Oleh:
IDRIS APANDI
Literasi saat ini menjadi gerakan masif di tanah air. Gerakan ini luncurkan oleh Kemendikbud tahun 2015 untuk meningkatkan minat baca masyarakat yang masih minim. Tercatat hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang suka membuka buku, selebihnya, belum menjadikan membaca sebagai kebutuhan apalagi menjadi gaya hidup.
Bak gayung bersambut, gerakan ini juga mendapatkan dukungan dari sekolah, dan berbagai elemen masyarakat. Sekolah melaksanakan gerakan membaca buku selain buku teks selama 15 menit sebelum kegiatan belajar dimulai, didirikannya pojok-pojok bacaan (reading corner) di ruang-ruang kelas, tantangan membaca (reading challenge),dan melaporkannya pada saat upacara bendera.
Berbagai seminar dan pelatihan berkaitan dengan literasi pun banyak dilaksanakan baik oleh pemerintah, organisasi profesi guru, maupun oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Para peserta cukup antusias menyambut program ini karena mereka sadar hal ini sangat penting. Kebiasaan membaca merupakan ciri atau karakter manusia yang beradab.
Taman-taman Bacaan (TBM) dan perpustakaan desa pun mulai bergeliat kembali setelah sekian lama “tertidur”. Para pengurus PKK dan para relawan membenahi perpustakaan desa dan mendirikan TBM. Hal ini tentunya sangat baik karena mereka adalah ujung tombak gerakan literasi di lingkunganya masing-masing.
Walau terlambat, munculnya gerakan literasi patut mendapat dukungan dari semua pihak. Negara kita sudah terlalu lama terlena dengan budaya bicara, dan lupa terhadap budaya baca, apalagi budaya tulis, masih jauh dari harapan. Saat ini budaya baca tengah rintis dan dibangkitkan untuk mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain seperti Jepang dan Korea yang dikenal sebagai bangsa yang memiliki tingkat literasi tinggi.
Membangun kebiasaan membaca pada tahap awal pasti akan berat. Oleh karena itu, perlu proses dan harus dilakukan secara bertahap. Pilihlah buku atau bahan bacaan yang sesuai dengan minat atau pekerjaan kita. Luangkan waktu antara 15 sampai 30 menit untuk membaca buku. Singkirkan dulu gadget dan matikan dulu TV selama waktu mambaca. Utamanya, kuatkan niat untuk membaca.
Gerakan literasi disamping bertujuan membangun dan meningkatkan minat baca, juga dilakukan supaya kita tidak “mati”. Maksud mati di sini adalah supaya tidak mati dari peradaban, mati dari pergaulan, mati dari ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi, mati dari ide (untuk menulis), serta supaya pikiran kita tidak cepat pikun, karena beberapa kajian menyimpulkan bahwa membaca mampu mencegah kepikunan. Dengan kata lain, membaca sebagai sebuah terapi atau membaca itu menyehatkan.
Peradaban manusia dan perkembangan informasi, teknologi dan informasi yang berjalan begitu cepat menuntut kita harus selalu meng-update informasi, caranya tentunya dengan membaca. Kebiasaan membaca menjaga agar otak kita tetap aktif berpikir, mata kita tetap aktif melihat hal yang positif, perhatian kita tetap fokus, dan hati kita pun bisa puas karena mendapatkan informasi atau ilmu baru.
Membaca harus menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Bukankah ajaran agama Islam juga memerintahkan untuk iqra(baca)? Membaca harus menjadi sebuah gerakan massal. Untuk mewujudkan hal tersebut, di samping perlu niat yang kuat dari manusianya itu sendiri, juga perlu ditunjang oleh sistem.