Jika Anda ingin merasakan shalat tarawih bacaan Al-Qur’an sebanyak 1 Juz, Anda tidak perlu jauh-jauh pergi ke Mekkah. Anda cukup datang ke mesjid yang ada di hotel Lembah Sarimas Ciater Subang, karena Anda akan mengalami hal yang sama. Melalui tulisan ini, Saya ingin menceritakan pengalaman pertama Saya mengikuti shalat tarawih dengan bacaan A-Qur’an sebanyak satu juz per malam tersebut.
Saya kebetulan ditugaskan oleh kantor Saya untuk menjadi penanggung jawab sebuah kegiatan di hotel tersebut. Sebenarnya ini bukanlah kunjungan pertama Saya hotel tersebut. Sudah beberapa kali Saya mengikuti kegiatan di hotel ini, hanya kalau tugas bertepatan dengan bulan puasa, baru pertama kali ini.
Bagi Saya, hotel ini memang menampilkan situasi lain daripada yang lain. Hotel ini terasa religius. Sebuah mesjid megah yang bernama Sa’adah menjadi ikon hotel ini. Ketika pengunjung masuk ke pintu gerbang hotel, maka suasana religius sudah terasa, karena sebuah mesjid megah menjadi bangunan pertama yang terlihat. Selain tenaga security yang berjaga di pintu gerbang, mesjid tersebut seolah menyambut para pengunjung. Mungkin kalimat yang disampaikan begini, “Selamat datang di hotel kami, nikmati fasilitas, dan silakan beribadah dengan nyaman di mesjid kami.”.
Secara fisik bangunan mesjid tersebut disamping megah, juga bersih dan terawat sehingga ketika masuk ke dalamnya, maka akan terasa nyaman, dan ingin berlama-lama berada di dalamnya, meskipun kadang hanya sekedar tidur-tiduran pascamelaksanakan shalat.
Kembali kepada urusan tarawih, dengan tidak bermaksud untuk membicarakan amal ibadah sendiri, Saya hanya ingin sekedar ingin menceritakan pengalaman spiritual saya saja. Saya merasa senang mengikuti tarawih di mesjid ini. Sensasinya terasa berbeda jika Saya tarawih di mesjid lainnya. Mengapa demikian? Karena sekali lagi, disamping mesjid bersih dan nyaman, juga situasi sangat mendukung untuk beribadah. Shalat Isya dimulai jam 19.00 WIB. Pasca shalat Isya, seorang petugas menyampaikan bahwa akan dilaksanakan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat ditambah tiga rakaat shalat witir dan bacaan suratnya sebanyak 1 Juz. Bagi jamaah yang berkenan mengikutinya silakan ikuti, dan jika memiliki keperluan lain, silakan ikuti shalat tarawih sampai delapan rakaat, lalu lanjutkan dengan shalat witir sebanyak tiga rakaat. Sebuah pilihan yang demokratis bagi jamaah disaat perdebatan jumlah rakaat shalat tarawih di tengah-tengah masyarakat masih suka terjadi.
“Hafidz di belakang, hafidz di belakang”ada suara jamaah yang menginstruksikan agar hafidz(orang yang hafal Al-Qur’an) posisinya di belakang imam. Kemudian, ada beberapa orang yang maju dan berdiri di belakang imam yang bertugas untuk “mengawal” sang imam ketika membaca surat Al-Qur’an. Saya pun berdiri di dekat salah seorang “pengawal” tersebut.
Shalat tarawih pun dimulai. Seorang yang masih terlihat berusia belasan tahun maju menjadi imam. Rakaat demi rakaat panjang pun dimulai. Rakaat pertama dimulai dengan juz keempat. Saya menyimak dengan seksama lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dibaca oleh imam. Sewaktu-waktu memang imam lupa atau salah membaca ayat. Oleh karena itu, rekannya di belakang imam mengoreksi bacaan imam tersebut. Menghafal satu juz Al-Qur’an bukan hal yang mudah. Butuh proses, sehingga wajar jika masih terjadi kesalahan atau lupa membaca. Oleh karena itu, peran pengingat atau pengoreksi bacaan Al-Qur’an menjadi sangat penting.
Saya akui, Saya harus membagi konsentrasi melaksanakan shalat tarawih dengan mengamati proses pelaksanaan shalat tarawih karena terus terang Saya sangat tertarik dengan prosesnya. Maklum ini adalah pengalaman pertama Saya shalat tarawih satu juz Al-Qur’an salam satu malam.
Dalam proses berikutnya, ada yang menarik perhatian Saya, yaitu sang pengingat atau pengoreksi di belakang imam pun ternyata memegang Al-Qur’an yang ukurannya kecil. Mungkin karena dia pun belum hafal atau benar-benar ingin hati-hati dalam mencermati bacaan imam karena membaca Al-Qur’an tidak bisa sembarangan. Harus benar-benar hati-hati dan sesuai dengan hukuman bacaannya. Pada saat imam membaca surat, sang pengamat membaca Al-Qur’an yang dia simpan pada saku bagian kiri atas gamisnya. Dan pada saat rukuk, Al-Qur’an tersebut kembali disimpan.
Dalam konteks fiqih, hal yang dilakukan oleh pengamat atau pengoreksi bacaan imam yang mengambil dan memasukkan Al-Qur’an ketika shalat mungkin bisa jadi perdebatan, karena ketika shalat tidak boleh melakukan gerakan diluar gerakan shalat, tapi Saya tidak ingin mempersoalkan masalah tersebut. Saya berpikir positif saja bahwa apa yang dilakukannya sudah melalui pertimbangan hukum fiqih.
Saya melihat bahwa bahwa shalat tarawih satu tiap malam tersebut disamping menjalankan salah satu ibadah pada bulan ramadhan, juga menjadi sarana bagi para santri untuk berlatih atau melancarkan menghafal Al-Qur’an. Di satu sisi dapat khatam Al-Qur’an sebanyak 30 juz dalam satu bulan, dan disisi lain, kualitas hafalan semakin meningkat. Mungkin kalau sudah benar-benar hafal Al-Qur’an, tidak diperlukan lagi pengamat atau pengoreksi bacaan Al-Qur’an di belakang imam.