sejak beberapa tahun lalu, dan bak efek imitasi, kasusnya cenderung semakin meningkat dari waktu ke waktu, sehingga muncul kekhawatiran di kalangan guru akan mengalami kasus serupa. Akibatnya, guru menjadi ragu bahkan tidak berani melakukan hukuman disiplin terhadap siswa yang melanggar tata tertib karena takut dilaporkan ke polisi.

Pemberitaan media berkaitan dengan kasus kriminalisasi guru bukannya menjadi sebuah hikmah atau pelajaran yang diambil oleh berbagai pihak terkait, tetapi justru dijadikan sebagai contoh atau model untuk melakukan tindakan yang sama terhadap guru. Baru saja muncul satu kasus di satu daerah dan kasusnya masih diproses di pengadilan, sudah muncul kasus-kasus baru.

Surat ini sama sekali tidak ingin menyudutkan orang tua yang melaporkan guru ke polisi hanya gara-gara mencubit atau membentak anaknya, karena dalam perspektif hukum, Indonesia adalah negara hukum dan setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Melaui surat ini, Saya hanya ingin mengajak kepada para orang tua untuk sejenak merenung dan mengevaluasi terhadap tindakan yang telah dilakukannya terhadap guru yang mendidik anaknya.

Orang tua mana sihyang tidak sayang kepada anaknya? setiap orang tua pasti sayang kepada anaknya. Oleh karena itu, orang tua wajib menjaga anak-anaknya dari hal-hal yang dapat menyakiti anaknya baik secara fisik maupun secara psikis. Jangankan tangan yang ingin mencubit, nyamuk-nyamuk nakal pun tidak boleh menyentuh kulit anaknya yang mulus itu.

Ketika anaknya ada yang menyakiti, apakah orang tua yang telah capek-capek mengurus dan membesarkannya tidak boleh marah? secara manusiawi, pasti akan marah, walau kadang orang tua pun sebenarnya ada yang suka mencubit dan memarahi anaknya sendiri. “Wonganak Saya sendiri, terserah Saya dong mau diapain juga oleh Saya.” Mungkin itu pembelaan yang disampaikan oleh orang tua. Berbeda jika yang melakukannya adalah orang lain, termasuk guru anaknya, maka emosi pun langsung memuncak. “Berani-beraninya menyakiti anak Saya. Pelakunya akan Saya laporkan ke polisi, biar tahu rasa.” Mungkin itulah gumaman orang tua sambil meluapkan emosi.

Orang tua zaman sekarang menyekolahkan anaknya dengan harapan anaknya mendapatkan pendidikan yang berkualitas, anaknya disayang-sayang oleh gurunya sehingga anaknya dapat betah belajar di sekolah. Karena kesibukannya, kadang orang tua menyerahkan 100 persen pendidikan anaknya kepada sekolah, sementara tugas orang tua telah terdegradasi hanya sebatas memberi makan, minum, ongkos, dan uang jajan saja.

Sakingsayangnya kepada anak, maka orang tua pun mengantar dan menjemput anaknya ke sekolah. Kalau tidak bisa sendiri, maka menyuruh sopir atau menyewa tukang ojeg. Ketika anak memasuki SMP, maka orang tua pun harus mengalah terhadap permintaan sepeda motor, dan membolehkan sang anak membawa sepeda motor ke sekolah, walau pun belum cukup umur dan belum memiliki SIM. “Ya mau bagaimana lagi? Anak Saya maksa. Daripada tidak sekolah, ya mending dibelikan sepeda motor untuk dia.”Bela sang orang tua. Akibatnya, anak pun menjadi manja dan cengeng.

Berbeda dengan zaman dahulu, ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah. Orang tua benar-benar menyerahkan dan mempercayakan pendidikan anaknya kepada guru. Anaknya mau diapakan, terserah gurunya, yang penting anaknya jadi orang yang berilmu. Dengan kata lain, guru benar-benar diberikan otonomi oleh orang tua kandung sang anak untuk mendidik anaknya. Ketika sang anak nakal di sekolah, dihukum oleh guru, lalu lapor kepada orang tua, maka orang tua boro-boro membela, tetapi justru ikut memarahi sang anak, karena tidak semata-mata guru menghukum anaknya, kecuali memiliki alasan yang kuat.

Kembali kepada kasus kriminalisasi guru, ketika sang anak lapor kepada orang tua, apakah ada proses cek dan re-check dulu kebenaran infromasi yang disampaikan sang anak? Apakah sebelum melapor ke polisi terbersit untuk mengklarifikasi dan duduk bersama dengan sang guru menyelesaikan kasus tersebut? Mengapa orang tua begitu emosional langsung melaporkan sang guru kepada polisi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun