Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Isra Mi’raj dan Sepinya Surau Kami

6 Mei 2016   13:55 Diperbarui: 21 Maret 2020   14:09 1243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masjid juga menjadi ikon sebuah daerah atau menjadi tempat wisata rohani. Misalnya masjid-masjid peninggalan para Wali Songo, masjid raya Jawa Barat di Alun-alun kota Bandung, masjid istiqlal di Jakarta, masjid kubah emas di Depok, dan masjid-masjid bersejarah atau megah lainnya.

Untuk mendirikan masjid, umat Islam rela berpanas-panas di jalan “menjaring” sumbangan, atau mengedarkan proposal pembangunan ke berbagai berbagai instansi dan lembaga-lembaga amal. Semangat mereka sangat luar biasa. Tetapi kadang, bagi pengumpul sumbangan nakal, proposal pembangunan masjid digunakan untuk keuntungan pribadi atau kelompok.

Biasanya mereka datang berkelompok dengan menggunakan mobil disertai pengeras suara, mereka datang menghampiri toko, rumah, atau pengguna jalan membawa kotak amal. Modus itu sudah banyak terkuak, tetapi masih banyak saja yang melakukannya.

Semangat umat Islam yang tinggi dalam mendirikan masjid, mushalla, atau surau, sayangnya kurang diimbangi dengan semangat untuk memakmurkannya. Di lingkungan masyarakat banyak dijumpai mesjid, mushalla, atau surau yang sepi dari aktivitas ibadah. 

Kalau pun ada aktivitas ibadah, kebanyakan yang masuk masjid adalah orang tua dan manula, sementara remaja dan pemuda jarang masuk ke masjid. Mereka lebih asyik nongkrong di jalan atau tempat lainnya. 

Anak-anak yang mau ikut ke masjid kadang dilarang atau dimarahi oleh orang tuanya karena suka membuat keributan, atau anak-anak takut masuk ke masjid karena ditakut-takuti ada penampakan makhluk ghaib. Akibatnya anak-anak semakin jauh dari masjid.

Sepinya aktivitas di masjid membuat sejumlah pemimpin berpikir kreatif agar aktivitas ibadah di masjid kembali hidup. Antara lain, mengiming-imingi dengan hadiah atau doorprize bagi warga yang melaksanakan shalat berjamaah di masjid. 

Sepintas, memang cara tersebut dinilai kurang etis karena dapat mengganggu keikhlasan seseorang dalam beribadah, tetapi realitanya, manusia memang banyak yang bermental pragmatis. 

Pahala 27 derajat belum ampuh menarik minat umat Islam untuk shalat berjamaah di masjid, harus ada-ada 'pahala' yang lebih konkrit seperti hadiah atau doorprize. 

Semoga ke depan kualitas keimanan umat Islam semakin baik, dapat memakmurkan masjid, dan melaksanakan ibadah dasar keimanan dan keihlasan, bukan karena iming-iming hadiah atau doorprize. Aamiin Yra...

Oleh:
IDRIS APANDI
Penulis, Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat, Pemerhati Sosial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun