Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pesan Kasus Yuyun untuk Mendikbud

6 Mei 2016   08:58 Diperbarui: 6 Mei 2016   09:02 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kekerasan pada anak. (Ilustrasi : http://3.bp.blogspot.com/)

Oleh:

IDRIS APANDI

Yuyun, seorang siswi kelas VIII SMP di Kabupaten Rejanglebong Bengkulu di perkosa secara keji hingga tewas oleh 14 orang pemuda. 12 orang pelakunya telah ditangkap, dan ironisnya tujuh orang diantaranya masih berusia di bawah umur. Para pelaku berada di bawah pengaruh minuman tuak, minuman yang telah menjadi semacam “minuman wajib” dalam acara kumpul-kumpul pemuda di daerah tersebut. Kepala Curup yang berada di jalan lintas Bengkulu-Libuk Linggau, lokasi terjadinya pemerkosaan terhadap Yuyun memang dikenal sebagai daerah “Texas”, produsen penjahat, dimana praktek perjudian, miras, pemalakan kerap terjadi.

Dalam konteks pendidikan, hal ini menjadi duka sekaligus “tamparan” bagi dunia pendidikan dimana baik pelaku maupun korban masih berusia sekolah. Yuyun, diperkosa ketika pulang dari sekolah. Harapan dirinya dan orang tuanya pun pupus sudah. Tidak bisa lagi melihat Yuyun semangat pergi sekolah, tidak bisa lagi melihat yuyun menggunakan seragam pramuka, seragam yang dipakainya ketika diperkosa para remaja tanggung tersebut, dan tidak bisa melihat Yuyun meraih cita-citanya, karena Yuyun kini telah tidak bernyawa. Para pelaku pun, harus meringkuk di balik jeruji besi, tidak dapat bersekolah.

Kasus Yuyun terjadi sejak sebulan lalu, tetapi beberapa hari ini muncul di permukaan setelah ramai diberitakan media massa, dan beritanya muncul bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tanggal 2 Mei 2016. Pada sambutannya, Mas Menteri, panggilan Akrab Kepada Mendikbud menyampaikan pentingnya tiga hal, yaitu, karakter, literasi, dan kompetensi.

Dalam konteks kasus Yuyun, Saya ingin menyoroti salah satu dari tiga hal tersebut, yaitu karakter. Kasus tersebut di atas membuktikan bahwa saat ini Indonesia sedang mengalami krisis karakter yang sangat serius. Krisis karakter terjadi bukan hanya pada orang dewasa, tetapi juga pada remaja dan anak-anak.

Pada banyak kasus kekerasan, kita sering melihat bahwa pelakunya adalah remaja atau anak-anak. Hal ini akan sangat berbahaya  terhadap masa depan bangsa. Berdasarkan berbagai kajian, semakin banyaknya kasus kekerasan termasuk didalamnya adalah pemerkosaan disebabkan oleh semakin maraknya miras, situs-situs prnografi, pegangguran, tekanan hidup yang semakin berat, pengaruh lingukungan, dan gaya hidup materialistis, hedonis, dan materialistis.

Kekerasan seolah telah menjadi budaya, bagian dari pemandangan hidup sehari-hari. Kadang negara pun terlambat hadir atau bahkan tidak hadir melindungi rakyatnya. Bergerak atau bereaksi ketika kasusnya sudah terjadi. Bahkan seorang menteri menyatakan bahwa dia belum mendengar kasus Yuyun media telah ramai memberitakannya. Pada anggota DPR pun tidak bergerak cepat menyusun atau merevisi regulasi berkaitan dengan perlindungan warga negara dengan alasan reses, sebuah alasan yang normatif dan terkesan formalitas di tengah kondisi darurat saat ini.

Mengatasi krisis karakter, inilah pekerjaan rumah pemerintah, khususnya Kemendikbud. Walau demikian, tentunya Kemdikbud tidak dapat bekerja sendiri. Diperlukan kerjasama dan sinergi antara Tri Pusat pendidikan, yang meliputi keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang sekarang dikenal sebagai sebuah ekosistem pendidikan.

Kasus Yuyun memang tidak murni beban beban berat dunia pendidikan kita yang belum berhasil membentuk karakter warga negara yang baik, tetapi hal tersebut ada kaitannya dengan masalah hukum, keamanan, kriminalitas, peredaran miras, dan pornografi yang semakin mewabah di masyarakat, tetapi muara dari berbagai persoalan tersebut adalah pada dunia pendidikan.

Untuk megantisipasi kasus-kasus kekerasan terhadap anak seperti yang menimpa Yuyun, Kemendikbud telah menyosialisasikan sekolah ramah anak dan sekolah aman, tetapi, pada kenyataannya, kekerasan terhadap anak masih saja terjadi. Belum semua orang tua, sekolah, dan masyarakat mengetahui dan menyadari pentingnya rasa aman bagi anak-anak dalam belajar, apalagi di daerah pelosok seperti tempat tinggal Yuyun.

Kemendikbud sering dititipi “kurikulum” dari kementerian atau lembaga yang lain, misalnya, kurikulum pendidikan antikorupsi, pendidikan lalu lintas, pendidikan berbasis gender, pendidikan HAM, pendidikan lingkungan hidup, pendidikan kewirausahaan, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan besarnya harapan berbagai pihak kepada dunia pendidikan dalam membangun sumber daya manusia, membentuk karater, serta mengembalikan bangsa Indonesia kepada jati dirinya.

Masalahnya, saat ini terjadi kesenjangan dalam mendidik anak. Tanggung jawab pendidikan seolah diserahkan sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Sekolah seolah dibiarkan berjalan sendiri dalam mendidik anak-anak bangsa, sementara orang tua dan masyarakat kurang peduli bahkan mengabaikannya.

Jika ada siswa yang bermasalah, maka sekolah menjadi pihak tertuduh, pihak yang dianggap paling bertanggung jawab, padahal masalah yang dihadapi oleh  siswa termasuk tindak kekerasan tidak berdiri sendiri. Di situ ada dampak media yang menayangkan tayangan-tayangan “sampah”, game kekerasan, peredaran miras dan narkoba yang sudah menyusup kepada para pelajar, ada situs pornografi yang semakin mudah diakses. Hilang satu tumbuh seribu, sudah banyak situs pornografi diblokir pemerintah, tetapi dengan cepat muncul kembali situs-situs baru. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama semua pihak terkait untuk menyelesaikan persoalan ini.

Kurikulum 2013 yang menjadikan sikap sebagai fondasi dalam menyangga pengetahuan dan keterampilan sudah merupakan hal yang tepat, tinggal para pendidik melakukannya dengan sepenuh hati ditambah dukungan dari orang tua dan masyarakat. Indonesia tidak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang jujur. Tanpa kejujuran, orang pintar justru banyak menipu, memanipulasi, korupsi, dan arogan. Tahanan KPK saat ini banyak dihuni oleh orang-orang pintar yang tidak jujur. Oleh karena itu, pembentukan sikap, karakter, mentalitas menjadi hal yang penting dalam dunia pendidikan kita saat ini.

Kasus Yuyun merupakan puncak gunung es dari kasus-kasus kekerasan yang terjadi kepada anak-anak dan masyarakat pada umumnya. Masih banyak kasus-kasus yang tidak terkuak dan tidak diberitakan oleh media. Bukan hanya di tempat tinggal Yuyun, tapi juga di tempat-tempat lainnya. Perlu kepedulian semua pihak untuk mengantisipasi kasus-kasus serupa terjadi.

Cukuplah kasus Yuyun menjadi kasus yang terakhir terjadi. Jangan ada Yuyun-Yuyun berikutnya yang masa depannya terenggut. Kasus Yuyun harus menjadi refleksi bagi semua pihak. Keluarga, masyarakat, aparat kepolisian, lembaga pendidikan, dan masyarakat secara umum harus melakukan evaluasi dan introspeksi diri.

Dalam konteks pendidikan, krisis karakter saat ini adalah tantangan besar yang dihadapi oleh dunia pendidikan. Walaupun berbagai upaya membenahi dunia pendidikan telah dilakukan belum sepenuhnya membuahkan hasil, hal ini bukan berarti kita menjadi patah semangat, tetapi harus menjadikan para pendidik untuk semakin bekerja keras melaksanakan perannya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Penulis, Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun