Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Isra Mi’raj dan Sepinya Surau Kami

6 Mei 2016   13:55 Diperbarui: 21 Maret 2020   14:09 1243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tanggal 27 Rajab dalam kalender Islam diperingati sebagai hari Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW. 

Dalam kalender masehi di Indonesia, Peringatan Isra Mi’raj dijadikan sebagai hari libur nasional. Isra Isra Mi’raj adalah perjalanan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW pada malam hari dari Masijidil Haram di kota Mekkah ke Masjidil Aqsadi Palestina ditemani malaikat Jibril dan buraq¸ seekor binatang yang dikirim Allah dari surga untuk membawa Nabi Muhammad SAW. 

Dari Masjidil Aqsa¸Nabi Muhammad SAW lalu diangkat ke langit ketujuh untuk bertemu dengan Allah SAW dan menerima perintah shalat lima waktu.

Peristiwa Isra Mi’raj menjadi salah satu mukjizat yang diterima Nabi Muhammad SAW karena berlangsung sangat singkat. Pergi pada saat tengah malam, dan kembali sebelum subuh. 

Menurut al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mi’raj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Menurut al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian, dan inilah yang populer.

Sejarah Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW diceritakan kembali pada setiap momentum memperingatinya. Para da’i dan ustadz membahasnya di majelis taklim, panggung ceramah, dan khutbah Jum’at.  

Hal tersebut pada dasarnya baik karena di samping bertujuan untuk memberi tahu kepada anak-anak, generasi muda Islam, juga sebagai pengingat kepada generasi sebelumnya pernah membaca atau mendengar kisah tersebut.

Pesan peristiwa Isra Mi’raj adalah kewajiban shalat lima waktu, dan masjid adalah tempat yang sangat dianjurkan untuk melaksanakannya, sesuai dengan hikmah kisah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari satu Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa

Masjid di samping menjadi tempat melaksanakan ritual ibadah shalat, berdzikir, atau berdo’a, juga memiliki peran sosial, yaitu sebagai sarana perjuangan pada masa jihad penyebaran agama Islam, silaturahmi, dan musyawarah menyelesaikan berbagai persoalan  umat. 

Pada masa perjuangan kemerdekaan RI, masjid juga menjadi basis perlawanan dan tempat para ulama membakar semangat para pejuang kemerdekaan.

Jika kita perhatikan, semangat umat Islam membangun masjid sangat tinggi. Di lingkungan pemukiman berpenduduk Muslim, hampir di tiap RT terdapat mushalla, masjid jami, sampai masjid agung yang terletak di alun-alun kecamatan dan alun-alun kota.

Masjid juga menjadi ikon sebuah daerah atau menjadi tempat wisata rohani. Misalnya masjid-masjid peninggalan para Wali Songo, masjid raya Jawa Barat di Alun-alun kota Bandung, masjid istiqlal di Jakarta, masjid kubah emas di Depok, dan masjid-masjid bersejarah atau megah lainnya.

Untuk mendirikan masjid, umat Islam rela berpanas-panas di jalan “menjaring” sumbangan, atau mengedarkan proposal pembangunan ke berbagai berbagai instansi dan lembaga-lembaga amal. Semangat mereka sangat luar biasa. Tetapi kadang, bagi pengumpul sumbangan nakal, proposal pembangunan masjid digunakan untuk keuntungan pribadi atau kelompok.

Biasanya mereka datang berkelompok dengan menggunakan mobil disertai pengeras suara, mereka datang menghampiri toko, rumah, atau pengguna jalan membawa kotak amal. Modus itu sudah banyak terkuak, tetapi masih banyak saja yang melakukannya.

Semangat umat Islam yang tinggi dalam mendirikan masjid, mushalla, atau surau, sayangnya kurang diimbangi dengan semangat untuk memakmurkannya. Di lingkungan masyarakat banyak dijumpai mesjid, mushalla, atau surau yang sepi dari aktivitas ibadah. 

Kalau pun ada aktivitas ibadah, kebanyakan yang masuk masjid adalah orang tua dan manula, sementara remaja dan pemuda jarang masuk ke masjid. Mereka lebih asyik nongkrong di jalan atau tempat lainnya. 

Anak-anak yang mau ikut ke masjid kadang dilarang atau dimarahi oleh orang tuanya karena suka membuat keributan, atau anak-anak takut masuk ke masjid karena ditakut-takuti ada penampakan makhluk ghaib. Akibatnya anak-anak semakin jauh dari masjid.

Sepinya aktivitas di masjid membuat sejumlah pemimpin berpikir kreatif agar aktivitas ibadah di masjid kembali hidup. Antara lain, mengiming-imingi dengan hadiah atau doorprize bagi warga yang melaksanakan shalat berjamaah di masjid. 

Sepintas, memang cara tersebut dinilai kurang etis karena dapat mengganggu keikhlasan seseorang dalam beribadah, tetapi realitanya, manusia memang banyak yang bermental pragmatis. 

Pahala 27 derajat belum ampuh menarik minat umat Islam untuk shalat berjamaah di masjid, harus ada-ada 'pahala' yang lebih konkrit seperti hadiah atau doorprize. 

Semoga ke depan kualitas keimanan umat Islam semakin baik, dapat memakmurkan masjid, dan melaksanakan ibadah dasar keimanan dan keihlasan, bukan karena iming-iming hadiah atau doorprize. Aamiin Yra...

Oleh:
IDRIS APANDI
Penulis, Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat, Pemerhati Sosial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun