Kekerasan pada anak. (Ilustrasi : http://3.bp.blogspot.com/)
Oleh:
IDRIS APANDI
Yuyun, seorang siswi kelas VIII SMP di Kabupaten Rejanglebong Bengkulu di perkosa secara keji hingga tewas oleh 14 orang pemuda. 12 orang pelakunya telah ditangkap, dan ironisnya tujuh orang diantaranya masih berusia di bawah umur. Para pelaku berada di bawah pengaruh minuman tuak, minuman yang telah menjadi semacam “minuman wajib” dalam acara kumpul-kumpul pemuda di daerah tersebut. Kepala Curup yang berada di jalan lintas Bengkulu-Libuk Linggau, lokasi terjadinya pemerkosaan terhadap Yuyun memang dikenal sebagai daerah “Texas”, produsen penjahat, dimana praktek perjudian, miras, pemalakan kerap terjadi.
Dalam konteks pendidikan, hal ini menjadi duka sekaligus “tamparan” bagi dunia pendidikan dimana baik pelaku maupun korban masih berusia sekolah. Yuyun, diperkosa ketika pulang dari sekolah. Harapan dirinya dan orang tuanya pun pupus sudah. Tidak bisa lagi melihat Yuyun semangat pergi sekolah, tidak bisa lagi melihat yuyun menggunakan seragam pramuka, seragam yang dipakainya ketika diperkosa para remaja tanggung tersebut, dan tidak bisa melihat Yuyun meraih cita-citanya, karena Yuyun kini telah tidak bernyawa. Para pelaku pun, harus meringkuk di balik jeruji besi, tidak dapat bersekolah.
Kasus Yuyun terjadi sejak sebulan lalu, tetapi beberapa hari ini muncul di permukaan setelah ramai diberitakan media massa, dan beritanya muncul bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tanggal 2 Mei 2016. Pada sambutannya, Mas Menteri, panggilan Akrab Kepada Mendikbud menyampaikan pentingnya tiga hal, yaitu, karakter, literasi, dan kompetensi.
Dalam konteks kasus Yuyun, Saya ingin menyoroti salah satu dari tiga hal tersebut, yaitu karakter. Kasus tersebut di atas membuktikan bahwa saat ini Indonesia sedang mengalami krisis karakter yang sangat serius. Krisis karakter terjadi bukan hanya pada orang dewasa, tetapi juga pada remaja dan anak-anak.
Pada banyak kasus kekerasan, kita sering melihat bahwa pelakunya adalah remaja atau anak-anak. Hal ini akan sangat berbahaya terhadap masa depan bangsa. Berdasarkan berbagai kajian, semakin banyaknya kasus kekerasan termasuk didalamnya adalah pemerkosaan disebabkan oleh semakin maraknya miras, situs-situs prnografi, pegangguran, tekanan hidup yang semakin berat, pengaruh lingukungan, dan gaya hidup materialistis, hedonis, dan materialistis.
Kekerasan seolah telah menjadi budaya, bagian dari pemandangan hidup sehari-hari. Kadang negara pun terlambat hadir atau bahkan tidak hadir melindungi rakyatnya. Bergerak atau bereaksi ketika kasusnya sudah terjadi. Bahkan seorang menteri menyatakan bahwa dia belum mendengar kasus Yuyun media telah ramai memberitakannya. Pada anggota DPR pun tidak bergerak cepat menyusun atau merevisi regulasi berkaitan dengan perlindungan warga negara dengan alasan reses, sebuah alasan yang normatif dan terkesan formalitas di tengah kondisi darurat saat ini.
Mengatasi krisis karakter, inilah pekerjaan rumah pemerintah, khususnya Kemendikbud. Walau demikian, tentunya Kemdikbud tidak dapat bekerja sendiri. Diperlukan kerjasama dan sinergi antara Tri Pusat pendidikan, yang meliputi keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang sekarang dikenal sebagai sebuah ekosistem pendidikan.
Kasus Yuyun memang tidak murni beban beban berat dunia pendidikan kita yang belum berhasil membentuk karakter warga negara yang baik, tetapi hal tersebut ada kaitannya dengan masalah hukum, keamanan, kriminalitas, peredaran miras, dan pornografi yang semakin mewabah di masyarakat, tetapi muara dari berbagai persoalan tersebut adalah pada dunia pendidikan.